NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pimpinan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA mengatakan, akan ada lima tokoh yang menentukan kemana arah politik Golkar paska penetapan Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus korupsi e-KTP. Pertama, kata Denny ialah Setya Novanto sendiri yang masih sah selaku ketum Golkar dan memiliki loyalis dalam pengurus inti Partai Golkar masa kini.
“Kedua, adalah Aburizal Bakrie yang secara formal kini menjabat ketua Dewan Pembina Partai Golar. Di samping dekat dengan pemerintah, Aburizal juga tetap dianggap mentor politik KMP, partai yang tidak menjadi bagian pemerintah,” kata Denny JA saat dikonfirmasi Nusantaranews.co, Selasa, 18 Julli 2017.
Ketiga adalah Jusuf Kala. Ia mantan ketum Golkar dan kini menjabat wakil presiden. Walau pengaruhnya tak sekuat dulu, ia tetap menjadi senior bagi faksi politik tertentu di Golkar, terutama Indonesia Timur. Keempat adalah Luhut Panjaitan. Secara formal Luhut tidak menjabat dalam kepengurusan Golkar. Tapi sebagian elit Golkar meyakini suara Jokowi dapat didengar melalui arahan politik Luhut. Dan Kelima adalah Akbar Tanjung. Ia sudah menjadi legenda di Golkar. Arahan politiknya soal Golkar tetap punya nilai berita bagi pers dan pendukung setianya, walau tak sehebat dulu,” jelas Denny.
“Sinerji lima tokoh ini, dan tarikan kepentingan politik jangka pendek bagi Golkar sendiri sebagai institusi akan membelah Golkar dalam tiga kelompok politik,” kata Denny.
Pertama, kata Dennya, ialah kelompok yang berjuang agar Munas Golkar tak lagi terlaksana hingga Novanto menyelesaikan tugasnya setidaknya melewati tahun 2019. Secara resmi, Novanto terpilih sebagai ketum hingga tahun 2020. Jika tak bisa selesai hingga tahun 2020, setidaknya Novanto tetap sebagai ketum Golkar mengantarkan Golkar dalam event penting Pileg dan Pilpres 2019.
“Kelompok ini tentunya berisi para loyalis Novanto dalam kepengurusan inti partai. Bergantinya Novanto jika ada Munaslub akan juga menyebabkan posisi mereka di partai bergeser. Bangun dan jatuhnya mereka seiring juga dengan bangun dan jatuhnya Novanto,” jelasnya.
“Kelompok ini mungkin akan kecewa dengan Jokowi yang tak bisa melindungi Novanto secara politik. Mereka sudah bekerja ekstra menjadi partai pertama yang mencapreskan Jokowi kembali. Tapi KPK memang tak bisa disentuh, dan Novanto tetap tersangka. Namun kelompok ini tak ada pilihan lain kecuali tetap mendukung Jokowi. Mereka goyah dalam opini publik. Tanpa dukungan Jokowi mereka akan semakin goyah. Dukungan kepada Jokowi diharapkan juga tak ada intervensi diam diam pemerintah untuk ikut melengserkan Novanto dalam Munaslub sebelum 2019,” sambung Denny.
Adapun yang kedua adalah kelompok pro Munaslub tapi juga pro Jokowi. Kelompok ini peduli dengan nasib Golkar pada pemilu 2019 jika ketumnya tersangka. Golkar akan sangat mudah digoreng lawan. Bisa jadi Golkar untuk pertama kalinya dalam sejarah pemilu tidak berada di nomor satu atau nomor dua.
“Sebagian yang tadinya pro Novanto akan berpindah pada posisi politik baru. Mereka ingin Golkar punya ketum baru. Itu hanya sah melalui munaslub segera mungkin agar siap menghadapi Pileg dan Pilpres 2019. Bahkan mereka ingin pula siap menghadapi Pilkada 2018 dengan ketum baru. Dimana, orientasi politik kelompok kedua ini tetap pro pemerintah dan pro pencapresan Jokowi. Kelompok ini memberikan proposal yang mereka anggap lebih menarik kepada pemerintah. Kubu ini akan meyakinkan Jokowi bahwa Golkar akan lebih kuat mendukung Jokowi jika ketum barunya tak bermasalah secara hukum,” kata Denny menguraikan.
Sedangkan yang Ketiga adalah kelompok pro Munaslub namun tak lagi buru buru pro Jokowi. Bagi kelompok ini, tak ada keuntungan bagi Golkar mendukung Jokowi terlalu dini. Terbukti secara politik ketum Golkar tak bisa dilindungi. Ini era transparansi. KPK jauh lebih independen dibandingkan yang diharapkan oleh politisi gaya lama.
Kelompok ini juga melihat Jokowi tidak sepopuler SBY di era periode pertama. Dua tahun sebelum pilpres 2009, ketika SBY akan menjabat presiden kedua kalinya, dukungan pada SBY dalam pilpres berikutnya, SBY selalu berada di atas 55 persen untuk simulasi tiga tokoh. Sedangkan Jokowi di era yang sama, simulasi hanya dua tokoh saja, dukungan (elektabilitas) atas Jokowi di bawah 50 persen.
Kepastian Jokowi terpilih kembali dalam masa dua tahun sebelum pilpres 2019 tak sekuat potensi terpilihnya kembali SBY dalam dua tahun sebelum 2009. Bagi kubu politik ketiga ini, lebih baik Golkar “wait and see” melihat siapa yang lebih berpeluang menjadi presiden 2019 nanti.
“Kubu ketiga ini tak akan secara frontal melawan Jokowi. Namun mereka juga tak akan membabi buta dan terlalu semangat mencapreskan Jokowi terlalu dini,” kata Denny.
Pewarta/Editor: Achmad Sulaiman