Lintas NusaPolitik

Eva Sundari: Kebebasan Beragama di Indonesia Terburuk di Dunia

Wakil koordinator Kaukus Pancasila Eva Sundari/Foto nusantaranews via satuharapan
Wakil koordinator Kaukus Pancasila Eva Sundari/Foto nusantaranews via satuharapan

NUSANTARANEWS.CO – Wakil Koordinator Kaukus Pancasila Eva Kusuma Sundari mengatakan, kebebasan agama di Indonesia terburuk di seluruh dunia. Hal ini dikatakan Eva mengacu pada hasil penelitian dari PEW Research Center’s Forum on ReligionTrends in Religious Restrictions and Hostilities 2015 (perform.org) untuk tingkat kebebasan beragama di 25 negara berpenduduk terbesar di dunia.

Berdasarkan riset tersebut ada dua faktor yang menyebabkan tingkat kebebasan beragama di Indonesia terburuk, yakni jumlah kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat sipil (Social Hostilities) dan regulasi pemerintah yang membatasi (Government Restrictions).

Fakta tersebut dipaparkan di pertemuan Asia Foundation dengan 16 mitra mereka dalam program PROSPECT yang bekerja untuk “peningkatan perlindungan dan penghormatan terhadap kebebasan beragama serta HAM di Indonesia. Pertemuan berlangsung pada Kamis (11/8) kemarin di Solo.

“Masyarakat internasional mulai meletakkan Indonesia sebagai kasus serius di arena global, jadi berbangga diri bahwa kita sebagai model masyarakat toleran jadi ironi dan paradok,” kata Eva, Jumat (12/8).

Baca Juga:  Ziarah Sunan Ampel dan Sunan Giri, Cagub Risma Dicurhati Tukang Ojek

Dalam riset yang sama, ditemukan korelasi negatif antara tingkat kemakmuran (HDI) dengan tingkat kekerasan berbasis agama. Karena konflik kekerasan agama mayoritas terhadap agama minoritas bersifat dinamis, yaitu korban di Indonesia Barat bisa menjadi kelompok pelaku di Indonesia Timur.

Karenanya, bagi Eva, pilihan paling rasional untuk menyelesaikan konflik tersebut harus berdasar konstitusi dan bukan agama tertentu. Yaitu dengan menjadikan Pancasila dan pilar-pilar berbangsa dan bernegara sebagai titik temu beragam agama.

Cara tersebut disepakati oleh Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat. Namun, cara ini juga mempunyai tantangannya sendiri, yaitu bagaimana Pancasila bisa diturunkan ke level ethos (pelaksanaan) bukan sekedar logos (pengetahuan) dan pathos (penghayatan) saja seperti sosialisasi MPR selama ini.

“Para pemimpin daerah sering terlibat deal-deal di bawah meja berupa kebijakan-kebijakan diskriminatif terhadap agama minoritas di daerah tersebut jika kelak si calon menang,” kata Imdad.

Imdad menceritakan, dari pengalamannya di Komnas HAM melakukan advokasi kasus-kasus kekerasan berbasis agama, DPR seharusnya mengintegrasikan Pancasila ke dalam Legislasi yaitu menjadi norma-norma dalam produk perundangan.

Baca Juga:  Jawara Hasil Survei, Ponorogo Bisa Jadi Lumbung Suara Khofifah-Emil di Pilgub Jawa Timu

“Tidak cukup di level konsep atau prinsip-prinsip, Pancasila dan UUD harus jadi norma hukum supaya memudahkan penegak hukum menjalankan perlindungan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan/berkepercayaan,” tutur Imdad. (Rafif)

Related Posts

1 of 3