Peristiwa

Dulu-Kini, Sebuah Catatan 89 Tahun Sumpah Pemuda

NUSANTARANEWS.CO – Tepat hari ini, 28 Oktober 2017 sejarah penting terbentuknya sebuah bangsa lahir. Puluhan pemuda dari berbagai daerah berusia 18-20 tahunan berkumpul di Batavia (Jakarta) untuk menanggalkan egoisme masing-masing dan mendeklarasikan diri bersumpah bertanah air satu, tanah air Indonesia dan berbahasa satu satu bahasa Indonesia.

Pertanyaannya, apa kabar sumpah para pemuda pada 28 Oktober 1928 silam? Dalam sebuah catatan 89 tahun sumpah pemuda oleh anggota Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Kehidupan Bernegara (LPPKB) Hernowo Hadiwonggo kiranya menarik untuk ditabayyuni kembali.

Dirinya menjelaskan bahwa masa lalu bangsa Indonesia adalah bangsa yang dijajah oleh bangsa lain selama tiga abad lebih. Mula-mula dijajah secara ekonomi khususnya pemerasan sumber daya alam untuk kepentingan perdagangan sebuah negara kecil di Eropa yang bernama Nederlands atau Belanda.

Belanda menguasai perdagangan bahan mentah/bahan baku untuk pasar Eropa, seperti rempah-rempah, kopra, kopi, kapur barus, beras dan sebagainya sebagai hasil pertanian rakyat Indonesia. Perdagangan tersebut selama hampir satu abad dikelola oleh perusahaan perdagangan milik pemerintah Belanda.

Adalah Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau lebih dikenal dengan VOC. Akan tetapi pada akhir abad kedelapan belas VOC dibubarkan dan perdagangan ditangani oleh pemerintah Belanda yang telah menempatkan wakil pemerintahan Belanda di Batavia (Jakarta). Maka secara ekonomi dan politik Indonesia menjadi jajahan Belanda selama lebih dari dua setengah abad.

Baca Juga:  Peduli Bencana, PJ Bupati Pamekasan Beri Bantuan Makanan kepada Korban Banjir

Oleh sebab itu, ancaman atau “musuh” yang dihadapi para pemuda pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia sangat konkrit atau secara kasarnya dapat dilihat dan dirasakan. Pemerasan dan penindasan secara nyata dialami dan dapat dirasakan oleh semua warga bangsa Indonesia, sehingga tidak sulit untuk membangkitkan semangat perlawanan terhadap perilaku ketidak adilan penjajah.

Oleh sebab itu kemerdekaan atau kebebasan dari penindasan kaum penjajah menjadi sasaran utama perjuangan. Sasaran tersebut sangat nyata dan semua pejuang muda sangat mudah memahaminya sehingga sangat mudah membangkitkan semangat mereka untuk berjuang meraih kembali kemerdekaan bangsanya.

Masa Kini

Abad kesembilanbelas dan keduapuluh awal dari kemajuan di bidang ilmu, pengetahuan dan teknologi. Abad kedua puluh satu perkembangan ilmu, pengetahuan dan teknologi makin pesat. Ekonomi/perdagangan menembus batas-batas suatu negara dan bangsa.

Makin cepatnya kemajuan teknologi informasi pada abad 21 ini memungkinkan manusia berkomunikasi langsung dengan manusia lain di mana saja di dunia. Bahkan di luar dunia/angkasa. Manusia saling berkomunikasi tanpa memerlukan kelembagaan semacam negara bangsa. Bahkan kebangsaan ataupun kewarganegaraan tidak terlalu diperlukan dalam masyarakat global seperti sekarang ini.

Baca Juga:  Bencana Hidrometeorologi Incar Jawa Timur, Heri Romadhon: Masyarakat Waspadalah

Apapun kebangsaannya, apapun kewarganegaraannya, yang penting “hartanya tebal”! Kekuasaan dan jabatan dapat dibeli dengan harta. Perkembangan pandangan bahwa Negara tidak perlu ikut campur dalam ekonomi dan perdagangan tersebut makin mengemuka dengan terbitnya buku ‘The End of The Nation State’ karangan Kenichi Ohmae.

Walaupun titik berat pandangan Kenichi Ohmae tersebut pada bidang ekonomi, tetapi tidak dapat diingkari bahwa pemikiran tersebut menembus pula pemikiran di bidang politik kenegaraan. Maka tidak heran sekarang ini para pemuja pemikiran Ohmae berusaha sebanyak mungkin mengurangi peran negara khususnya di bidang ekonomi.

Negara hanya sebagai “fasilitator” dalam mekanisme perekonoman global serta demikian pula dalam kehidupan politik dan sosial. Hanya seperti itukah peran negara dalam komunitas masyarakat global?

Marilah kita renungkan pemikiran Sukarno dalam rapat besar (rapat pleno) Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada tanggal 10 – 16 Juli 1945, 72 tahun yang lalu:

“Kita semuanya mengetahui bahwa faham atau dasar falsafah individualisme telah menjadi sumber economisch liberalisme Adam Smith dengan bukunya yang terkenal, yang sebenarnya tidak lain tidak bukan, menjalankan teori-teori ekonomi di atas dasar-dasar falsafah yang individualistisch. Dengan adanya economisch liberalisme yang bersemboyan laissez faire laissez passer, dengan persaingan merdeka (bebas, pen.) timbullah capitalisme yang sehebat-hebatnya di negeri-negeri yang merdeka. Timbullah itu, karena economisch liberalisme itu systeem yang memberi hak sepenuh-penuhnya kepada beberapa orang manusia saja untuk menghisap, memeras, menindas sesama manusia yang lain. Dan kitapun telah mengetahui bahwa justru oleh karena dasar ini capitalisme sendiripun merasa sebagai satu individu yang merdeka, yang merdeka berkembang, yang merdeka mengadakan concurentie, persaingan yang tidak terbatas terhadap capitalime-capitalisme lain. Concurentie yang demikian ini merasa dirinya merdeka melintasi batas-batas negerinya sendiri, mengulurkan tangannya kepada daerah-daerah lain, negeri-negeri lain di atas dunia. Capitalisme yang demikian menimbulkan imperialisme. Dengan adanya imperialisme itulah, tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang terhormat, kita 350 tahun tidak merdeka, maka India tidak merdeka, maka Mesir tidak merdeka, maka negara-negara lain tidak merdeka !” (*)

Baca Juga:  Banyaknya Hoax Gempa Tuban, Ini Pesan Khofifah

Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 8