Berita UtamaEkonomiKolomOpini

Elegi Kemiskinan

Elegi Kemiskinan. Kita pasti sepakat bahwa pengentasan akar kemiskinan melalui pendidikan. Namun faktanya semakin mahalnya biaya pendidikan menjadikan orang tua yang menyekolahkan anaknya harus berpikir ulang. Orangtua yang nekat akan melalukan apa saja, termasuk menjual ginjal, hanya untuk memastikan anaknya kelak tak sengsara.

Janji pendidikan murah atau mungkin gratis kurang berdampak maksimal. Alih-alih membantu meringankan masyarakat tak mampu, faktanya tak sedikit mereka gigit jari. Karena bantuan tak tepat sasaran. Persoalan ini tak sedikit dirasakan masyarakat desa.

Dramatisme sosial sepertinya sudah menjadi nafas kehidupan masyarakat kita. Rasa kemanusiaan seseorang akan menjadi simpati dan aksi komunal bila terdapat orang lain yang susah, miskin, atau teraniaya terekspose ke media. Secara simultan aksi tersebut menjadi gerakan bersama. Sebaliknya bila kita hanya melihat atau mendapati kemiskinan di sekitar kita, tidak jarang berlaku apatis.

Nah, potret demikian terlihat di berbagai media bahwa mereka yang miskin akan dapat bantuan jika terekspose media, utamanya media sosial. Sebut saja misalnya kisah Taspirin (12 tahun) pada 2013 lalu asal Banyumas yang harus menghidupi keluarga seorang diri. Atau yang terbaru, Sunarto (42 tahun) asal Yogyakarta yang hendak menjual ginjal untuk biaya pendidikan anak-anaknya.

Baca Juga:  Silaturrahim Kebangsaan di Hambalang, Khofifah Sebut Jatim Jantung Kemenangan Prabowo-Gibran

Keluarga-keluarga miskin seperti Taspirin dan Sunarto atau lainnya tentu baik disantuni masyarakat yang memiliku kepesulian. Namun demikian, seyogianya realitas keluarga yang seperti itu  menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah untuk benar-benar selektif dan terukur dalam mengalokasikan  bantuan. Jangan sampai skema bantuan tunai atau non-tunai untuk keluarga miskin menuai konflik antar warga, karena tak tepat sasaran dan atau bantuan tersebut dikendalikan kelompok tertentu di daerah.

Bahwa saat ini mungkin terdapat lebih dari seribu Tasripin atau Sunarto yang harus dibantu. Mereka yang tak terekspose media semustinya dijaring dan diperdayakan secara berkesinambungan. Kemnaker (Kementerian Ketenagakerjaan) atau stakeholder mungkin lebih giat meningkatkan pelatihan kapasitas.  Sebab bantuan sosial (social aid) yang bersifat temporar tidak lebih menjadi obat penenang sementara (analgesic) atas rasa sakit akibat didera kemiskinan.

Pembiaran

Masyarakat Indonesia, meminjam bahasanya Ignas Kleden (1998), sebagian besar ialah masyarakat atributif. Masyarakat atributif merasa terpuaskan dengan apa yang dikenakan dan menjadi identitas tunggalnya. Dan bahkan mereka merasa senang untuk meniru atau melakukan hal yang sama dengan apa yang orang lain lakukan.

Televisi atau tontonan menjadi peran sekunder dalam hal ini. Di dalam gaya hidup misalnya, para pemuda atau pemudi merasa belum lengkap bila tidak meniru gaya apa yang dikenakan, diucapkan, dilakukan oleh idolanya. Tak salah dalam hal ini O. Solihin (2002) mengisyaratkan kelompok masyarakat ini untuk tidak menjadi bebek.

Baca Juga:  Polres Pamekasan Sukses Kembalikan 15 Sepeda Motor Curian kepada Pemiliknya: Respons Cepat dalam Penanganan Kasus Curanmor

Begitupula dalam konteks kemiskinan warga. Dalam kisah Tasripin dan Sunarto saya melihat ada semacam pembiaran dari pemerintah terhadap kelompok rentan (vulnerable communities). Pemerintah bergerak bila kisah orang miskin mencuat ke media. Bahkan yang lebih menyedihkan, pemerintah desa (pemdes) dan pemerintah daerah (pemda) setempat kadang mau cuci tangan dengan mrnghadirkan orang lain yang dermawan.

Meningkatkan Kelompok Kerja

Parahnya lsgi, warga takkan membantu jika ada warga seperti Tsspirin atau Sunarto kisahnya tak menjadi viral di media sosial. Apatisme demikian barangkali muncul karena adanya sikap egosentrisme di beberapa kalangan masyarakat yang lebih mementingkan hidup layak daripada membantu hidup orang lain.

Realitas demikian, mengacu fungsionalisme struktural Talcott Parsons (1961), dapat ditengarai sebagai keretakan konskuensi sosial. Dalam pandangan Parsonian, masyarakat sejatinya tidak lebih sebagai organ-organ yang saling membutuhkan. Ketergantungan yang menjadi nilai dasar hubungan sosial layaknya organisme yang tetap harus tumbuh untuk bisa bertahan hidup. Masyarakat dan aparat pemerintah sebagai organisme utuh sebagai bangsa seyogianya dapat saling bergandeng tangan menuju apa yang dikatakan Weber sebagai keteraturan sosial (social order).

Keteraturan sosial menjadi agenda penting dalam upaya pengentasan kemiskinan. Ketersalinghubungan ini menjadi jawaban sebagai upaya meminimalisir konflik horizontal. Dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa konflik horizontal yang terjadi di tengah-tengah masyarakat salah satunya terjadi karena adanya kesenjangan sosial.

Baca Juga:  Satgas Catur BAIS TNI dan Tim Gabungan Sukses Gagalkan Pemyelundupan Ribuan Kaleng Miras Dari Malaysia

Walaupun secara data statistik kemiskinan dari tahun ke tahun berkurang, tidak berarti kemiskinan (struktural) terentaskan. Yang paling mengenaskan kemiskinan oleh sebagian masyarakat menjadi pekerjaan utama. Lihat misalnya di sepanjang trotoar atau jalan perkotaan. Mereka menjadikan rasa iba sebagai mata pencaharian. Barangkali kita tak pernah tahu, bahwa penghasilan mereka acap melebihi UMR (upah minimum regional) daerah.

Mengentaskan kemiskinan sebagai jalan keteraturan sosial seyogianya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat hingga pemdes dengan melakukan upaya pemberdayaan class action berdasarkan tanggungjawab nilai-nilai kognisi, apresiasi, dan moral. Pengentasan kemiskinan yang paling efektif bukan dikasih ikan mentahnya, namun dikasih umpan dan pancing dengan meningkatkan kelompok kerja.

Oleh: Nur Faizin Darain, alumnus Pascasarjana Sosiologi UGM, Pengurus Pusat GP Ansor dan Korwil Madura DENSUS  26.

Related Posts

1 of 2