Hankam

Duta Besar China Ke Hambalang, Pihak Istana Berang

Capres Prabowo Subianto memberikan sebilah keris kepada Duta Besar China, Mr. Xiao Qian saat ke Hambalang. (Foto Dok. Istimewa)
Capres Prabowo Subianto memberikan sebilah keris kepada Duta Besar China, Mr. Xiao Qian saat ke Hambalang. (Foto Dok. Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Duta Besar China, Mr. Xiao Qian datang ke Hambalang. Capres Prabowo Subianto memberikan cinderamata sebilah keris.

Bukan foto diri, tapi sebilah keris. Ini bahasa simbol. Keris merupakan senjata khas. Kaum satria melihat gestur ini sebagai “rasa bersahabat dan hormat sederajat”.

Saya kira pihak China memahami bahasa simbol ini. Makanya, mereka mengundang Pak Prabowo hadir dalam acara perayaan Hari Nasional RRT di Hotel Shangrila.

Pihak Istana berang. Manuver China membuka dialog dengan Pemimpin Oposisi merupakan bahasa indirect; “Jokowi bakal ditinggal.”

Amerika, Rusia, Eropa, Jepang, Arab dan kini China melirik Pak Prabowo. Istana bereaksi. Mereka kirim orang Hanura bernama Inas N Zubir membuat catatan. Warning-nya seputar Laut China Selatan. Judul tulisan: “Prabowo Dipinang Komunis China”.

Istana panik. April 2019, dipastikan rezim berubah. Kartu “Anti China” dimainkan.

Rezim Jokowi tidak mampu mengamankan investasi negara-negara super power. Rasanya Amerika, Arab, China tau detail kelakuan rezim selama 4 tahun belakangan. Tulisan provokatif Inas N Zubir hanya memperburuk situasi. Wrong gestur.

Baca Juga:  Anton Charliyan dan Ade Herdi Waketum DPD Gerindra Jabar bagikan Al Quran dan Perangkat Sholat Titipan KB Prabowo Subianto ke Pesantren

Di saat nyaris bersamaan, antek rezim bernama Bisri Musthafa merilis serangan terhadap Prabowo.

Beda dengan Inas, kali ini Bisri Musthafa menyerang Prabowo sebagai aktor konspirasi Amerika, CIA, Orde Baru dan Wahabi.

This is a deadly maneuver. Rezim Joko memusuhi semua orang. Kedua tulisan (Inas & Bisri) pasti sampai ke telinga Amerika dan China.

Khusus bagi China’s interest, Rezim Joko asyik bermanuver, jingkrak sana-sini, over pencitraan. Padahal, policy China di Kawasan Asia Tenggara pada dasarnya; Peaceful rising dan Soft Power policy.

Sentimen “Anti-China” naik sejak era Joko-Ahok. Seiring dengan usaha meminggirkan Kekuatan Islam. Itu beban tersendiri bagi China’s Cultural expansion risks.

Baca Juga: Mattis Sambangi Beijing Guna Membahas Laut Cina Selatan dan Kawasan Indo-Pasifik

Rezim Joko tidak sanggup beri gambaran budaya yang utuh yang diharapkan Penguasa Beijing. Karena ya itu tadi; terlalu sibuk bersolek pencintraan.

China dorong berdirinya 41 Confucius Institutes di seluruh Asia Tenggara. Thai’s Royal family dinilai sukses meminimalisir Sentimen Anti China dengan menjadi patron 13 Confucius Institutes yang ada di Thailand.

Baca Juga:  Anton Charliyan: Penganugrahan Kenaikan Pangkat Kehormatan kepada Prabowo Subianto Sudah Sah Sesuai Ketentuan Per UU an

Pemerintah Beijing sadar 20 juta turis China yang masuk Asia Tenggara triger “cultural shock” bagi penduduk lokal. Belum lagi beban superioritas complex overseas chinese yang menjadi warga negara di semua wilayah Asia Tenggara.

Pemerintah Joko tidak sanggup mengedukasi etnik Tionghoa saat Ahok meraja-lela. Figur macam Sukanto Tanoto, Christianto Wibisono, Ahok, Remi Silado dan sebagainya menjadi amat pongah. Mereka memperkuat sentimen negatif terhadap China as a whole.

Cultural expansion risks” berimbas pada political dan economic risks.

Revisi Policy Presiden Trump di Asia Pasific Region mengharuskan China mengambil opsi soft diplomacy tools. Rasa takut (fears) atau bahkan perasaan “tidak-nyaman” dari negara-negara sekitar Laut China Selatan adalah hal terakhir yang diharapkan China.

Dan saya kira, Presiden Joko tidak menyadari hal ini. Wajar bila tahun depan, kita akan punya presiden baru.

*Zeng Wei Jian, penulis adalah Aktivis dan Tokoh Tionghoa

Related Posts

1 of 3,082