NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Fenomena post-truth dinilai memiliki risiko bagi stabilitas keamanan nasional.
Di Indonesia, post-truth politik dipandang berkelindan dengan politik identitas, khususnya sentimen agama dan etnis.
“Hal ini berpotensi mengancam stabilitas keamanan nasional,” kata pengamat pertahanan, Susaningtyas Kertopati dikutip dari keterangannya, Jakarta, Rabu (1/5/2019).
Menurutnya, di tengah masyarakat yang terpolarisasi akibat dukungan politik, maraknya politisasi SARA dapat bereskalasi kepada tindakan kekerasan dan konflik.
Dia membeberkan 5 faktor yang mendorong fenomena post-truth. Pertama, high volume diproduksi secara besar-besaran.
Kedua, multi channel disampaikan melalui berbagai saluran yang tersedia.
Ketiga, rapid publik cepat percaya karena informasi tersebut baru pertama kali didapatkan.
Keempat, confirmation bias sesuai dengan keyakinan yang dimiliki sebelumnya.
Kelima, evidance didukung oleh bukti sekalipun bukti tersebut bersifat manipulatif karena publik tidak akan pernah mengecek.
“Dalam hal ini, seobjektif apapun sebuah informasi, jika tidak memenuhi harapan emosional sebagian golongan publik maka akan disingkirkan,” paparnya.
Sekadar tambahan, laporan The Economist bertajuk Social Media’s Threat to Democracy mengulas maraknya fenomena post-truth politik di media sosial yang mengancam demokrasi.
Post-truth, sebuah kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan keyakinan personal.
Kondisi post-truth mendapat tempat dalam momen konstelasi politik untuk memperkuat sebuah deskripsi atau analisa yang sesuai dengan harapan pihak yang mengkonstruksi atau menyampaikan narasi (propaganda).
Narasi post-truth seringkali memunculkan kultus personifikasi berdasarkan mitos-mitos. Kondisi ini membuat publik lebih cenderung mencari pembenaran ketimbang kebenaran informasi.
(eda)
Editor: Eriec Dieda