Budaya / SeniPeristiwa

Gara-gara Yanusa Nugroho – Cerpen Riswandi

NUSANTARANEWS.CO – Tingkah laku Kaitung akhir-akhir ini mengundang pertanyaan dari orang-orang sekitar. Sikapnya saat bertemu wanita membuat beberapa orang memujinya sebagai orang alim karena selalu menjaga pandangan. Yang lain memandangnya sebagai orang aneh dan tidak umum.

“Padahal dia ganteng, tapi selalu menunduk jika melihat wanita,” ujar pemilik warteg belakang pasar, iseng mengomentari tingkah Kaitung.

Tiga orang buruh kasar yang biasa makan siang di warteg itu menoleh keluar dan mengangguk. Di depan warung, Kaitung berpapasan dengan seorang wanita yang baru keluar dari toko di sebelah kanan warung. Wanita itu cukup sintal dan cantik. Namun, pemuda itu justru menunduk saat berpapasan.

Pemuda itu sejenak berdiri di pintu. Ia menyadari bahwa dirinya menjadi pusat perhatian.

“Eh, Tung, sini! Lu alim ya sekarang!” ujar Kosid, si kuli panggul pasar.

“Alim bagaimana, Kang Kosid?”

“Lha itu tadi, Lu selalu menunduk jika berpapasan dengan wanita.”

Kaitung tertawa hingga hampir tersedak. Orang-orang di sana kompak melihat ke arahnya. Kerut di dahi mereka semakin rapat karena ia tidak juga menanggapi Kosid. Ia justru duduk di samping Kosid dan menyalakan sebatang kretek.

“Biasa saja, Kang. Saya lagi mencari sesuatu.” ujarnya sambil mengepulkan asap.

“Nyari apa, Tung. Nyari duit jatuh?” timpal seorang lainnya yang disambut tawa teman-temannya.

“Masa depan!” Jawaban singkat Kaitung membuat orang-orang berhenti tertawa. Dahi mereka kembali berkerut. Kaitung mencomot tahu, lalu mengunyahnya. “Ini gara-gara Yanusa Nugroho. Kalian tahu dia?”

Semua menggeleng.

“Yang kami tahu cuma bagaimana besok bisa beli beras, Tung!” timpal si pemilik warteg.

“Makanya baca! Meski orang kecil, kita harus mau baca.”

“Iya, iya, kita tahu. Tapi, apa hubungannya dengan masa depan, Tung?” ujar Kosid setelah menyeruput kopi hitam.

“Yah, gara-gara Yanusa itu saya jadi punya pandangan lain tentang wanita.” Ucapan Kaitung membuat orang-orang kembali bengong. “Kau tahu Drupadi, Srikandi, Gendari, juga Kunti? Menurut dia, mereka itu perempuan-perempuan cantik. Dan, kecantikan itu bisa dilihat dari tungkai dan betis kakinya!”

Suara tawa menggema. Kosid bahkan sampai menyemburkan nasi di dalam mulutnya.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

“Eh, Tung, yang namanya cantik itu dilihat dari wajah dan bodi. Bukan dari kaki!” timpal Kosid setelah suara tawa mereda.

“Ya, semua ini gara-gara Manyura!”

“Apa lagi itu?”

“Itu novelnya Yanusa Nugroho. Di situlah dia bilang bahwa wanita cantik itu bisa dilihat dari kakinya, terutama tungkai.”

Kaitung lalu bercerita panjang lebar tentang novel Manyura. Orang-orang mendengarkan tanpa minat.

***
Matahari belum terasa menyengat. Para pedagang sedang mempersiapkan dagangan saat terdengar teriakan seorang wanita. Sontak beberapa pedagang meninggalkan lapaknya. Di depan pasar, mereka mendapati seorang wanita sedang menuding hidung Kaitung.

“Dasar pemuda kurang ajar!” ujarnya. Ia merapatkan bagian bawah gamis panjang yang dikenakan.

Kaitung terdiam. Ia menunduk. Pandangannya tepat ke arah kaki wanita itu.

“Ada apa ini?” tanya seorang security berkumis tebal.

“Pemuda gila ini berani menyibak gamis saya saat saya baru turun dari mobil. Ini pelecehan.”

“Benar begitu, Tung?” ujar security tadi.

Kaitung mengangguk. Ia tidak berani mengangkat kepala. Pengakuannya berbuah malapetaka. Cacian dan makian menerpa bak angin topan. Riuh. Tidak hanya itu, beberapa orang melayangkan tinju ke tubuhnya. Kaitung bergeming. Ia masih menatap kaki wanita yang kini melihatnya dengan mimik kasihan.

“Sudah! Sudah! Saya tidak apa-apa.” Wanita itu merangsek ke kerumunan orang-orang yang sedang memukuli Kaitung. Ia berjongkok di depan Kaitung yang meringkuk menyembunyikan wajah. “Kamu tidak apa-apa?”

Kaitung menatap wanita itu. Ia mengangguk, meski mulutnya merintih perih. Sementara orang-orang di sekitarnya memandang sinis.

“Bapak-bapak, biarlah saya bawa pemuda ini. Biar saya selesaikan sendiri!”

“Kalau itu mau Nona. Silakan!” ujar security.

“Terima kasih, Pak.”  Wanita itu memegang tangan Kaitung untuk membantunya berdiri.

Mereka masuk ke dalam mobil dan meninggalkan pasar.

“Nona, bolehkah saya melihat tungkai kaki Nona sekali lagi?” ujar Kaitung memberanikan diri saat mobil sedang melaju. Wanita itu kaget dan mengerem mendadak, membuat Kaitung terdorong ke depan.

“Jangan kurang ajar! Sudah untung saya menyelamatkanmu tadi!”

“Kenapa, Nona? Saya hanya ingin melihat keindahan itu sekali lagi!”

Baca Juga:  Banyaknya Hoax Gempa Tuban, Ini Pesan Khofifah

“Maksudmu apa?”

“Tungkai dan betis Nona sangat indah!” puji Kaitung dengan wajah polos.
Wanita itu memandang Kaitung penuh arti. Selama ini tidak pernah ada orang yang memujinya. Jangankan kaki, wajahnya pun tidak. Ia sadar diri. Wajahnya pas-pasan, tidak cantik seperti para model atau artis. Makanya, ia tersenyum mendengar pujian Kaitung. Selama ini, lelaki yang dekat dengannya jarang memberikan pujian.

“Asal Nona tahu, tungkai kaki Nona akan membuat Nona terkenal suatu saat nanti. Saya bersedia melakukan apa saja, asalkan diperbolehkan dekat Nona. Saya rela bertekuk lutut di hadapan Nona.”

Wajah wanita itu memerah. Ada kesan marah, sekaligus bangga. “Apa sebenarnya maumu?” Kentara sekali wanita itu berusaha menyembunyikan perasaan hatinya. Besar harapannya bahwa apa yang dikatakan Kaitung menjadi kenyataan.

“Terserah Nona. Dijadikan pelayan pun saya bersedia.”

Wanita itu memandang Kaitung dalam-dalam. “Panggil saya Lia.”

***

Sudah enam bulan Kaitung menjadi supir pribadi Lia. Kepercayaan yang didapatnya semakin tinggi ketika apa yang dikatakannya menjadi kenyataan. Tidak berapa lama sejak kejadian di pasar, Lia mendapatkan tawaran menjadi bintang iklan sepatu wanita. Kesempatan itu tidak disia-siakan. Dan, sejak saat itu nama Lia semakin banyak dibicarakan orang.

Makanya, Lia seakan tidak bisa lepas dari Kaitung. Kaitung bukan lagi sekadar supir. Ia seperti pengawal pribadi baginya. Bahkan, ia diberi kamar khusus di rumah yang hanya ditempati Lia dan ibunya yang buta.

Satu hal yang membuat Kaitung merasa betah adalah perubahan cara berpakaian Lia. Dulu, Lia sering mengenakan gamis sepanjang mata kaki. Kini, wanita itu lebih sering menggunakan rok sebatas lutut, yang membuat Kaitung dapat berlama-lama memandangi tungkai dan betisnya. Dan, Lia tidak merasa keberatan dengan itu. Ia bahkan merasa bangga ada orang yang mengaguminya sedemikian rupa.

Pada awalnya tidak ada yang aneh dengan tingkah Lia. Kaitung biasa mengantarnya ke mana saja. Hotel, restoran, mall, atau tempat wisata. Memang, Kaitung lebih sering menunggu di tempat parkir, sehingga ia tidak tahu apa yang dilakukan majikannya itu.

Baca Juga:  Tim SAR Temukan Titik Bangkai Pesawat Smart Aviation Yang Hilang Kontak di Nunukan

Namun, beberapa minggu terakhir Kaitung heran dengan tingkah Lia. Wanita itu sering membawa pulang laki-laki yang berbeda. Mulai dari anak remaja hingga orang setengah baya. Kaitung mencoba untuk tidak bertanya. Tapi,  hari ini ia tidak dapat menahan diri. Pasalnya, selama perjalanan, melalui kaca kecil di samping kirinya, Kaitung melihat lelaki itu berulang kali mengelus kaki Lia. Ia menjadi tidak konsentrasi menyetir. Makanya, begitu lelaki itu turun di depan sebuah apartemen mewah dan mobil mulai melaju, Kaitung langsung melontarkan pertanyaan.

“Maaf, Nona, siapa lelaki tadi?”

“Bukan urusanmu, Tung!”

“Maaf Nona, selama ini saya tidak masalah Nona membawa beberapa lelaki ke rumah. Tapi terus terang, untuk lelaki tadi, saya tidak suka.”

Lia menampakkan muka tidak senang. “Tung, itu bukan urusanmu. Ingat, kamu hanya supir!”

Kaitung mengerem mobil tiba-tiba. Ia tidak memedulikan makian orang-orang di belakang. Ia memandang Lia dengan tajam. Lia balas memandang Kaitung. Hatinya berdesir saat melihat sinar kemarahan di mata Kaitung.

Sesampainya di rumah, Lia langsung masuk kamar. Sementara Kaitung menuju gudang. Diraihnya sebilah parang, lalu diasah hingga satu jam. Setelah yakin akan ketajamannya, ia berjingkat menuju kamar Lia. Dilihatnya Lia sedang tiduran. Matanya terpejam, menikmati musik yang disetel keras.

Kaitung perlahan mendekat. Lalu, tanpa aba-aba tangannya terayun cepat. Mata Lia membelalak. Mulutnya hendak berteriak, tapi tenaganya habis menguap.

Kaitung tersenyum puas. Dipeluknya dua kaki Lia yang putus sebatas lutut. “Maaf, Nona, sudah saya katakan tungkai kuning gading ini milik saya. Tidak boleh seorang pun mengelusnya, apalagi di depan saya.” []

Tangerang Selatan, September 2016

Riswandi
Riswandi

*Riswandi, lahir di Kebumen, 19 Maret 1981. Alumnus SMA N 1 Karanganyar, Kebumen. Pernah menjadi editor di sebuah penerbitan. Dan, kini sedang mencoba belajar menulis fiksi. Berdomisili di Pamulang, Tangerang Selatan. Hp: 081328778997 /Email: [email protected]

_____________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, dan esai dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 49