Opini

Evaluasi Kinerja Pertamina dan Kebijakan BBM Satu Harga

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Kebijakan Bahan Bakar Minyak Satu Harga yang berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia telah menjadi kebijakan politik pemerintahan Presiden Joko Widodo yang diberlakukan sejak 1 Januari 2017. Program BBM satu harga di seluruh Indonesia ini merupakan upaya Presiden Joko Widodo dalam memberikan keadilan bagi masyarakat Indonesia yang berada di wilayah terpencil, terluar dan terjauh serta merupakan penugasan bagi BUMN PT. Pertamina untuk jenis Premium dan bersubsidi untuk jenis minyak tanah dan solar di seluruh wilayah Indonesia.

Sementara itu, pada hari Kamis tanggal 2 Nopember 2017 PT. Pertamina telah menggelar pertemuan dengan awak media massa untuk menyampaikan kepada publik hasil kinerja Triwulan III (rentang bulan Juli-September 2017) yang berhasil dicapai.

Paling tidak, ada 3 (tiga) catatan penting yang disampaikan oleh Elia Massa Manik, (Direktur Utama PT. (Persero) Pertamina) pada pemaparan hasil kinerja yang dicapai perusahaan BUMN yang dipimpinnya tersebut. Yang pertama adalah, soal penurunan laba perusahaan yang berhasil dicapai sampai Triwulan III. Yang kedua, meningkatnya beban operasi Pertamina disebabkan adanya kenaikan harga minyak mentah dunia dan tiadanya penyesuaian harga sebagai konsekuensi harga yang berubah. Dan yang ketiga adalah masuknya perusahaan baru yaitu VIVO pada bulan Oktober 2017 yang mengelola SPBU dengan menjual BBM Premium jenis RON (Research Octane Number) 89 lebih murah dibanding harja jual SPBU Pertamina. Terhadap kehadiran VIVO ini, jajaran Pertamina tak terlalu mempermasalahkannya sejauh ini, karena SPBU yang dikelola oleh VIVO baru berjumlah 1 (satu) unit di wilayah Provinsi DKI Jakarta.

Tentunya, dampak persaingan harga murah yang ditawarkan SPBU VIVO kepada konsumen di wilayah Jawa, Madura dan Bali ini terhadap kinerja Pertamina akan berpengaruh beberapa bulan atau periode yang akan datang, termasuk jika VIVO juga diberikan izin untuk memasarkan Premium jenis RON 89 ini ke seluruh Indonesia dan wilayah penugasan BBM satu harga.

Harga BBM Dunia

Mengapa sejatinya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) begitu kepincut (ungkapan bahasa Jawa yang artinya tertarik sekali) dan pasang badan dengan memberikan izin dan bahkan meresmikan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) swasta dan ada kepemilikan asing juga untuk beroperasi di wilayah Jakarta? Apakah Kementerian ESDM hanya memperhitungkan faktor harga murah saja dalam mempertimbangkan pemberian izin pada perusahaan swasta yang mengelola SPBU Premium jenis RON 89 ini atau ada faktor lain?

Sebagaimana diketahui publik bahwa produk BBM berbagai jenis, baik RON 88,89,90,91 dan 92 memang sudah memasuki era persaingan pasar bebas, dan beberapa perusahaan swasta asing pun sudah lama beroperasi di wilayah Indonesia, seperti SPBU Shell dan Total. Namun, kedua SPBU yang lebih awal beroperasi ini tidak memasarkan premium jenis RON 88 dan 89, melainkan RON diatasnya atau kualitas polutannya lebih rendah. Apabila hadirnya SPBU VIVO adalah untuk memberikan pelayanan optimum pada masyarakat konsumen dengan harga lebih murah, maka analisa yang disampaikan oleh mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas di sebuah media memperoleh pembenaran, bahwa harga premium 6.100 ini lebih murah dibanding dengan harga jual SPBU Pertamina.

Baca Juga:  Rezim Kiev Terus Mempromosikan Teror Nuklir

Hanya saja kalkulasi yang digambarkan dalam tulisan tersebut bisa menjadi keliru (misleading) dengan data dan informasi harga bahan mentah yang sebenarnya. Dengan menyampaikan bahwa harga jual SPBU Pertamina yang lebih mahal Rp 350 per liter, maka disebutkan rakyat sebagai menanggung kemahalan sebesar Rp 96,8 Milyar per hari dan jika satu tahun kemahalan yang ditanggung menjadi Rp 33,34 Trilyun. Apakah perhitungan ini benar, sehingga menjadi informasi yang mendiskreditkan Pertamina atas harga jual yang kemahalan selama ini bagi konsumen serta marjin besar bagi Pertamina? Kalkulasi ini tidaklah tepat dan benar dengan hanya membandingkan harga jual konsumen akhir dari premium jenis RON 88 dan 89 yang dijual oleh Pertamina dan VIVO. Seharusnya hitungan harga jual ini tidak dihitung berdasar perolehan harga dasar minyak mentah dunia yang dipakai oleh pengamat energi dari UGM tersebut yaitu US$ 50 per barel (1 barel = 159 liter) dengan kurs Rp 13.560 per dollar USA. Hitungan ini sama sekali salah, sebab harga US$ 50 per 159 liter ini adalah harga minyak mentah.

Crude, yaitu yang keluar dari dalam bumi dan harganya tergantung kepada banyak sedikitnya impurities. Apabila minyak ini masih banyak mengandung sulfur maka disebut sour dan harganya lebih murah.

Sedang harga yang sudah ditetapkan oleh Pertamina dan VIVO adalah produk gasoline sebagai hasil pengolahan minyak mentah yang keluar dari kilang. Jadi, informasi kalkulasi adanya beban kemahalan telah ditanggung oleh rakyat konsumen yang disampaikan adalah opini sesat dan menyesatkan publik.

Harga sesudah pengolahan berdasar informasi di website Nasdaq pada tanggal 27 Oktober 2017 adalah $ 1.747/gallon (belum termasuk biaya terminal, transportasi,PBBKB,iuran BPH,PPN, marjin terminal, marjin investor), satu galon adalah 3.785 liter, jika asumsi 1 (satu) dollar USA adalah Rp 13.560, maka harga minyak olahan (gasoline) yaitu : US$ 1.747/3.785 liter x Rp 13.560 = Rp 6.258,74 per liter. Dengan hitungan harga gasoline ini saja, dan tanpa ada beban biaya tambahan lain pembentuk harga jual ke konsumen sesuai Perpres 191 Tahun 2014, maka harga jual SPBU VIVO sudah tak masuk akal sebesar Rp 6.100, sebab ada selisih sebesar Rp 158,74. Apakah mungkin perusahaan ini memperoleh harga gasoline per gallon lebih murah ataukah memperoleh potongan harga (discount) atau perlakuan istimewa dari pedagang (trader) gasoline? Dengan harga gasoline sebesar Rp 6.258,74 per liter, ditambah marjin dan biaya 20%, PPN 10%, PBBKB 5%, maka harga jual eceran premium jenis RON 88 tentu lebih besar dari Rp 6.450 atau Pertamina memberikan subsidi sebesar lebih dari Rp 200 per liter kepada rakyat konsumen

Baca Juga:  Keingingan Zelensky Meperoleh Rudal Patriot Sebagai Pengubah Permainan Berikutnya?

Rasionalisasi Harga BBM

Harga dasar Pertamina sebelum ditetapkan sebagai harga jual eceran ke rakyat konsumen adalah mengacu pada harga keekonomian dunia. Jadi, membahas harga BBM murah dan mahal secara terminologi adalah sangat relatif dan bisa diperdebatkan (debateable). Dalam konteks Pertamina sebagai perseroan dan BUMN, maka kehadiran dan eksistensinya tak bisa dipisahkan dari perintah dan amanat konstitusi. Jadi, keuntungan dan kerugian Pertamina sebagai BUMN adalah soal bagaimana mengelola perseroan ini tetap bertahan dalam jangka panjang.

Pada Pasal 33 UUD 1945 bangunan sistem ekonomi jelas disebutkan bahwa, ayat 1: Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas KEKELUARGAAN. Apakah unsur usaha bersama dan azas kekeluargaan yang dimaksud dalam soal persaingan harga BBM murah antara Pertamina dan VIVO, relevankah Kementerian ESDM saja yang memberikan izin tanpa mencermati ketentuan peraturan dan perUndang-Undangan yang berlaku, termasuk Perpres 191 Tahun 2014 dan UUD 1945?

Ayat 2, Pasal 33 UUD 1945 lebih tegas menyatakan bahwa: Cabang-cabang produksi yang PENTING bagi NEGARA dan yang menguasai HAJAT HIDUP ORANG BANYAK dikuasai oleh Negara. Artinya, kehadiran Pertamina sebagai BUMN serta wujud penguasaan negara atas cabang strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak adalah mutlak.

Dengan dasar ini pula, maka eksistensi Pertamina harus terus dijaga dan dipertahankan sebagai ketaatan pada konstitusi ekonomi. Kebijakan satu harga BBM yang saat ini dijalankan oleh pemerintah dan didukung penuh oleh Pertamina jangan sampai dirusak oleh persaingan harga yang tidak sehat dan tidak wajar (unfairness).

Sebab, misi Pertamina tidak saja untuk memberikan harga BBM yang layak pada rakyat konsumen, tetapi juga untuk membangun industri minyak dan gas bumi dari hulu sampai dengan hilirnya sehingga cabang strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak ini mampu menopang keuangan negara dan memberi kesejahteraan pada seluruh rakyat Indonesia, bukan orang per orang. Perlu juga dilakukan evaluasi atas penurunan laba yang diperoleh Pertamina pada Triwulan III 2017 ini sebesar 27 persen atau menjadi Rp 26,8 Trilyun (US$ 1,99 Milyar) dengan patokan kurs dollar USA Rp 13.500 dibanding periode yang sama pada Tahun 2016 yang sebesar Rp 38, 2 Trilyun. Jika hanya mengacu pada faktor harga, maka kenaikan harga minyak mentah dunia seharusnya berpengaruh pada harga jual eceran BBM dan tanpa ada kenaikan harga jual eceran BBM, maka bisa jadi faktor kenaikan harga ini yang paling signifikan mempengaruhi penurunan laba Pertamina.

Baca Juga:  Dewan Kehormatan yang Nir Kehormatan

Oleh karena itu, komitmen untuk menjaga pertumbuhan laba BUMN tetap perlu dijaga sebagai bentuk penguasaan negara atas sektor strategis ini dan bukan oleh swasta. Lebih lanjut lagi hal ini ditegaskan di dalam pasal konstitusi ekonomi ayat 3 nya yang menyatakan bahwa: Bumi, Air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penguasaan negara untuk sektor tertentu dalam hal ini jelas bukan hanya sebagai pembuat kebijakan (regulator) tetapi negara melalui BUMN yang dikelola dengan manajemen yang efektif dan efisien serta tenaga-tenaga profesional adalah bertujuan untuk kemakmuran rajyat Indonesia. Penjualan premium jenis RON 89 tidak saja merupakan sebuah persaingan tidak sehat dalam hal harga, namun juga mengganggu eksistensi Pertamina dengan beban produksi dan investasi untuk memandirikan bangsa di sektor energi.

Walaupun saat ini harga jual eceran VIVO untuk premium jenis RON 89 telah menjadi Rp 6.300, maka menurut hukum ekonomi adalah layak bagi VIVO untuk memperoleh penugasan kebijakan BBM satu harga di luar wilayah Jawa, Madura dan Bali, dan tentu Pertamina akan lebih fokus untuk bersaing dengan BBM jenis RON lebih berkualitas dengan perusahaan swasta asing yang telah beroperasi di Indonesia.

Kenaikan harga BBM dunia yang merupakan harga keekonomian sepatutnya juga harus diikuti dengan rasionalisasi harga BBM di Indonesia sesuai dengan aturan yang berlaku. Tanpa adanya penyesuaian harga BBM yang diperjualbelikan oleh Pertamina dan tidak adanya imbal balik (trade off) bagi Pertamina, maka beban biaya Pertamina akan meningkat dalam melayani BBM penugasan di wilayah-wilayah terpencil, terluar dan terjauh tersebut. Sementara itu, Pertamina juga dituntut membangun industri hulu migas yang lebih kompetitif dan diwajibkan untuk memberikan kontribusi dalam bentuk pajak dan dividen kepada Negara.

Penulis: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi

Related Posts

1 of 12