NUSANTARANEWS.CO. Aceh Tamiang – Ekonomi “mawah” bertahan dan menjanjikan masyarakat Aceh. Peluang ekonomi sektor peternakan di Aceh dengan sistem titip pemeliharaan atau “mawah” – istilah yang biasa digunakan masyarakat dalam bahasa Aceh atau “awah” dalam bahasa Aceh Tamiang.
Tradisi “mawah” ini sudah berkembang sejak lama berlangsung secara turun-temurun, pada umumnya dilakukan terhadap ternak-ternak besar seperti sapi (lembu) atau leumo dalam bahasa Aceh dan kerbau atau keubeu.
Meskipun demikian pada masyarakat tertentu cara “mawah” juga diberlakukan juga terhadap ternak seperti kambing atau kameng dalam bahasa Aceh dan domba atau keubiri dalam bahasa Aceh.
Salah satu pelaku usaha tersebut adalah Teungku Ayah, seorang pria lanjut usia yang berdomisili di kawasan Cot Seunong Aceh Besar. Sosok Ayah ini dikenal terampil dalam menjalankan usaha “mawah”.
Sayang ketika dikunjungi ia sedang tidak berada dirumah, hanya ada putrinya yang bernama NyakYah. Namun dengan ramah dan lugas dapat menjelaskan terkait usaha orang tuanya, perihal sapi atau lembu mawah. “Lembu ini baru tiga bulan melahirkan anak jadi agak ganas” katanya menjelaskan. Induk lembu tersebut telihat mendengus keras ketika dihampiri.
Masyarakat Aceh Besar memang terkenal dan unggul dalam usaha beternak lembu. Indikasi tersebut dapat dilihat dengan luasnya areal lahan tanaman rumput untuk pakan ternak di bantaran Krueng Aceh (sungai atau kali) yang dilakukan warga setempat. Tidak mengherankan jika tradisi “mawah” kian berkembang dengan standar acuan kesepakatan tersendiri tanpa harus melalui pembahasan panjang.
Nyak Yah menuturkan bahwa untuk lembu betina yang di “mawah” pada kami, dan lahir anak lembu pertama, tiga kakinya pembagian untuk kami (pemelihara) dan satu kaki pembagiannya untuk pemilik lambu, dengan kata lain tiga perempat bagian menjadi milik pemelihara, kemudian lahir anak lembu selanjutnya, dua kaki milik pemelihara dan dua kaki lagi milik yang empunya lembu.
Untuk pembesaran mawah ada perbedaan, lanjut Nyak Yah, pembesaran disepakati bersama dengan mengetahui modal awal ketika pembelian lembu atau kerbau. Pada saat dijual nanti, hasil keuntungan dibagi dua setelah dipotong modal, biasanya masa pemeliharaan pemeliharaan atau penggemukan berkisar satu tahun, terangnya.
Harga lembu pada tahun 2020 ini relatif normal, dan sesuai dengan bobot berat badannya. Untuk lembu dengan bobot berat badannya 80 kilogram dihargai 15 juta rupiah per ekor, lembu dengan bobot berat badan 100 kilogram, dihargai 20 juta per ekor, sedangkan yang berbobot berat badan 150 kilogram dihargai 25 juta rupiah per ekor.
Nyak Yah juga berkisah bahwa pernah membeli anak lembu blasteran dengan harga agak murah berkisar 3 juta rupiah per ekor. Menjelang bulan puasa tahun berikutnya, lembu sudah besar dan gemuk karena banyak sekali makannya sehingga hasil pembesaran melampaui bobot berat 100 kilogram dan harga jual jauh lebih tinggi.
Menurut Nyak Yah, pendapatan dari pekerjaan “mawah” cukup membantu perekonomian keluarga sebagai persiapan masa depan seperti biaya untuk sekolah, pesta pernikahan anggota keluarga, perobatan, untuk bulan ramadhan dan Hari Raya, juga biaya rumah tangga dan sumbangan ke meunasah, dan lain sebagainya.
Sistem mawah merupakan aktifitas perekonomian warisan leluhur yang masih bertahan hingga kini di tengah-tengah masyarakat Aceh serta dapat diandalkan sebagai investasi masa depan. Semoga perekonomian masyarakat terus tumbuh dan berkembang.[]
Kontributor/Pewarta: Thahar BYs
Narasumber: Ir. Razuardi MT, Mantan Sekda Kab. Bireuen, Kab. Aceh Tamiang, Plt Kepala BPKS Sabang