NusantaraNews.co, Jakarta – Mahandis Yoanata Thamrin seorang Jurnalis National Geographic Indonesia mencatat bahwa, pernah pada suatu masa, separuh lebih dari serdadu yang menjaga tembok Kota Batavia terdiri atas orang-orang Madura.
Data sejarah yang disodorkan ke meja pembaca budiman ini didapat dari John Joseph Stockdale. Menurut rekaman John, dulu para serdadu asal madura dipanggil “Opas”.
“Opas adalah serdadu asal Madura dan Sammanapp [Sumenep] yang selalu menanti para perwira Eropa, dan pada saat yang bersamaan mereka juga sebagai pelayan. Orang-orang Hindia ini pada dasarnya adalah pemberani dan cerdas.” kata John seperti dilaporkan Jurnalis National Geographic Indonesia.
Selanjutnya, dapat diketahui kisah peran orang-orang sal Madura dalam organisasi pengamanan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada paruh kedua abad ke-18. Sebagiannya dapat ditemukan dalam buku terbitan pertama di akhir 1811 berjudul “Sketches, Civil and Military, of the Island of Java and Its Immediate Dependencies” karya Stockdale (1770-1847).
Buku berbahasa Inggris pertama ini berkisah tentang Jawa. Dikabarkan oleh Mohandis bahwa, Stockdale menyusun buku ini berdasar berita-berita tentang Jawa ketika Inggris tengah melakukan invasi ke pulau itu. “Beberapa bagian dari buku sohor itu mengisahkan peran orang-orang asal Madura dalam organisasi pengamanan VOC (pada paruh kedua abad ke-18,” sebut Mohandis.
Stockdale mengisahkan, dulu, sebuah garnisun yang menjaga tembok kota Surabaya, dipimpin oleh seorang berpangkat mayor yang sekaligus sebagai komandan seluruh serdadu Eropa dan Hindia. Sang mayor itu membawahi seratus serdadu Eropa—termasuk satu kompi resimen Württemberg yang merupakan tentara kontrakan asal Jerman. Selain itu, sang mayor juga membawahi enam kompi dari infantri asal Madura dan dua artileri asal Madura pula.
Ketika itu, pusat permukiman itu menjadi depot rekrutmen dengan para pangeran Madura dan Sumenep yang bekerja untuk kompeni. Mohandis sendiri mengira yang dimaksud Stockdale adalah Fort Belvidere, sebuah benteng kecil dengan lapangan arsenal di tepian Kalimas.
Sementara itu Stockdale juga memberikan pemerian tentang sebuah benteng VOC di Cirebon, yang dipersenjatai dengan empat kanon yang buruk. Kendati garnisunnya dikomandoi oleh seorang sersan dan dua kopral Eropa, seluruh awaknya hanya terdiri atas 15 serdadu asal Madura—itu pun dengan bedil yang seadanya.
Di Batavia, orang-orang Madura dan Sumenep berada dalam resimen di bawah komando para pengeran mereka. Garis pertahanan Kota Batavia terbentang dari muara Sungai Ancol sampai Sungai Angke. Di sebelah tembok kota terdapat beberapa bastion yang dikelilingi parit basah nan dalam dan lebar. Juga, terdapat benteng batu dengan empat bastion, Kastel Batavia, yang terletak di muara Kalibesar. Pertahanan lain yang turut menjaga pusat kota dari barat ke timur adalah Fort Angke di tepian Kali Angke, Fort Vijhoek di tepian Kali Grogol, Fort Rijswijk di tepian Kali Krukut, Fort Noordwijk di tepian Ciliwung. Selanjutnya, Fort Jacatra dan di ujung timur adalah Fort Ancol.
“Serdadu Eropa dan Hindia dipercaya untuk menjaga Batavia dan pos terluarnya,” ungkap Stockdale. Jumlah totalnya mencapai 4.540 orang. Sejumlah 3.300 atau lebih separuhnya adalah orang-orang asal Madura dan Sumenep.
Stockdale menulis perinciannya. Serdadu nasional dalam tiga batalion terdiri atas 2.400 orang. Namun, dari jumlah itu, 200 orang—termasuk perwira, bawahan, dan pelontar granat—merupakan orang-orang Eropa. Sementara, 2.200 sisanya adalah orang Madura dan Sumenep.
Dia melanjutkan pemeriannya, sejumlah 400 orang dari Madura dan Sumenep juga berperan sebagai infantri pemburu dalam batalion ke-1. Sebanyak 600 orang lainnya juga berada dalam artileri berat, dan 100 orang bertugas dalam kompi ke-1 artileri ringan. Sementara, total serdadu asal Eropa lainnya, yang bertugas dalam kesatuan kavaleri dan serdadu tambahan, jumlahnya hanya 1.040 orang.
“Demikianlah takdir orang-orang Madura pada akhir abad ke-18. Seabad sebelumnya, mereka pernah terlibat dalam pemberontakan terhadap sebuah wangsa di Jawa Tengah bagian selatan, dan juga bertempur sengit dengan VOC. Namun, selepas pemberontakan mereka yang gagal, VOC mulai terlibat dalam suksesi di Madura. Akhirnya, mereka menjadi garnisun sebuah kota dagang terbesar di Asia Tenggara, yang berkembang di bawah kongsi dagang asal Belanda itu. ‘Semua serdadu itu ditempatkan dalam keadaan lingkungan kota pesisir yang tidak sehat.’,” tulis Muhandis menutup catatan sejarahnya. (ngi)
Editor: Ach. Sulaiman