
Secangkir Kopi Harapan. (FOTO: Isitmewa)
Hanya Secangkir Kopi
Ini hanya secangkir kopi
Untuk aku tetap bisa mencintaimu
Menjadi seorang penikmat yang perlahan mulai diajarkan membunuh
Menjadi seorang pecundang yang merelakan terbunuh
Tabut
Kita dua keping hati
Yang bertahtakan perintah tuhan
Difirmankan kepada jiwa di gurun asmara
Bertutup janji dengan rindu
Pada kedua ujungnya
Sajak Penguasa
Aku tak peduli
Walau kau menjerit
Yang penting perut jadi buncit
Aku pun tak peduli
Walau tak ada sawah
Yang penting kehidupanku mewah
Silahkan kau berorasi marah marah
Kalau bisa sampai berdarah darah
Aku tak akan peduli
Pagi
Saban pagi
Ada yang bangun dari
Selimut kopi, kekasih.
Bergegas menuju cangkir
Mencari seseruput bibir
Beserta aroma lipstiknya
Hilih Kintil
“Pergilah! dunia tak butuh orang picik,” katamu.
“Musnahlah! Semesta lebih mencintai orang bodoh yg bijaksana,” kataku.
Tebu
Selepas pertemuan kecil kita
Kau tanamkan tebu di pinggir hatiku
Yang katamu manis airnya
Tumbuh memang
Tapi kau menitipkan kepada jarak untuk merawatnya
Ah semoga kau kehabisan uang
Dan jarak lekas mengundurkan diri
Profil penulis:
Fadli Nur Arifin lahir di Banyumas 12 Juni 1998. Ia tercatat sebagai Mahasiswa di Fakultas Dakwah Prodi Bimbingan dan Konseling Islam IAIN Purwokerto. Ia bergiat di Komunitas Teater Didik IAIN Purwokerto. Alamat rumahnya di Jl. Raya Keniten komplek Gunung Sumbul Rt/w: 03/06, Keniten, Kedungbanteng. Alamat email: [email protected].