HAMAS Kalah Telak Dalam Percaturan Politik Regional

Ilustrasi Rekonsiliasi Hamas dan Fattah

Ilustrasi Rekonsiliasi Hamas dan Fattah

NUSANTARANEWS.CO – Dua faksi Palestina yang selama ini berseteru, Fatah dan Hamas akhirnya menandatangani kesepakatan rekonsiliasi baru (new reconciliation agreement) di Kairo, Mesir, minggu lalu, tepatnya 12 Oktober 2017. Rekonsiliasi baru ini, boleh dikatakan juga sebagai babak baru perjuangan bangsa Palestina di abad 21.

Kesepakatan ditandatangani oleh pemimpin delegasi Fatah, Azzam al-Ahmad, dan pemimpin tim perunding Hamas, Saleh Arouri, dengan disaksikan oleh Kepala Dinas Intelijen Mesir, Khaled Fawzi.

Menurut kesepakatan, pemerintah Palestina yang didominasi oleh Fatah akan mengambil alih tanggung jawab administrasi sepenuhnya Jalur Gaza dari Hamas terhitung mulai 1 Desember mendatang. Sementara pintu perlintasan Rafah dari Gaza ke Mesir akan segera diserahkan kepada pemerintah baru Palestina.

Bila ditelisik lebih jauh, kreator di balik rekonsiliasi baru Palestina ini memang merupakan desakan dari Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi – yang berusaha mengakhiri perpecahan di antara orang-orang Palestina. Tujuan dari rekonsiliasi baru tersebut adalah sebagai batu loncatan ke tujuan yang jauh lebih besar yakni: menciptakan sebuah negara merdeka di sepanjang perbatasan sebelum 1967.

Seperti diketahui, Israel dengan tegas menentang keterlibatan Hamas dalam pemerintahan Palestina. Bahkan bersama Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa juga telah menetapkan Hamas secara keseluruhan sebagai kelompok teroris

Keberhasilan Presiden Sisi mendorong proses rekonsiliasi ini, secara otomatis telah mengangkat citra Mesir di dunia Arab, sekaligus semakin memperkuat posisinya sebagai aktor utama regional. Keberhasilan kesepakatan rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah ini, juga telah memberikan dorongan moral yang kuat bagi pemerintahan Sisi yang memang sangat membutuhkannya.

Hal menarik yang patut dicermati adalah pergeseran sikap Hamas yang tiba-tiba melunak sehingga mempermudah proses rekonsiliasi. Hamas nampaknya berada dalam posisi serba salah: “maju kena mundur kena”.  Seperti diketahui, Hamas secara beruntun telah terkena dua pukulan telak belakangan ini. Pertama, Pemerintah Suriah Bashar al-Assad menang atas kaum pemberontak yang didukung Hamas di Damaskus, dan kedua, pemerintahan Ikhwanul Muslimin yang didukung Hamas di Mesir, yang dipimpin oleh Mohamed Morsi, jatuh dalam waktu singkat. Di tambah situasi politik dunia Arab yang disponsori Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, dan Bahrain yang memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar, sehingga Hamas kehilangan dukungan finansial dan politik dari Qatar dan Iran.

Dengan semakin sedikit teman di kawasan, Hamas pada gilirannya tidak memiliki banyak pilihan kecuali kembali ke Palestina. Tidak mengherankan bila Hamas dengan cepat dan tanpa syarat menerima seluruh tuntutan Presiden Mahmoud Abbas yakni: membubarkan komite administratif dan meyerahkan tanggung jawab pemerintahan Gaza sepenuhnya serta segera diadakannya pemilihan Presiden dan Parlemen di Gaza dan Tepi Barat.

Rekonsiliasi jelas merupakan modal besar bagi bangsa Palestina, terutama guna melaksanakan pemilihan umum – yang akan memberikan legitimasi bagi terobosan diplomasi yang telah lama terbengkalai. Ya, sekarang adalah saat yang tepat bagi Mesir dan Palestina untuk memulai langkah berikutnya: meja perundingan.

Tidak bisa dipungkiri bahwa untuk mencapai negara Palestina merdeka di sepanjang perbatasan sebelum 1967, kedua aktor tersebut perlu bekerja sama dengan AS, di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump. Trump sendiri telah mengklaim bahwa dia akan memberikan “kesepakatan akhir” untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Tapi Trump dan Netanyahu, juga saling memberi hawkishness masing-masing, keduanya tidak mau menerima pandangan seluruh dunia sebagai premis dasar kesepakatan yang bagus yakni: solusi dua negara.

Kesepakatan perdamaian Israel dan Palestina memang memerlukan kerelaan yang dalam oleh kedua belah pihak – sebuah konsesi politik yang harus dipikul oleh para pemimpin di kedua belah pihak untuk meyakinkan rakyat masing-masing. Menantu dan penasihat Trump, Jared Kushner, yang bertugas menyelesaikan konflik, dan kepala perunding utama Trump mengenai masalah ini, Jason Greenblatt, tampaknya memahami hal ini. Dan Mesir telah memberikan andil besar bagi terbukanya pintu diplomasi bagi Palestina.

Yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah orang-orang Israel bersedia membuat konsesi semacam itu, yakni solusi dua negara atau sistem pembagian kekuasaan dalam satu negara bagian. Jika tidak, rekonsiliasi Palestina baru-baru ini, betapapun positifnya, tidak akan membuka kanal baru bagi berakhirnya konflik Israel-Palestina. (Agus Setiawan)

Exit mobile version