“Lahirnya wabah de-urbanisasi akan menempatkan desa kembali sebagai kantung-kantung peradaban di masa depan. Dan kota mulai akan ditinggalkan penghuninya.”
NUSANTARANEWS.CO – Selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir, Indonesia termasuk salah satu negara-bangsa yang gagal dalam memanfaatkan globalisasi. Jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti Tiongkok, Malaysia maupun Singapura, Indonesia sesungguhnya negara tergagap dalam mengelola globalisasi itu sendiri.
Penting untuk diketahui, ketika globalisasi gelombang II memasuki masa keruntuhannya, situasi dunia benar-benar dalam keadaan kacau. Dimana kebuntuan terjadi di mana-mana, termasuk kebuntuan ilmu-ilmu sosial dalam membedah permasalahan untuk mencari dan menemukan solusi. Krisis global dalam dasawarsa terakhir, tak lain adalah goncangan akibat dari tanda berakhirnya globalisasi gelombang kedua.
Saat itulah negara-bangsa benar-benar diuji dalam memasuki globalisasi gelombang ketiga. Bahkan mantan Menteri Koperasi RI, Adi Sosono (2008) membenarkan akan tanda-tanda zaman baru tersebut. Menurutnya konsep bangsa, negara dan kepemimpinan akan diuji oleh arus globalisasi gelombang ketiga.
Dalam bukunya Rakyat Bangkit Bangun Martabat, Adi Sasono berpandangan bahwa globalisasi gelombang pertama diwarnai pada pola dominasi kegiatan agraris pra-industri. Kemudian lanjut dia, para masyarakat masuk gelombang kedua yang ditandai budaya produksi-massa, pendidikan-massa yang cenderung berskala raksasa.
Pendekatan produksi massa ini telah mendorong tumbuh pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Dimana disiplin keilmuan terkotak-kotak dalam spesialisasi karena sejalan dengan ideologi efisiensi yang melandasinya untuk mengejar hal yang lebih besar.
Dalam hal ini, Alvin Toffler pernah menyebutkan bahwa globalisasi gelombang kedua ditandai dengan masyarakat industri yang melahirkan corak manusia yang ‘ekonomis’ dan rakus. Dengan kata lain, globalisasi gelombang kedua ini identik dengan kebudayaan produk massa, pendidikan massa, komunikasi massa, budaya teknologi yang tumbuh pesat, urbanisasi dan penggunaan energi yang tidak dapat diperbaharui serta kerusakan alam secara besar-besaran akibat ekploitasi manusia.
Akibatnya, terjadi reduksi besar-besaran yang membawa pada budaya yang mengabaikan keterkaitan antara berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi. Adat istiadat serta pranata sosial tak lagi difungsikan mengakibatkan situasi dunia berada dalam situasi batas yang penuh kebingungan. Saat itulah globalisasi gelombang kedua berakhir dan akan memasuki tata dunia baru bernama globalisasi gelombang ketiga.
Tanda-Tanda Globalisasi Gelombang III
Adi Sasono menjelaskan bahwa globalisasi gelombang ketiga ditandai dengan berkembangnya masyarakat informasi yang memaksa manusia mempertanyakan kembali hampir semua aspek kehidupan. Ada tiga faktor yang mendorong kesadaran baru ini muncul. Pertama, terjadinya keterbatasan bahan bakar fosil, sehingga manusia harus kembali kepada sumber energi baru terbarukan (energy renewable).
Kedua munculkan teknologi komunikasi dan informasi yang memungkinkan banyak manusia untuk melihat keterkaitan berbagai fenomena yang saling memengaruhi dalam cakupan yang lebih dalam dan luar secara sinergis dan serasi dengan alam semesta. Hal ini kemudian mendorong terjadinya proses produksi yang cenderung menjauhi gaya produksi-produksi massa yang terkonsentrasi.
Ketiga lahirnya wabah de-urbanisasi yang menempatkan desa-desa sebagai kantung-kantung peradaban di masa depan. Kota mulai akan ditinggalkan dan hanya sebagai pusat administrasi. Sebaliknya desa akan menjadi epicentrum dari pusat kebudayaan itu sendiri.
Untuk itu Indonesia harus siap dan sigap menghadapi globalisasi gelombang ketiga tersebut, terlebih Indonesia memiliki Pancasila yang sesungguhnya merupakan jawaban dari zaman baru itu sendiri. Jangan sampai seperti yang sudah-sudah, Indonesia gagal menjadi negara-bangsa dalam mengelola tata dunia baru kali ini.
Penulis: Romandhon