Budaya / SeniCerpen

Hai, Ini Aku

Cerpen Latif Pungkasniar

NusantaraNews.co – Aku menyebutnya dari belakang, karena hanya sosokmu dari belakang yang terlihat. Cara jalanmu, cara dudukmu, tertawamu semua dapat kulihat dari belakang. Kita seringkali berbincang tapi aku tidak pernah saling memandang raut wajah masing-masing.

Kita sering bercakap tentang hidup, duniaku, dan duniamu. Duniamu yang magis dan tak pernah kupahami tetapi selalu kau ceritakan dengan panjang lebar. Ada satu hal yang membuatmu merasa dirugikan karena meski aku tak bisa memandang raut mukamu, dadamu, matamu, bibirmu, bahkan telingamu—karena telingamu selalu ditutup gerai rambut— paling tidak aku bisa memandangmu. Sedangkan kau tak pernah melihat wujudku, hanya bisa melihat bayanganku saat matahari sedang berbaik hati bersinar di belakangku lalu mengirimimu bayang-bayang. Itulah kenapa kau sangat suka jam dua sore, bayangan jam dua sore tak menipu katamu.

“Kau, benarkah kau setinggi ini?” ucapmu sambil menunjuk tanah yang menggambarkan bayanganku. “Ini kepalamu, lenganmu, kakimu, rambutmu. Hey! Rambutmu acak-acakan ya?”

“Iya.” Jawabku heran, bayangan rambut tidaklah menunjukkan berantakan atau rapi rambut seseorang. Tapi bagaimana kamu tahu?

Ah kamu memang penuh dengan hal-hal yang tak kuketahui. Kau punya daya magis untuk mengikatku, untuk terus mengikutimu ke mana pun kau pergi. Aku, sangat mudah jatuh cinta pada orang sepertimu. Yang mengerti hal-hal kecil meskipun tidak melihat, seperti rambut berantakanku yang kau temukan barusan.

“Ah sayang sekali, kita tidak bisa saling pandang. Kau selalu melarangku membalikkan badanku untuk memandangmu. Ibarat sebuah cerita, maka cerita tentang kita akan begini-begini saja. Tak ada kemajuan.” Kata mulutmu yang tak kulihat komat-kamitnya.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

“Kok begitu?”

“Iya, kita akan seperti ini terus tanpa tatap muka. Saling mengenal, menyebut nama, tanpa tahu muka.”

“Katakanlah saat ini kita sedang menulis dan saat ini kita belum menemui akhir cerita. Nanti suatu saat kita pasti menemui akhir cerita kita.”

“Kalau ada yang keburu mati?”

“Berarti akhir cerita itu disitu. Aku atau kamu yang mati lebih dulu, kita akan menatap wajah nanti. Tapi tentu saja tidak saling menatap. Bukankah yang mati hanya berhak ditatap, tanpa punya kekuatan untuk menatap?”

Kita berbincang tanpa bertatap muka sudah sejak dua tahun yang lalu. Saat itu, aku sedang menunggu seseorang di sebuah stasiun tua yang sepi pengunjung. Aku melihatmu dari belakang, kala itu kau membawa tas gendong yang sedikit terbuka dan menyembul sebuah novel dari dalamnya, Mrs. Dalloway milik Virginia Wolf. Buku itu yang membuatku tertarik padamu waktu itu. Aku maju dua langkah lalu menyapamu.

Kau bergerak dari gesturmu aku mengartikan kalau kau ingin menoleh.

“Jangan menoleh!” sergahku, kau menurut dan tetap menatap pada sudut yang sama. Lalu kita saling terdiam beberapa saat.

Sampai kau mengeluarkan sebuah suara, “Anna.” Katamu seperti menyebutkan sebuah nama.

“Alex,” aku mengarang sebuah nama.

“Kenapa aku tak boleh menoleh?”

“Agar kita tak saling tahu muka masing-masing.”

“Kenapa?”

“Agar tak saling tahu.” Kau menyerah pada alasan kenapa kita tak saling bertatap.

Sejak saat itu aku selalu mengikutimu kemanapun kau pergi, aku selalu berjalan dibelakangmu. Duduk di belakangmu. Tidur di belakangmu. Aku bisa membaca rasa penasaranmu untuk melihatku. Pernah suatu saat kau mengungkapkan kalau kau ingin berubah posisi. Aku yang kini kau lihat dari belakang, tapi aku tak mau. Aku bilang kalau sudah kadung nyaman dengan posisi ini, dan aku seringkali merasa risih jika ada yang memandangku diam-diam telebih aku tak tahu wujud orang yang memandangku, meski dari belakang.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Sejak aku di belakangmu, kau nampak lebih ceria, setidaknya seperti itulah yang kau ungkapkan, karena aku tidak pernah tahu kau sebelumnya, jadi aku tak pernah tahu kau berbohong atau tidak. Tapi aku lebih memilih mempercayai ceritamu, aku suka melihatkau ceria, meskipun dari belakang.

“Aku senang mempunyai teman sepertimu, kau membuatku lebih ceria.” Nah! Kalimatmu kau susul dengan tertawa, aku melihat bahumu naik turun seiring tawamu yang terpingkal-pingkal. “Aku seperti memiliki sahabat, kau tahu, dulu aku adalah orang yang tertutup, tapi denganmu aku bisa mengumbar ceritaku. Tak malu-malu membuka rahasia, tak segan membicarakan hal tabu. Karena sebenarnya kita tak saling kenal. Kita saling mengetahui masing-masing meskipun sebenarnya kita tak mengetahui apa-apa tentang satu sama lain.” Aku membayangkan kau mengucapkan ini dengan tersenyum. “Terimakasih,” lanjutmu.

Aku hanya membalas dengan senyum yang tak kau ketahui. Tapi kau tak menuntut sebuah jawaban. Karena kupikir kau sudah tahu aku pasti tersenyum.

“Saat bersamamu, aku tidak lagi memedulikan hal lain, paling tidak aku tidak lagi merasa sendirian. Ah aku benci sendiri, tapi aku juga membenci keramaian. Berdua denganmu? Pas!”

“Kau berlebihan Anna, aku juga merasa nyaman jika mengikutimu, ke mana pun kau pergi, aku cukup menikmati saat-saat memandangmu meskipun hanya dari belakang.” Aku yakin kau pasti tersipu malu, meronakan pipi yang tak pernah kulihat.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

“Sudah dua tahun, sejak pertama kali bertemu. Tapi kita masih selalu seperti ini. apakah kau tidak ingin kita saling bertukar pandang. Cara terbaik untuk mengenali seseorang adalah dari mata, setidaknya begitulah kata buku yang kubaca.”

“….” aku bingung bukan hanya kali ini kau meminta persetujuanku untuk saling bertatap.

“Ijinkan aku menatapmu. Dua detik saja.”

“Dua detik? Tanpa bicara!”

“Tanpa bicara.”

“Baiklah!” aku menyetujui dan kau seketika memalingkan mukamu.

“Hai, ini aku.” Kita saling tatap, tak hanya dua detik. Kita bertukar senyum dan detik hampir menjadi menit.

“Ternyata seperti ini rupamu?” kau melanggar dua janji dalam belum satu menit. Janji dua detik dan tanpa bicara.

Anna memandang ruangan kosong, lalu tersenyum.

“Kau harus harus memalingkan mukamu lagi Anna,” ucap Anna, sejenak ekspresi mukanya berubah.

“Baiklah,” kata Anna lagi, lalu dia berpaling memunggungi ruang kosong. Di mukanya masih tersungging senyum lebar. “Ternyata seperti itu rupamu.”

Setiap jam dua tepat saat matahari sedang berbaik hati. Anna masih menjumpai bayangan yang dapat dilihat melampaui dirinya, tanpa sadar kalau itu hanyalah bayangannya sendiri.

Latif Pungkasniar, bekerja sebagai editor buku di sebuah penerbit. Dapat dihubungi di latifpungkasniar.tumblr.com dan [email protected]

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]

Related Posts

1 of 39