PeristiwaRubrika

Hari Ini di 1974, Jurnaslis Indonesia Keturunan Tionghoa Tutup Usia

Jurnaslis Indonesia Berdarah Tionghoa, Kwee Thiam Tjing. (FOTO: NUSANTARANEWS.CO)
Jurnaslis Indonesia Berdarah Tionghoa, Kwee Thiam Tjing. (FOTO: NUSANTARANEWS.CO)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Salah satu jurnalis Indonesia berdarah Tionghoa atau peranakan Cina meninggal dunia pada tanggal 28 Mei 1974 di usia 74 tahun. Jurnalis bernama lengkap Kwee Thiam Tjing ini lahir di Pasuruan, Jawa Timur, 9 Februari 1900. Hari ini adalah hari peringatan kematiannya Kwee yang ke-44.

Sebelum terjun ke dunia jurnalistik, dia menempuh pendidikan di ELS (Europeesch Lagere School), kota Malang. Dengan penguasaan bahasa Belanda, Jawa, Madura, dan Hokkian, ia menulis segala lapisan masyarakat: kawan-lawan, lelaki-perempuan, tua-muda dan lain-lain.

Baca Juga

Dalam sebuah artikel “Tanggal Paling Tjilaka” di Soeara Publiek, Surabaya (5/1/1926), Kwee pernah dikenai sembilan delik pers, sehingga terpaksa mendekam selama sepuluh bulan di penjara Kalisosok, Surabaya dan penjara Cipinang, Jakarta. Tulisan-tulisan Kwee banyak dimuat di berbagai penerbitan saat itu, seperti Pewarta Soerabaia, Soeara Poeblik (menjadi Hoofredactuer antra 20 Juni – 12 Juli 1929 baca Satoe peladjaran dalem pengidoepan), Sin Tit Po, Matahari Semarang hingga Indonesia Raja.

Baca Juga:  Ketua DPRD Nunukan Jelaskan Manfaat Sumur Bor

Mengutip Kompas (16/7/2005) “Siapakah Tjamboek Berdoeri?”, Kwee sendiri mengelola langsung Pembrita Djember. Ia juga menulis karya dengan nama samaran Tjamboek Berdoeri. Walaupun, Kwee sendiri mempunyai kolom khusus di kolom Pewarta Soerabaia yang bernama “Tjorat-Tjaret Hari Saptoe” yang diisinya dari 12 Juli 1924 – 7 Maret 1925, ia juga mempunya kolom khusus dalam kolom Soeara Poeblik yang diberi nama “Pridato Hari Saptoe”. Ia pertama kali menulis mulai 8 April 1925 hingga 11 Juni 1929, selain itu ia juga memiliki kolom khusus di kolom Matahari yang bernama “Ngelamoen Malem Minggoe”, “Oering-oeringan” dan “Gandjelan” dari tanggal 1 Oktober 1934.

Pada pertengahan 1947 kota Malang berubah menjadi lautan api. Kwee melaporkan kejadian-kejadian itu dengan cermat hingga tragedi Mergosono yang mungkin telah banyak dilupakan orang. Berbagai kejadian yang diamatinya itu, termasuk masa-masa sebelumnya yang terjadi pada masa paling kacau di Indonesia (1939-1947) ditulisnya dalam sebuah buku setebal 200 halaman dengan menggunakan kertas merang, tanpa penerbit (ternyata Perfectas Di Petjinan Malang sebagai penerbitnya) dan nama pengarang (namun Kwee Thiam Tjing sendiri memberikan pengantar di buku tersebut menggunakan nama aslinya). Isinya adalah sebuah catatan peringatan untuk anak-cucu, sebuah kenanga n yang diberinya judul “Indonesia dalem Api dan Bara”.

Baca Juga:  Bencana Hidrometeorologi Incar Jawa Timur, Heri Romadhon: Masyarakat Waspadalah

Setelah terbitnya buku kenangan itu, Kwee lama menghilang dari dunia jurnalisme Indonesia. Baru 24 tahun kemudian ia mendadak muncul kembali dalam sebuah tulisan semacam obituari di harian “Indonesia Raya” yang dikelola Mochtar Lubis. Tulisannya muncul dalam 34 judul dengan 91 edisi penerbitan selama 1971-1973. Pada 28 Mei 1974, Kwee meninggal dunia dan dimakamkan di pemakaman Tanah Abang I (kini Taman Prasasti) di Jakarta. Ketika pemakaman Tanah Abang I digusur, makam Kwee digali kembali dan tulang-belulangnya dikremasikan dan abunya ditabur ke Laut Jawa.

Dalam sumber terpercaya, antara tahun 1938 dan 1939 merupakan tahun-tahun produktif bagi Kwee. Terbuki dalam dua tahun tersebut Kwee telah melahirkan puluhan karya. Tahun 1938 misalnya, tidak kurang dari 40 karya yang dia publikasikan. Seperti Soerabaia jang Panas! (Sabtu ,19 Februari 1938), Sebage Tionghoa saja boleh protest boeat kaoem saja!! (Sabtu, 26 Februari 1938), DALAI LAMA. (Sabtu 6 Agustus 1938) dan puluhan tulisan lainya di Sin Tit Po dari bua tangan Kwee sendiri.

Baca Juga:  Bupati Nunukan dan OPD Berburu Takjil di Bazar Ramadhan

Begitu pula di tahun 1938, Kwee juga melahirkan banyak tulisan. Hollywood Imitatie (Sabtu, 21 Januari 1939), Pasar Toeri Conversatie (Sabtu, 28 Januari 1939), Mampoes sebelon bersemi (Sabtu, 4 Maret 1939), dan Kalo bintang lagi terang! (Sabtu, 5 Agustus 1939). Adaun buku Kwee yang telah terbit adalah Indonesia dalem Api dan Bara (2004) dan Harian Indonesia Raya (22 Juli 1971 – 15 Februari 1972).

Pewarta: M. Yahya Suprabana
Editor: Achmad S.

Related Posts

1 of 3,140