NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Untuk memberikan gambaran teknis tentang posisi dan kedudukan boemipoetra dalam konteks Yogyakarta, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Hamengku Buwono X mengatakan bahwa secara teknis Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta telah menguatkan Intruksi Wakil Gubernur DIY Nomor K.898/I/A/1975 yang menyatakan Pemprov berhak melarang nonpribumi memiliki tanah di Yogyakarta. Hamengku Buwono X menegaskan bahwa aturan ini tidak hadir serta merta dan tiba-tiba, tapi karena Yogyakarta memiliki keistimewaan.
Keistimewaan Yogyakarta, lanjut dia dibahas panjang lebar dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK). Puncaknya yaitu lahirnya putusan MK Nomor 88/PUU-XIV/2016, dimana 9 hakim konstitusi sepakat mengapa Yogyakarta begitu istimewa bagi Indonesia.
Pertimbangan utama pemberian status ‘Istimewa’ kepada Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah karena Sultan yang bertakhta di Kasultanan Ngayogyakarta Hadinidingrat dan Adipati Paku Alam yang bertakhta di Kadipaten Pakualaman pada masa awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara sukarela menyatakan diri bergabung atau berintegrasi dengan NKRI.
“Artinya, Sultan yang bertakhta di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Adipati Paku Alam yang bertakhta di Kadipaten Pakualaman bukan pemberian atau dibentuk oleh negara atau in casu Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ungkap Hamengku Buwono, melalui keterangan resminya pada kegiatan Pra Kongres Boemipoetra Nusantara Indonesia di Yogyakarta, 23 April 2018 lalu.
Hak-hak asal-usul daerah-daerah yang bersifat istimewa harus diperingati juga dengan yang bersifat istimewa. Karena itu adalah daerah kerajaan atau koti, baik di Jawa maupun di luar Jawa, daerah-daerah yang dalam bahasa Belanda disebut Zelfbestuurende Lanschappen. Dengan menggunakan pendekatan sejarah hukum, maksud dari pembagian daerah dengan mengikat hak asal-usul dan hak istimewa yang dimiliki daerah. Dengan demikian, lanjut Sultan DIY tersebut, lahirnya Pasal 18 UUD 1945 menunjukkan para pendiri negara menyadari bahwa Indonesia merupakan negara heterogen yang terdiri dari daerah yang mana masing-masing memiliki karakteristik sendiri-sendiri.
Baca Juga:
Membiarkan Tanah Dikuasai Asing, Bentuk Makar Pemerintah Pada Rakyat
Tanah Dikuasai Taipan, AEPI: Inilah Pemicu Konflik di Masyarakat
Zeng Wei Jian Minta Jogja Jangan Diusik
Secara sejarah pula, Kesultanan Yogyakarta telah berdiri jauh sebelum berdirinya Republik Indonesia. Bila RI berdiri 17 Agustus 1945, maka Yogyakarta sudah berdiri pada 13 Maret 1755 oleh Raja Pertama Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang bertakhta, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono I, yang bertakhta pada tahun 1755 sampai 1792.
Sejak saat itu, digunakan sebagai nama resmi kerajaan yang didirikan berdasarkan Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755, hingga saat ini. Penyebutan nama kerajaan seperti di atas maupun perubahannya, merupakan salah satu kewenangan raja yang jumeneng atau bertakhta. Sebelum 13 Maret 1775, Kesultanan Yogyakarta sudah eksis lewat Kerajaan Mataram dengan Raja yang terkenal yaitu Sultan Agung Hanyokrokusuma yang bertakhta tahun 1613 sampai 1645.
Hamengku Buwono X menambahkan ketika Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengkubuwono IX memutuskan untuk bergabung dengan RI yang baru saja lahir tersebut. Beliau memutuskan bergabung pada tanggal 18 Agustus 1945. Sejak bergabung dengan NKRI, Keraton Yogyakarta mengikuti sistem hukum yang berlaku di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menyerahkan semua urusan hukum kepada lembaga-lembaga penegak hukum negara.
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan hak yang dimiliki Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Paku Alaman yang mana hak tersebut diakui, dihormati dan dilindungi oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu dikarenakan Kesultanan dan Kadipaten telag mempunyai wilayah pemerintahan dan penduduk sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Catatan yang lebih penting lagi bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta telah berperan dan memberikan sumbangsih besar dalam mempertahankan, mengisi dan menjaga keutuhan NKRI.
Status istimewa yang melekat pada DIY merupakan bagian integral sejarah pendirian negara-negara Indonesia. Pilihan dan keputusan Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII untuk menjadi bagian dari Republik Indonesia serta kontribusinya untuk melindungi simbol negara dan bangsa pada masa awal kemerdekaan telah tercatat dalam sejarah Indonesia. Hal tersebut merupakan refleksi filosofis kesultanan kadipaten dan masyarakat Yogyakarta secara keseluruhan yang mengagungkan ke-Bhinekaan dalam ketunggalikaan sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945.
Dari tanggal 4 Januari 1946 hingga 17 Desember 1949, Yogyakarta juga menjadi Ibukota NKRI, justru dimasa perjuangan bahkan mengalami saat yang sangat mendebarkan, hampir-hampir saja NKRI tamat riwayatnya. Oleh karena itu, pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia yang terkumpul dan berjuang di Yogyakarta mempunyai kenangan tersendiri tentang wilayah ini.
Pewarta: Gendon Wibisono
Editor: Romandhon