NUSANTARANEWS.CO – Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) meminta agar hakim menjatuhkan hukuman tambahan kepada terdakwa kasus dugaan suap raperda reklamasi pantai utara Jakarta dan pencucian uang, Mohamad Sanusi. Hukuman tambahan yang dimaksud adalah pencabutan hak politik selama lima tahun.
Jika permintaan tersebut dikabulkan Majelis Hakim Tipikor, maka Sanusi sudah tak bisa maju atau dicalonkan sebagai pejabat dan penyelenggara negara selama lima tahun setelah bebas dari hukuman penjaranya. Kini Sanusi merupakan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta.
Sanusi mengaku dirinya akan menerima semua putusan majelis hakim nantinya, termasuk jika majelis hakim mengabulkan permintaan JPU KPK untuk mencabut hak politiknya. Justru dia mengaku senang jika hak politiknya dicabut, karena dapat terhindar dari kehidupan yang dikerumuni dengan berbagai macam persoalan.
“Kalau negara mutusin seperti itu, yah kita ikut saja. Memang kalau tidak dapat berpolitik kenapa? Jadi ya sudah tidak apa-apa jadi hidup tidak ada persoalan,” ucap Sanusi.
Mantan Politikus Gerindra itu juga mengaku menghargai JPU KPK yang telah menyusun berkas tuntutannya hingga 1.800 halaman.
“Saya hargai kerja jaksa, ini tidak main-main lho 1.800 halaman. Jadi tidak apa-apa, jadi kan saya punya waktu untuk membuktikan,” pungkas Sanusi.
Salah satu pertimbangan JPU KPK meminta hakim untuk mencabut hak politik Sanusi lantaran status Sanusi sebagai Anggota DPRD DKI Jakarta yang terjerat kasus korupsi. Padahl seyogyanya sebagai anggota DPRD DKI yang dipilih langsung oleh warga Jakarta, seharusnya Sanusi menjalankan amanah rakyat.
Sebagai informasi, JPU KPK sebelumnya menyatakan bahwa Sanusi terbukti menerima suap sebesar Rp 2 miliar dari mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja. Suap tersebut terkait pembahasan peraturan daerah tentang reklamasi di pantai utara Jakarta.
Sanusi juga disebut terbukti melakukan pencucian uang sebesar Rp 45 miliar atau tepatnya Rp. 45.287.833.773,00. Jaksa mengatakan uang tersebut digunakan untuk pembelian tanah, bangunan, serta kendaraan bermotor.
Dengan demikian, Sanusi telah melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. Kemudian juga Pasal 3 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang jo Pasal 65 ayat 1 KUHP. (Restu)