Berita UtamaFeaturedKolomOpini

Eksistensi Pasal Penodaan Agama

Presiden Jokowi didampingi Wapres JK, Menteri Agama, saat menuju Monas untuk Shalat Jumat berjamaah bersama massa AksiSuperDamai212/Foto: Istimewa (stela-nau)
(Ilustrasi) Presiden Jokowi didampingi Wapres JK, Menteri Agama, saat menuju Monas untuk Shalat Jumat berjamaah bersama massa AksiSuperDamai212/Foto: Istimewa (stela-nau)

NUSANTARANEWS.CO – Negara Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila menempatkan agama pada kedudukan penting dan mempunyai peranan serta menjadi sasaran dalam pembangunan. Dengan demikian kepentingan agama perlu memperoleh perlindungan hukum, segingga sangat wajar apabiladalam KUHP terdapat pengaturan terhadap tindak pidana agama/delik agama.

Penentuan perbuatan sebagai tindak pidana terhadap kepentingan agama berhubungan dengan teori-teori mengenai delik agama yang mendasari hukum pidana untuk menentukan adanya suatu delik agama. Oemar Seno Adji mengemukakan adanya suatu delik agama dengan tiga teori yaitu :

  1. Friedensschuzt Theorie yaitu teori yang memandang ketertiban/ ketentraman umum sebagai kepentingan hukum yang dilindungi;
  2. Gufulhsschutz Theorie yaitu teori yang memandang rasa keagamaan sebagai kepentingan-kepentingan hukumyang harus dilindungi;
  3. Religionsshuzt theoriy yaitu teori yang memandang agama sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi /diamankan oleh negara.

Hukum pidana Indonesia mengatur segala aspek kehidupan masyarakatnya, karena berkaitan dengan fungsinya sebagai kontrol sosial maupun rekayasa sosial. Adanya pengaturan tindak pidana agama adalah sebagai konsekuensi dari amanat konstitusi. Hadirnya konflik yang bernuansa agama membuat citra Indonesia menjaid keruh dimata dunia, pasalnya negara Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi toleransi dan sangat menghormati keanekaragaman bangsanya, Bhineka tunggal ika sebagai sembohyan yang diagung-agungkan masyarakatnya berbalik dengan hal itu karena fakta yang terjadi danya sikap intoleransi masyarakat yang kadang kurang memahami akan pluralitas sebagai realitas sosial.

Adanya kemajmukan memberikan makna negatif dan positif terhadap bangsa Indonesia itu sendiri, potensi kemajmukan bermakna positif karena ragam keyakinan merupakan sumber nilai dan local wisdom bagi Indonesia bagi keutuhan bangsa ini sendiri. Keragaman keyakinan warga menjadi perekat dan pengokoh bangunan bangsa ini, keragaman agama yang dipeluk warga menjadi faktor integratif bagi Indonesia. Pada sisi lain, keberagaman agama menjadi salah satu faktor pemicu adanya disintegrasi bangsa karena adanya konflik-konflik yang timbul karenanya.

Baca Juga:  Bupati Nunukan Resmikan Pemanfaatan Sumur Bor

Adanya pengaturan tindak pidana agama adalah sebagai konsekuensi dari amanat konstitusi, dan munculnya kasus penodaan agama disebabkan banyak faktor salah satunya adalah lemahnya penegakan hukum. Disatu sisi kebebasan beragama merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, bahkan setiap orang bebas memilih agama dan beribadat menurut agamanya.

Disisi lain negara menjamin kemerdekaan memeluk agama, sedangkan pemerintah berkewajiban melindungi masyarakat dalam melaksanakan ajaran agama serta beribadat sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak menganggu ketentraman dan ketertiban umum.

Berkaitan dengan penodaan agama berdasarkan penetapan presiden No.1 PNPS/1965 tentang penodaan agama, yang mana dalam konsideran

  1. Undang-undang ini dibuat untuk mengamankan Negara dan cita-cita masyarakat, cita-cita revolusi dan pembangunan nasional dimana penodaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi.
  2. Timbulnya berbagai aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama, sehingga perlu kewaspadaan nasional dengan mengeluarkan Undang-Undang tersebut.

Penetapan presiden Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencecgahan Penyalahgunaan dan/Penodaan Agama. Bertujuan untuk melindungi agama dan praktik beragama yang berkembang di masyarakat dan melindungi setiap keyakinan agama dan praktik yang dilakukan oleh pengikutnya dari penodaan dan kecenderungan berbuat tindak pidana terhadap agama. Amanat Undang-undang No. 1/PNPS/1965 tentang penodaanatau penyalahgunaan agama menyatakan bahwa menafsirkan agama yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama tentu tidak dibenarkan karena tidak dibenarkan oleh peraturan perundang undangan yang berlaku. Hal ini  sebagai bentuk perlindungan Negara terhadap kebebasan beragama serta berkeyakinan di Indonesia.

Baca Juga:  Tradisi Resik Makam: Masyarakat Sumenep Jaga Kebersihan dan Hikmah Spiritual Menyambut Ramadan

Penetapan presiden tentang pencegahaan dan penodaan agama kemudian dimasukkan kedalam KUHP bab V tentang Ketertiban Umum pada pasal 156 dan 156a, sebetulnya maksud dari dibuatnya pasal tersebut bukan merupakan tindak pidana terhadap agama yang ditujukan untuk melindungi kepentingan umum dan ketertiban umum yang terganggu karena adanya pelanggaran terhadap kepentingan umum. Dengan adanya pasal 156 KUHP dan tidak dapat dilepaskan dari pasal 154 KUHP yang juga terletak pada kejahatan ketertiban umum yang dikategorikan sebagai pasal karet, yang menurut sejarah adanya pasal ini untuk kepentingan pemerintah kolonial belanda dan pernah dimanfaatkan untuk mematahkan kaum pergerakan nasional seperti bungkarno.

Permohonan Judicial review ke Mahkamah Konstitusi pada April 2010 terhadap PNPS tahun 1965 dengan alasan: PNPS bukan berbentuk UU melainkan perpres kemudian diubah secara inkonstitusional oleh Bung Karno pada masa itu sedang memimpin pada pemerintahan yang otoriter, kemudian PNPS ini juga lahir pada masa indoneisa mengalami kondisi darurat yang mana jika keadaan negara sudah normal maka PNPS tersebut tidak diberlakukan lagi. Adapun permohonan gugatan tertuju pada pasal 1 ayat (1), (2)  pasal 3 dan 4 yang kini dicantumkan dalam KUHP pasal 156a, dengan alasan bertentangan dengan HAM dalam UUD 1945 pasal 28 I, kemudian PNPS ini juga tidak memiliki kepastian Hukum dan E equality before the law. Namum MK menguji dan menyimpulkan bahwa pro terhadap keberadaan PNPS/1965 dan menyatakan bahwa aturan ini bersifa konstitusional.

Baca Juga:  Anton Charliyan dan Ade Herdi Waketum DPD Gerindra Jabar bagikan Al Quran dan Perangkat Sholat Titipan KB Prabowo Subianto ke Pesantren

Dalam hal ini negara hanya dapat melindungi hak masyarakatnya dalam forum eksternum sedangkan perihal internum merupakan kebebasan mutlak yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Disinilah letak pentingnya Toleransi dalam beragama ketika masyarakat mengedepankan rasa toleransi tanpa ego disinilah terciptanya kerukunan dalam beragama. Adapun bergagai polemik terkait penyalahgunaan/penodaan agama seringkali terjadi di negara Indonesia yang realitanya merupakan negara yang multikultural dan plural.

Agama bukan hanya berisi perihal perintah dan larangan melainkan berisi pedoman, norma, petunjuk yang baik dan benar, hal yang harus ditinggalkan dan yang harus dilaksanskan. Dalam hal ini agama berperan dalam penyelesaian konflik sosial. Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia tentu meiliki celah untuk dapat berkehidupan dengan rukun dan sejahtera, hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa ayat Al-Quran yang berisi tentang toleransi dan kerukunan antar ummat.

Islam mengajarkan untuk saling menghormati antar sesama dan memperkenalkan konsep taaruf (al-hujarat.49:13) yang mana ayat ini berisi tentang pentingnya interaksi antar sesama, dan setiap umat hendak mengaku eksistensi perbedaan ummat lain (annisa,4:44). Inti dari komnsep penyelesaian konflik dalam islam adalah adanya taaruf, dan taawun yang mana dari konsep ini melahirkan suatu sikap tasamuh atau toleransi.

Penulis: Latipah, Aktivis FokDem
Editor: Ach. Sulaiman

Related Posts