NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pengamat ekomomi politik Salamuddin Daeng membeberkan sejumlah kebijakan pemerintah Indonesia yang menyerang kehidupan kaum buruh atau pekerja. Dia merinci secara detail bentuk-bentuk kebijakan yang merugikan kaum pekerja tersebut.
“Selamat Memperingati Hari Buruh Internasional 1 Mei 2018,” ucapnya, Jakarta, Selasa (1/5/2018).
Adapun sejumlah kebijakan tersebut di antaranya.
Pertama, kebijakan inflasi yang tidak sejalan dengan kepentingan industri nasional, buruh dan pekerja dan kepentingan rakyat.
1. Inflasi di Indonesia meningkat rata-rata antara 4 (-/+1) % setiap tahun. Inflasi artinya kenaikan harga harga secara umum. Artinya harga bahan baku, bahan penolong dan harga-harga kebutuhan hidup atau barang konsumsi meningkat. Namun kenaikan inflasi tidak diikuti dengan kenaikan upah. Kenaikan upah tidak lebih besar dari kenaikan inflasi.
2. Pemerintah menargetkan peningkatan inflasi setiap tahun. Inflasi merupakan instrumen untuk menggerakkan ekonomi, menggairahkan dunia usaha agar tetap mau berproduksi. Namun pemerintah tidak pernah menargetkan kenaikan upah dalam rangka menggairahkan buruh untuk bekerja.
3. Pemerintah menjaga laju inflasi dalam rangka kepentingan APBN semata bukan kepentingan menjaga dunia usaha, menjaga upah buruh/pekerja dan menjaga pendapatan masyarakat. Inflasi hanya dikaitkan dengan target APBN.
4. Pemerintah tidak pernah dapat menjaga target inflasi. Inflasi cenderung tidak terkendali terutama terkait dengan harga kebutuhan pokok. Akibatnya daya beli buruh/pekerja dan masyarakat melemah.
Kedua, depresiasi mata uang rupiah terhadap USD yang tidak terkendali yang menyerang industry nasional, buruh/pekerja dan masyarakat.
1. Pemerintah terkesan menikmati atau paling tidak melakukan pembiaran terhadap pelemahan rupiah. Pada tanggal 23 April 2017 nilai tukar rupiah terhadap USD senilai Rp 13.050/USD. Pada 7 April 2018 nilai tukar rupiah terhadap USD senilai Rp 13.775 atau mengalami defresiasi sebesar 5.56 %. Akhir April 2018 nilai tukar rupiah Rp 13.900/USD. Diperkirakan rupiah akan terus melemah.
2. Depresiasi rupiah akan berakibat pada kenaikan harga kebutuhan pokok, kebutuhan dasar. Karena sebagian besar kebutuhan pangan pokok diperoleh dari impor, dibeli dengan USD seperti pangan, minyak mentah yang mempengaruhi harga BBM dan listrik, bahan baku industri yang mempengaruhi harga kebutuhan dasar lainnya seperti perumahan, pakaian, transportasi, kesehatan, obat obatan, dan lain lain.
3. Pemerintah ditenggarai sedikit senang dengan depresiasi mata uang Rupiah terhadap USD karena bisa meningkatkan penerimaan Negara dari sumber luar negeri termasuk penerimaan utang dalam rangka membiayai APBN. Namun pemerintah tidak memikirkan dampak bagi perusahaan yang membeli energi, bahan baku, dari impor serta utang perusahaan dalam bentuk USD.
4. Pemelamahn rupiah terhadap USD akan mengakibatkan berlanjutnya proses deindustrialisasi, menyebabkan banyak perusahaan di bidang industri bangkrut yang berakibat pada pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ketiga, kebijakan suku bunga menjadikan pemerintah menjadi rentenir padaburuh/pekerja dan rakyat sendiri memalui suku bunga yang tinggi.
1. Suku bunga di Indonesia merupakan salah satu yang paling tinggi di dunia. Satu satunya yang dapat dijanjikan oleh pemerintah untuk menarik investasi asing agar masuk ke Indonesia adalah suku bunga.
2. Posisi pemerintah dan bank BUMN sebagai calo rentenir global. Negara dan bank BUMN meminjam ke asing dengan bunga rendah. Lalu memberi kredit kepada masyarakat dengan bunga tinggi. Bank bank nasional saat ini eksistensinya ditopang oleh utang. Seluruh kebijakan perbankkan tidak lagi mengacu pada tujuan nasional namum mengacu kepada tujuan investor.
3. Kebijakan suku bunga yang tinggi ini mengakibatkan usaha usaha produktif tidak berkembang, kesempatan kerja langka, hanya surat utang negara yang laku keras.
4. Suku bunga yang tinggi mendorong perusahaan melakukan langkah efisiensi, menekan upah dan membawa dunia usaha kepada prioritas membayar utang.
Keempat, tidak ada kemampuan mengendalikan harga energi. Harga energi sangat ditentikan oleh pemain besar global. Kebijakan energi nasional salah arah menyerang industri, kaum buruh/pekerja dan rakyat.
1. Pemerintah menikmati kenaikan harga minyak mentah. Kenaikan harga minyak mentah meningkatkan pendapatan pemerintah dari bagi hasil minyak sebagaimana dikatakan Menkeu Sri Mulyani. Harga minyak mentah selama dua tahun terakhir cenderung meningkat dari bulan April tahun 2017 antara rata-rata USD 50-55/barel, menjadi 60-65 USD per barel antara bulan marel sampai april 2018 atau mengalami peningkatan 18%.
2. Kenaikan harga minyak mentah akan mempengaruhi harga energi untuk industri dalam negeri terutama industri dasar seperti besi baja, petrokimia, meningkatkan ongkos produksi perusahaan dalam negeri. Akibatnya perusahaan bangkrut atau melakukan efesiensi dengan mengurangi upah, atau PHK.
3. Kenaikan harga minyak mentah akan mengakibatkan ongkos produksi BBM dan listrik meningkat. Ini memicu peningkatan harga energi yang dijual oleh perusahaan tersebut untuk kepentingan industri. Ongkos produksi industri meningkat.
4. Kenaikan harga minyak mentah akan meningkatkan biaya produksi BBM dan listrik bagi masyarakat. Ini akan memicu kenaikan harga jual BBM dan lsitri komersial kepada masyarakat. Akibatnya daya beli masyarakat akan melorot.
Kelima, bisnis barang publik (public goods) dan komersialsiasi infrastruktur yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara seperti energi, transportasi, telekomonikasi, pendidikan dan kesehatan, yang langsung menyerang daya beli kaum buruh/pekerja dan rakyat.
1. Pemerintah menjalankan kebijakan balapan harga dan tarif. Segala-gala tarif dan harga dibandingkan dengan tarif/harga internasional. Tarif/harga harus naik karena harga internasional naik. Sementara daya beli masyarakat tidak pernah menjadi ukuran.
2. Kenaikan harga harga di indonesia selalui dipicu oleh kenaikan harga barang dan jasa jasa yang ditetapkan oleh pemerintah seperti harga energi, transportasi umum, serta cukai.
3. Pendidikan dan kesehatan sudah menjadi mesin penyedot daya beli masyarakat. Biaya pendidikan dan bisaya kesehatan di Indonesia telah menjadi monster yang menakutkan bagi kaum buruh/pekerja dan masyarakat. Dua sektor tersebut sangat diskriminatif dan tidak memanusiakan manusia Indonesia.
4. Pemerintah mencari untung dari hajat hidup orang banyak seperti menyewa jalan (tol), tarif pelabuhan dan airport dan lain sebagainya. Biaya yang dikeluarkan usaha usaha nasional dalam membayar harga fasilitas umum tersebut sangat tinggi. Indonesia menghadapi ekonomi biaya tinggi sebagai akibat harga barang publik yang tinggi.
Keenam, sistem pajak di Indonesia mengikuti aliran pajak kolonial, yakni pajak yang semata mata mengabdi pada kepetingan penguasa kolonial, membiayai aparatur kolonial dan memfasilitasi modal kolonial. Kaum buruh dan rakyat menjadi obyek penghisapan pemerintah kolonial.
1. Pajak dan berbagai pungutan lainnya yang bersifat memaksa sangat diskriminatif. Satu sisi masyarakat disedot dengan pajak tinggi, industri nasional disedot dengan pajak besar, sementara investor asing mendapatkan berbagai fasilitas fiskal. Segala galanya kebutuhan rakyat dipajakin.
2. Masyarakat malas dalam berinvestasi dikarenakan dibebani pajak yang besar dan berbagai pungutan lainnya termasuk pungutan pemerintah daerah, retribusi dan lain sebagainya. Akibatnya usaha usaha nasional, industri nasional lesu darah. Hidup segan mati tak mau.
3. Importir mendapatkan kemudahan bebas bea masuk. Sementara barang barang yang dihasilkan di luar negeri jauh lebih murah dikarenakan kebijakan negara negara lain yang mendukung industri nasional. Akibatnya industri dalam negeri ambruk karena tidak mampu bersaing.
4. Pajak di Indonesia tidak pernah dapat menjadi instumen distribusi pendapatan dikarenakan terindikasi pengelolaannya sangat korup mulai dari sisi korupsi penerimaan hingga korupsi pengeluaran. Akibatnya pajak adalah penghambat yang besar dalam memajukan kesejahteraan umum. (red)
Editor: Gendon Wibisono