Puisi

Elegi Bulan Raksasa – Puisi HM. Nasruddin Anshoriy Ch

PURNAMA, KENAPA DUSTA?

Kutunggu dengan segala rindu agar purnama merebahkan cahaya hingga di dada.

Tapi langit lebih memilih mendung dalam dekapannya.

Apakah rindu ini akan sia-sia?

Kupetik bening embun malam ini untuk kupersembahkan pada Ibu Pertiwi. Agar gerah dan resah segera hijrah menuju entah.

Kupinang masa depan dengan cinta dan kebahagiaan, sebab asal-muasal cahaya ternyata dari dalam jiwa.

Tak perlu aku bertanya: Purnama, kenapa dusta?

Jawabanku adalah rindu, jawabanmu ternyata cinta.

Malam ini biarlah jadah bakar dan tempe bacem yang tak pernah berdusta, sebab kopi pahit tak pernah tega untuk melukai dan berpura-pura.

ELEGI BULAN RAKSASA

Tanpa malam, tanpa kegelapan, adakah bulan purnama menumpahkan keindahannya?

Malam ini kurebus kopi hitam dengan sisa-sisa air mata, kusuguhkan kepadamu dengan pahit sempurna.

Tentang rembulan, begitu juga gelap malam, sudah kita bicarakan dengan segala diam.

Semua lagumu telah kuhafal hingga menjadi mantra, seperti kopi yang pernah kucicipi tapi pahitnya hingga di hati.

Tentang bulan raksasa, malam ini hanya ada kita yang terapung dalam satu bejana.

 

Gus Nas
Gus Nas

*HM. Nasruddin Anshoriy Ch atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, HB. Jassin, Mochtar Lubis, WS. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dll.

Tahun 1987 menjadi Pembicara di Forum Puisi Indonesia di TIM dan Pembicara di Third’s South East Asian Writers Conference di National University of Singapore. Tahun 1991 puisinya berjudul Midnight Man terpilih sebagai puisi terbaik dalam New Voice of Asia dan dimuat di Majalah Solidarity, Philippines. Tahun 1995 meraih penghargaan sebagai penulis puisi terbaik versi pemirsa dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh ANTV dan Harian Republika.

Menulis sejumlah buku, antara lain berjudul Berjuang Dari Pinggir (LP3ES Jakarta), Kearifan Lingkungan Budaya Jawa (Obor Indonesia), Strategi Kebudayaan (Unibraw Press Malang), Bangsa Gagal (LKiS). Pernah menjadi peneliti sosial-budaya di LP3ES, P3M, dan peneliti lepas di LIPI. Menjadi konsultan manajemen. Menjadi Produser sejumlah film bersama Deddy Mizwar.

Sejak tahun 2004 memilih tinggal di puncak gunung yang dikepung oleh hutan jati di kawasan Pegunungan Sewu di Selatan makam Raja-Raja Jawa di Imogiri sebagai Pengasuh Pesan Trend Budaya Ilmu Giri. Tahun 2008 menggagas dan mendeklarasikan berdirinya Desa Kebangsaan di kawasan Pegunungan Sewu bersama sejumlah tokoh nasional. Tahun 2013 menjadi Pembicara Kunci pada World Culture Forum yang diselenggarakan Kemendikbud dan UNESCO di Bali.

Related Posts

1 of 125