Budaya / SeniKhazanahOpini

Gebrak Literasi dari Meja Guru

Era digital geser buku konvensional/Foto Ilustrasi/baomoi/Nusantaranews
Era digital geser buku konvensional/Foto Ilustrasi/baomoi/Nusantaranews

Oleh: Muhammad Itsbatun Najih*

Saban pagi, sekitar 3,2 juta guru memancarkan cahaya pengetahuan dan keberbudian di ruang-ruang kelas. Para guru memberikan materi pelajaran, berdiskusi, dan peserta didik tekun mendengar serta antusias bertanya. Para guru mengakrabi buku; membuka lembar demi lembar dengan seksama. Buku-buku yang diakrabi adalah buku teks pelajaran. Sesekali menulis. Guru menulis Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan menulis soal ulangan/ujian semesteran.

Buku mata pelajaran adalah pedoman mengajar untuk guru. Sekali lagi, peserta didik dan terutama guru bergiat membaca penuh-seluruh hingga mengkhatamkannya berkali-kali. “Semarak literasi” seperti itu tampak bergeliat. Namun, literasi yang demikian itu kiranya bukan patokan untuk kemudian bisa terlabeli sebagai cakap literasi atau literat, telah berkembang pesat. Salah satu cara yang kiranya dapat dijadikan tolok ukur adalah kemampuan membaca –dan menulis– terhadap buku-buku non pelajaran/buku teks.

Baca Juga:

Di banyak sekolah, ekstrakurikuler jurnalistik dipraktikkan. Setidaknya, setahun sekali, terbitlah majalah sekolah. Di ruang-ruang kelas, biasanya terdapat majalah dinding. Berisi cerpen, puisi, artikel-artikel yang dikemas sederhana. Problemnya, hal-hal semacam itu, hanya berkutat di seputaran sekolah dan diisi peserta didik. Sementara guru bak ada keberjarakan dengan peserta didik yang terus mengasah kecakapan literasinya. Sedangkan literasi guru mandek lantaran minim wadah untuk menulis.

Karena itu, ada kemendesakan perhatian berkait literasi para guru. Padahal, guru lebih berpengalaman dan berpunya bahan berlebih perihal pengetahuan/pembelajaran. Karena itu, guru –yang tidak sedikit jumlahnya telah bergelar sarjana—idealnya menjadi teladan praktik literasi (baca: menulis). Pun, saban sekolah, hampir-hampir berpunya perpustakaan. Kita memang tidak memungkiri, perpustakaan sekolah masih banyak diisi buku-buku bernuansa mata pelajaran ketimbang buku ilmiah populer/non pelajaran. Pasalnya, perpustakaan sebagai ruang ilmu terstigma untuk ruang baca peserta didik.

Peserta didik memang sangat disorong untuk berliterasi. Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti; ada poin penting, yang menghasratkan kepada peserta didik untuk membaca buku selain mata pelajaran. Poin utama gerak literasi berorientasi pada peserta didik. Sedangkan para guru terandaikan sebagai penyemangat, penstimulus, dan pendorong literasi peserta didik.

Baca Juga:  Keluarnya Zaluzhny dari Jabatannya Bisa Menjadi Ancaman Bagi Zelensky

Dalam diskursus wacana dan polemik isu-isu kekinian, urun ide dari guru terkesan terpinggirkan. Simaklah tulisan-tulisan artikel opini di media massa nasional; tema-tema pendidikan dan lain-lain, hampir-hampir diisi-ditulis oleh kalangan dosen ketimbang guru. Pun, dalam langgam kesusastraan dan catatan budaya, para guru juga teranggap kurang tertampilkan. Dengan kata lain, dirasa ada yang kurang lazim ketika sebuah cerpen atau puisi; yang termuat di media massa, ditulis seorang guru.

Guru, di satu sisi, berada dalam zona marjinal. Meskipun tidak sedikit telah meraih gelar kesarjanaan, tetapi, mayoritas masih di bawah gelar akademik dosen. Sisi lain, ruang gerak guru terbatas pada ruang kelas dan peserta didik. Berbeda dengan dosen; yang sangat leluasa mengaktualisasikan diri pada perkembangan pengetahuan. Hal-hal inilah yang membuat suara guru belum dianggap “penting” dan oleh karenanya tulisan guru menjadi minim termuat di media massa/saluran publik mainstream. Terkata masih minim pemberian akses kepada guru untuk berliterasi di ruang publik. Tak mengherankan bila publikasi-publikasi didominasi kalangan dosen.

Kita mengapresiasi kala Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada 2016 menggagas Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Gerakan yang membawa angin besar gebrakan literasi dimulai dari bangku sekolah –dan meja guru. Tentunya, tidak sekadar menghasratkan capaian literat pada peserta didik, tetapi juga menyasar kalangan pendidik. Guru, tidak sekadar memotivasi peserta didik untuk membuat tulisan dan termuat media massa, melainkan pada guru itu sendiri, pun perlu menambatkan langkah serupa. Publikasi menjadi parameter dan kata kunci atas literat-tidaknya saban orang, suatu sekolah, sebuah negara.

Kita pun perlu mengapresiasi redaksi media massa lokal/daerah. Kini, di banyak koran lokal telah membuka rubrik khusus guru. Guru-guru dipersilakan menulis. Menulis tentang kurikulum pendidikan, interaksi bersama peserta didik, metode pembelajaran, dan lain sebagainya. Radar Banjarmasin, Radar Kudus, Wawasan, Tribun Jateng, adalah tamsil dari sekian banyak media massa yang ikut serta membantu guru menancapkan cakap literasi melalui publikasi. Kebijakan redaksi koran lokal tersebut kiranya memberi arti penting bagi guru. Selain “kemestian/keharusan” untuk cakap literasi yang perlu dipunya, kecakapan menulis dan termuat di media massa bagi guru, membawa banyak kefaedahan.

Baca Juga:  Penghasut Perang Jerman Menuntut Senjata Nuklir

Publikasi literasi guru mengandaikan kemasyhuran nama, aktualisasi diri, dan paramater prestasi. Kini, fenomena guru menulis di media massa kian semarak. Media massa masih menjadi rujukan dan tujuan lantaran ada saringan/koreksi oleh editor. Media massa juga masih mendominasi tingkat keterbacaan oleh masyarakat luas dan lebih prestis. Hal ini tentu berbeda dengan guru sekadar menulis di media sosial atau di blog yang tanpa koreksi redaktur dan keterbacaan rendah dan sambil lalu.

Kali pertama sebuah tulisan dimuat di media massa, ada semburat kegembiraan dan kebanggaan pada diri seorang guru. Tulisan guru  setidaknya telah dilihat –dan dibaca– oleh ribuan pembaca. Namun, ada problem baru yang lekas membentang. Guru tidak boleh berpuas diri. Seyogianya publikasi guru tidak kemudian hanya sekali saja dan setelah itu terhenti. Media massa juga tidak setiap hari memuat tulisan guru dan kini antarguru berlomba untuk dimuat. Tidak cukup telah berhasil publikasi satu-dua tulisan artikel sebagai tolok ukur guru literat; perlu keberlangsungan produktivitas menulis artikel. Sedangkan artikel opini bertipikal ringkas serta mengandung ketidaktuntasan pembahasan dan lembar kertas koran yang rentan rusak. Karena itu, guru literat teridealkan melanjutkan spirit literasi dan publikasinya dengan mendokumentasikan tulisan dalam rupa buku.

Buku dan guru

Seorang  wartawan, kata Ignatius Haryanto (2005) harus menulis buku. Sama halnya dengan guru, pencapaian wartawan/guru bukanlah meninggi dengan menjadi pemimpin redaksi/kepala sekolah. Melainkan bersifat “meluas-mendalam” dengan pencapaian untuk suatu bidang/pelajaran tertentu yang dikuasai oleh si wartawan/guru tersebut.

Guru berpunya buku terkira penting. Saban hari guru mengakrabi buku. “Keakraban” tersebut merupakan modal penting. Pula, didukung dengan adanya perpustakaan, koran, majalah, jurnal, dan internet. Selain itu, interaksi bersama anak didik juga menjadi sumur ide menulis. Kita bisa melihat tak sedikit guru yang telah mengajar puluhan tahun, namun ketika pensiun, tak banyak jejak pengalaman yang ditinggalkan dalam wujud buku.

Kiranya untuk menunjukkan “meluas-mendalam” wawasan seorang guru, buku merupakan wujud paling sahih sekaligus kredibel. Tak perlu menunggu menjadi kepala sekolah atau bergelar master/doktor pendidikan. Menulis buku tidak membutuhkan gelar dan lama mengajar. Cukup adanya kemauan serta ketekunan berproses kreatif menulis merupakan syarat mutlak.

Baca Juga:  Catatan Kritis terhadap Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024

Gairah menulis buku di kalangan guru pada hari-hari ini cukup menggembirakan. Kita perlu mengingat memori untuk dijadikan pijakan yang lebih mapan ke depannya kala kegiatan menulis masuk ke Penilaian Kinerja Guru (PKG) pada Permendiknas Nomor 35 Tahun 2010. Pada hari ini, guru cakap menulis juga menjadi bagian dari indikator guru berprestasi dan bisa diganjar mengikuti pelatihan kompetensi ke luar negeri, seperti yang dilakukan Kemendikbud, Februari 2019.

Guru perlu diyakinkan bahwa walaupun menulis buku bukan perkara gampang  karena menuntut kesiapan referensi, waktu, dan kemumpunian menulis, tetapi menulis buku bisa diawali dengan mengumpulkan artikel. Penerbit indie menjadi jalan paling realistis menerbitkan buku di saat masih sedikit tulisan guru yang mampu menembus penerbit mayor. Guru bisa menulis tema apa saja yang dikuasainya. Tak melulu babakan pendidikan. Namun, sebelum mengarah menulis buku, minat baca guru mesti ditingkatkan. Sebuah buku bermutu tentu berangkat dari pembacaan yang baik oleh si penulis. Anies Baswedan (2014) menuturkan pentingnya meningkatkan minat baca guru guna mewujudkan kompetensi guru.

Survei oleh Central Connecticut State University (CCSU) pada 2016 masih perlu dijadikan cambukan keras. Tingkat keliterasian kita menempati peringkat 60, kemampuan membaca peringkat 45, dan infrastruktur perpustakaan ranking 35. Kini, guru-guru yang beramai-ramai menulis artikel dan atau lantas membukukannya merupakan ikhtiar meningkatkan melek literasi bangsa melalui jalur pendidikan. Semakin banyak guru menulis buku, akan semakin tinggi prestasi guru tersebut. Dan, semakin tinggi pula kredibilitas sekolahnya. Menulis buku adalah kehormatan sekaligus kemuliaan guru dalam mendokumentasikan pikirannya untuk mewujudkan generasi literat. Buku adalah brevet kehormatan seorang guru.

*Muhammad Itsbatun Najih, Pegiat di Muria Pustaka, Kudus. Beberapa opini/esai/resensi buku kami termuat di: Jawa Pos, Tribun Jateng, Koran Jakarta, Indopos, Lampung Pos, Radar Surabaya, Jateng Pos, Koran Madura, Koran Muria, Wawasan.

Related Posts

1 of 3,148