Berita UtamaHukum

Hakim yang Sidangkan Perkara Ahok Diminta Independen

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Komisi Yudisial (KY) mengimbau agar Majelis Hakim yang menyidangkan kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tetap independen dan imparsial dalam menjatuhkan putusan. Kemerdekaan dan independensi hakim diperlukan untuk menjamin ‘impartiality‘ dan ‘fairness‘ dalam memutus perkara.

“Kepada semua pihak KY mengimbau untuk menghormati prinsip independensi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan, yakni bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis. Karena selain independensi, hakim juga memiliki akuntabilitas sehingga dapat menjalankan peradilan yang bersih, dipercaya oleh masyarakat dan menjadi kekuasaaan kehakiman yang berwibawa,” ujar Jubir KY, Farid Wajdi kepada Nusantaranews.co melalui pesan singkat di Jakarta, Senin, (1/5/2017).

Selain itu, Ia juga meminta agar majelis hakim lebih bijak dan selektif dalam membaca berita dan media sosial yang berpotensi membuat hakim terpengaruh dan merasa diintervensi. Hal ini dikarenakan hakim juga adalah manusia biasa, yang tidak bisa lepas rasa takut ketika diintervensi dan diintimidasi.

Baca Juga:  Pemkab Nunukan Gelar Konsultasi Publik Penyusunan Ranwal RKPD Kabupaten Nunukan 2025

“Jadi Hakim sepatutnya menghindari polemik ruang hukumnya bagi para pakar hukum di luar ruang persidangan. Jika para pakar hukum di luar sidang lebih ahli atau berdebat diruang publik, disadari atau tidak martabat pengadilan atau hakim terdegradasi karena ketidakpercayaan publik,” ucap Farid.

Sementara itu, berkaitan dengan substansi perkara. KY sendiri mengaku membatasi diri, sebab selain Independensi Hakim yang wajib dijaga, proses hukumnya masih berlangsung.

“Jadi fokus KY akan ada pada etika majelis hakim dalam mengelola perkara ini baik perilaku on bench conduct (perilaku di dalam sidang)  maupun off bench conduct (perilaku di luar sidang),” katanya.

Adapun selama ini pengawalan dalam kasus ini secara garis besar dilakukan lewat dua metode, pemantauan tertutup dan pemantauan terbuka. Penggunaan metodenya sangat bergantung pada penilaian internal tentang urgensi kasus yang dihadapi.

“Soal kelanuutannya, tidak bisa kami jelaskan satu persatu, namun secara umum untik kasus yang menarik perhatian publik selalu berkelanjutan (baik terbuka atau tertutup),” pungkas Farid.

Baca Juga:  Wabup Nunukan Hadiri Rembug Stunting dan Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrim

Diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) menjadwalkan agenda pembacaan putusan terhadap terdakwa kasus penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Selasa (9/5/2017) di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan.

Agenda pembacaan putusan tersebut, setelah dilakukannya serangkaian sidang seperti sidang dakwaan, sidang pembacaan eksepsi, sidang pemeriksaan sejumlah saksi, sidang pledoi, dan sidang tuntutan JPU (Jaksa Penuntut Umum).

Adapaun dalam kasus ini, JPU menuntut Ahok dengan 1 tahun pidana penjara dengan masa percobaan dua tahun. Ia dianggap terbukti telah melanggar Pasal 156 KUHP sebagaimana dalam dakwaan alternatif.

Dalam tuntutannya, Jaksa menilai Ahok terbukti melakukan penodaan agama karena menyebut surat Al-Maidah saat bertemu warga di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu pada (27/9/2016) lalu. Penyebutan surat Al Maidah tersebut dinilai oleh Jaksa dikaitkan Ahok dengan pilkada DKI Jakarta.

Lebih jelasnya, kalimat Ahok yang dianggap menodai agama yakni ‘Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu nggak bisa pilih saya ya kan? dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51, macam-macam itu. Itu hak Bapak-Ibu ya. Jadi kalau Bapak-Ibu perasaan nggak bisa kepilih nih, karena saya takut masuk neraka karena dibodohin gitu ya, tidak apa-apa’.

Baca Juga:  Anton Charliyan Lantik Gernas BP2MP Anti Radikalisme dan Intoleran Provinsi Jawa Timur

Pewarta: Restu Fadilah
Editor: Achmad Sulaiman

Related Posts

1 of 17