Falsafah Rindu, Hikayat Najwa
Puisi karya BJ Akid
Falsafah Rindu
Dari batang lamunan yang aku diskusikan pada diam, wajahmu menguncup dalam ingatan, mencipta ketunggalan jalan perumpamaan, sebelum nama-nama tuhan aku pahat sebagai bayangan, barangkali hanya cinta yang kita takuti, ketika malam lebih menyerupai cahaya dan siangpun lebih bermukim pada kata-kata. Maka dari itu pula rindu telah kita bekukan, meraba adalah awal bagi tatapan, sedang pesona tak lain hanyalah keasingan yang menentukan jalan menuju datang. rupanya tak ada yang patuh, bila rindu sedang jatuh, bersunyi hanya satu-satunya cara untuk bersemidi tanpa mengurangi arti, arti dari ketumbangan musim hujan, saat bunga-bunga mawar cermat menebarkan aroma bosan.
Di sini, di ladang yang selalu bersunyi, kita hanya sebatang mimpi yang mau nyata, ingin menikmati sabda-sabda tuhan, sesudah matahari tak lagi menghantarkan aura terang, tapi sebab mimpi selalu gagal abadai, dan setiap sabda hanyalah janji yang tak pernah bisa di pahami, bagi anak perempuan yang bercita-cita jadi petani. Kalau hanya kepada ingatan kita dapat mengembalikan semua yang hilang, kenapa harus pergi yang selalu kau teduhi, sementara pagi dan siang bukan milik kita lagi, sulamkan sabilah sajakku di perjalananmu, bila nanti engkau mulai bersedih, tulislah aku di kertas putih, karena setiap kehilang pastilah ada kerinduan, dan setiap kerinduan hanyalah malam yang tanpa kunang-kunang.
Lubtara,2019
Hikayat Najwa
Malam yang aku tenun melalui fajar akhir tahun, sungguh mengenal baik tatapanku, menjelang Najwa pergi ke kota bisu, mungkin hanya demi malam, ia menyebut kota-kota yang tersimpan, atau mungkin karna demi doa, ia pasrah berhianat mengenal luka, di sana, tepat pada halam berbunga ia sengaja bercermin pada sisa air hujan, untuk mengenal lebih jauh tentang sebuah kepergian, tapi hayan waktu yang tak pernah mungkin dapat di rayu, maka ia pilih sebatang kesejatian, agar aura senyum dapat ia perlihatkan, menyapa angin-angin pedukuhan, sebelum rindu resah di lembah kebosanan.
Sebenarnya ia tak ingin pohon-pohon terluka sebab angin. menjauh adalah sesuatu yang paling berharga, ketimbang rasa bersimbang dalam dada, kesejatian yang ia kenakan, barangkali hanya bayang-bayang ketika mata mulai terpejam, tak ada kebimbangan di dasar-dasar ingatan, bila semua yang tercatat tak lebih sekedar hianat, maka ia pasrahkan cintanya pada seorang pendekar tanpa nama, karena keabadian pada rindunya telah di makan suasana, siap…? yang berani rela menanm rahasia, kecuali sebuah rindu yang selalu setia bertahan, demi mengakrapi kesunyian.
Lubtara,2019
BJ Akid lahir di Pasongsongan Sumenep, Madura. Dia Menulis Puisi Beserta Cerpen. Saat ini masih tercatat sebagai santri Pondok Pesantren Annuqayah. Dan menjadi Ketua Komunitas Laskar Pena PPA Lubtara, Sekaligus Pengamat Litrasi Di Kumunitas Surau Bambu dan SMK Annuqayah.