NUSANTARANEWS.CO – Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani, mengungkapkan bahwa gelar perkara terbuka sangat tidak memungkinkan untuk dilakukan. Pasalnya, hingga saat ini belum memiliki kerangka prosedur dan landasan hukumnya.
Menurutnya, penegakkan hukum yang tegas, cepat dan transparan juga harus sesuai dengan koridor dan prosedur yang berlaku. Transparan dalam hal ini, lanjut Arsul, tidak mesti disiarkan secara langsung kepada publik.
Arsul menjelaskan, meskipun dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 14 Tahun 2012 gelar perkara tidak dikatakan tertutup atau terbuka namun hal itu dipahami sebagai tertutup.
“Karena kalau gelar perkara itu paling dipahami penyidik sama wasdit, sama pelapor, terus terkait apakah perkara pidana itu ditambah terlapor dan pelapor. Kalau gelar perkara khusus paling ngundang para ahli dan sebagainya, karena yang menjadi materi perkara itu confidential atau rahasia,” ungkapnya kepada wartawan di Gedung Nusantara I DPR/MPR RI, Jakarta, Kamis (10/11).
Sedangkan jika digelar secara terbuka, Arsul mengatakan, selain membuka rahasia negara, nantinya akan timbul polemik yang berkepanjangan seperti kasus Kopi Sianida Jessica Wongso.
“Jadi antara manfaat dan mudharatnya itulah yang harus dikaji betul-betul,” ujarnya.
Arsul menyarankan, akan lebih baik jika gelar perkara soal kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Non Aktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dilakukan dengan metode tertutup diperluas atau terbuka terbatas.
“Siapa yang harus diundang? Ya wakil-wakil dari kedua belah pihak. Para ahlinya juga harus diundang. Tetapi juga aturan mainnya ditegakkan. Nggak bisa gelar perkara itu dilakukan seperti kemudian kayak persidangan, jadi bantah-bantahan,” ungkapnya menambahkan. (Deni)