Berita UtamaEkonomiPolitik

Gurita Sistem ‘Plutokrasi Cina’ di Indonesia

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Menurut aktivis senior Sri Bintang Pamungkas, di luar UUD 1945 dan Pancasila, orang segera akan tahu, bahwa di Indonesia saat ini yang tengah berlangsung justru sistim kekuasaan ‘Plutokrasi’ bukan ‘Demokrasi’. Dimana banyak nama disampaikan orang untuk menunjukkan sistem kekuasaan negara yang berlaku di Indonesia, antara lain, kata dia ‘Kleptokrasi’, yaitu negeri tempat berkuasanya para maling.

Adapun ‘Plutokrasi’, dalam artian yang sesungguhnya bersifat netral, untuk menunjukkan adanya segelintir orang kaya raya yang menjadi penguasa negeri. Tetapi di Indonesia, artinya tidak netral lagi, karena yang berkuasa adalah kelompok ‘Cina Pendatang’, bukan ‘Pribumi’, bukan ‘Orang Asli Indonesia’, demikian UUD 1945 menyebutnya.

Memang jumlah orang Cina di Indonesia bertumbuh terus sejak kedatangan mereka pada 1200an, hampir bersamaan dengan datangnya orang-orang Belanda dan Bule-Bule lain dari Eropa, yang menjajah negeri ini. Cina-Cina Pendatang ini berambisi menjadi suku kedua, setelah Suku Jawa, suku terbesar diantara 1300an suku yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.

Baca Juga:  Prabowo-Gibran Menang Pilpres 2024, Gus Fawait: Bukti Pemimpin Pilhan Rakyat

Pada umumnya, perekonomian, perdagangan, keuangan dan industri berada di bawah kekuasaan Cina-Cina Pendatang ini. Mereka lanjut Sri Bintang dijadikan mitra oleh para Belanda sebagai mediator dalam proses penjajahan, dan diberi kedudukan di atas Pribumi. Selain mempunyai jiwa kepengusahaan yang tinggi dari sisi karakter bangsanya, orang-orang Cina ini juga secara sistimatik memang berusaha menguasai negeri Indonesia, layaknya seperti si Belanda, sekalipun Bule-Bule ini sudah terusir. Tidak hanya penguasaan di sektor ekonomi, melainkan juga sosial, budaya, politik dan lain-lain.

Dirinya menambahkan, bahwa tentu tidak semua orang Cina mempuntai jiwa penjajah seperti itu. Layaknya Bule-Bule yang dulu ketika datang pertama kalinya, juga awalnya hanya mau berdagang. Ada juga yang mencari tempat tinggal baru, bermigrasi karena terdesak oleh perang, ketidaknyamanan dan lain-lain.

Tetapi sekelompok kecil yang berjiwa Penjajah memang benar-benar ada. Sebutlah mereka Mafia Cina. Untuk membedakannya dari Cina-Cina Penjajah, yang karena jiwa penjajahnya itu menjadi Taipan dan Konglomerat. Kelompok kecil minoritas Mafia Cina inilah kekuatan kaya raya yang secara de facto menjadi ‘Plutokrat’. Karena itu ada yang menyebutnya ‘Plutokrasi Cina’. Untuk membedakannya dari ‘Plutokrasi saja’ yang berarti Plutokrat Pribumi. Pada hakekatnya Plutokrasi saja itu pun tidak ada di dunia. Di Negara-negara maju yang ada adalah demokrasi dengan berbagai coraknya.

Baca Juga:  Jelang Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres 2024, Khofifah Optimis Prabowo-Gibran Menang

“Memang kemudian ‘Plutokrasi Cina’ di Indonesia menjadi keanehan sendiri di mata Dunia,” ungkap Sri Bintang. Konon hanya sekitar 50 orang mafia Cina ini menguasai kekayaan lebih dari 50% penduduk, termasuk dari bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya. Kekayaan mereka mencapai di atas USD 1 milyar sampai USD 10 milyar.

Hampir setiap tahun ada publikasi dunia tentang 50 sampai 100 orang terkaya Indonesia. Badan Pusat Statistik/BPS dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas tentu lebih tahu angka-angka pastinya, sekiranya mereka peduli dan jujur. Diantara mereka adalah 9 Naga Taipan Plutokrat yang mengatur Republik ini.

Tentulah situasi ini tidak bisa dibenarkan, sehingga perubahan dari sistim ‘Plutokrasi Cina’ ke ‘Demokrasi’ harus terjadi. Sama seperti ketika orang-orang Indonesia Asli memutuskan untuk mengusir Penjajah Belanda dan Jepang. Tidak ada yang aneh atau istimewa, sangat alami.

Sejak Sumpah Pemuda 1908, bahkan sebelumnya, para pemuda tokoh bapak bangsa sudah mulai bergerak untuk mengusir penjajah. Demikian pula kemudian Soekarno-Hatta. Penjajahan di muka Bumi ini harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. “Mungkin mengingat berbagai penderitaan yang dialami Soekarno-Hatta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, seorang kawan, Zeng Wei Jian, mengingatkanku untuk tidak mengangkat soal Ras Cina, agar para algojo mafia Cina tidak mencari perhitungan. Wei Jian tentu lupa, karena dia sendiri yang pertama kali mengangkat istilah ‘Chinese Plutocracy’,” pungkas Sri Bintang.

Baca Juga:  Sumbang Ternak Untuk Modal, Komunitas Pedagang Sapi dan Kambing Dukung Gus Fawait Maju Pilkada Jember

Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 14