KolomOpiniPolitik

Dukung Desa Anti Politik Politik Uang

Politik by Money. (Ilustrasi: VoxNtt.com)
Politik by Money. (Ilustrasi: VoxNtt.com)

Oleh: Aji Setiawan*

NUSANTARANEWS.CO – Beberapa waktu yang lalu, Desa Sardonoharjo di Kecamatan Ngaglik mendeklarasikan diri sebagai desa Anti Politik Uang (APU), Sabtu (16/2/2019).Deklarasi ini penting dilakukan karena politik uang sudah membudaya di masyarakat. Langkah ini adalah bentuk pemerintah desa untuk memberikan kesadaran baru tentang demokrasi dan politik ke seluruh warganya.Jangan sampai (politik uang) mencederai pemilu yang sehat nanti. Kita harus punya demokrasi dan politik yang bermartabat untuk Indonesia lebih baik ke depan.

Gerakan desa anti politik uang  ini bisa menjadi embrio dan desa-desa lain baik di DIY maupun di provinsi lain mulai bergerak menyerukan anti politik uang. Proses pemilu bukanlah sekedar kegiatan datang ke TPS, nyoblos dan selesai. Tapi pemilu merupakan pendidikan politik bagi warga Indonesia.Jangan lupa kita punya hak politik yakni hak dipilih dan memilih yang itu juga dilindungi undang-undang dasar.

Baca Juga:

Namun, proses pemilu ini diciderai dengan maraknya budaya politik uang. Biasanya politik uang dilakukan oleh peserta pemilu atau orang terdekat. Sehingga Bawaslu akan kesulitan saat pemidanaan. Masyarakat takut, karena yang melakukan politik uang adalah orang terdekat, misalnya tetangganya. Maka dari itu, pemberantasan politik uang ini adalah tugas bersama yang juga dibutuhkan peran serta masyarakat. Karenya desa anti politik uang perlu didukung, ini komitmen untuk pemilu bersih dan menjaga desa kita agar terhindar dari politik uang

Praktek politik uang memang rawan terjadi di setiap event pesta demokrasi, baik Pilkada maupun Pemilu, tak terkecuali Pemilu 2019. Politik uang terjadi tidak hanya karena ada inisiatif dari peserta Pemilu/Pilkada, tetapi juga adanya permintaan dari oknum masyarakat.

Sebagaimana diketahui, memberikan sesuatu kepada pemilih untuk memilih kandidat tertentu dalam Pemilu merupakan hal yang dilarang Undang Undang, khususnya Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Selain dilarang peraturan undang-undang Pemilu, Agama manapun juga melarang politik uang dalam meraih kekuasaan. Dalam Islam, kepemimpinan mendapat perhatian yang sangat tinggi. Bahkan di kalangan ulama salaf populer adigum, “Tujuh puluh tahun berada di bawah pemimpin zalim lebih baik daripada satu malam tanpa pemimpin.” Pernyataan ini bukan berarti menoleransi kezaliman pemimpin melainkan petunjuk bahwa betapa pentingnya kehadiran pemimpin. Dalam kumpulan individu yang majemuk, kepemimpinan berbanding lurus dengan keinginan tiap manusia untuk berada dalam sistem yang tertib, aman, tidak kacau.

Baca Juga:  Gibran Rakabuming Didaulat sebagai Ki Sunda Utama oleh Abah Anton Charliyan di Padepokan Abah Umuh Sumedang

Islam memang tidak mengajarkan tentang cara khusus bagaimana proses pengangkatan pemimpin (nasbul imâmah) dilangsungkan. Khulafaur Rasyidun yang memimpin setelah Nabi wafat pun diangkat sebagai khalifah dengan cara yang berbeda-beda. Abu Bakar ash-Shiddiq diangkat melalui musyawarah di hadapan massa, Umar bin Khattab melalui penunjukkan Abu Bakar setelah konsultasi dengan para sahabat, Utsman bin Affan melalui tim formatur yang dibentuk Umar, sedangkan Ali bin Abi Thalib juga melalui kesepakatan masyarakat. Dengan demikian, persoalan pengangkatan kepemimpinan pada dasarnya adalah persoalan ijtihadî, yakni olah pikir sungguh-sungguh tentang sistem politik yang paling sesuai dengan kemaslahatan di zamannya.

Di negeri kita tercinta ini, proses pengangkatan pemimpin dilalui lewat proses pemilihan umum atau pemilu. Dalam pemilu, semua orang berhak diangkat sebagai pemimpin dan berhak pula memilih siapa pun untuk menjadi pemimpin. Tentu saja hak ini dibatasi oleh norma-norma tertentu, semisal tidak menghalalkan segala cara dalam meraih suatu jabatan politik.

Politik pada dasarnya sangat mulia. Ia adalah perantara bagi tujuan terselenggaranya masyarakat yang adil, aman, dan sejahtera. Tujuan tersebut adalah tujuan bersama, bukan tujuan pribadi atau segelintir kelompok. Karena hanya sebagai perantara (wasîlah), bukan tujuan akhir (ghâyah), politik seyogianya tak perlu dikultuskan, dilakukan secara membabibuta, hingga mengorbankan tujuan mulia dari politik itu sendiri.

Mekanisme one man one vote (satu orang satu suara) dalam pemilu, kini telah mendorong para kandidat pemimpin berlomba-lomba meraup simpati dan dukungan suara. Tak jarang pula, jalan instan pun kadang ditempuh: tak hanya mengobral janji manis tapi juga menebar uang suap (money politics) agar pilihak warga jatuh pada dirinya.Islam melarang keras praktik politik uang semacam ini. Dalam Surat al-Baqarah ayat 188, Allah berfirman:“Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”

Baca Juga:  KPU Nunukan Menggelar Pleno Terbuka Rekapitulasi Perolehan Suara Calon DPD RI

Lebih rinci lagi, dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa uang suap mendatangkan laknat. Dari Tsaubân, dia berkata, “Rasulullah SAW melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantaranya, yaitu orang yang menghubungkan keduanya.” (HR. Ahmad)

Dari keterangan ini tampak bahwa doa politik uang (risywah) tak hanya diterima oleh para politisi, tapi juga tim sukses dan konstituen yang suaranya diperjual-belikan.

Musyawarah Nasional Alim Ulama yang diselenggarakan Nahdlatul Ulama pada 2012 di Cirebon, Jawa Barat, pernah menyoroti kasus politik uang yang kian menjamur di republik ini. Melalui sejumlah referensi yang kokoh, forum Munas NU menetapkan sejumlah jawaban atas beberapa pertanyaan.

Pertama, apakah pemberian kepada calon pemilih atas nama transportasi, ongkos kerja, atau kompensasi meninggalkan kerja yang dimaksudkan agar penerima memilih calon tertentu, termasuk kategori risywah?

Jawabannya adalah tidak sah dan termasuk kategori risywah (suap). Mengapa demikian? Sebab di balik pemberian si politisi itu terkandung maksud terselubung yang jelas-jelas serupa praktik menyuap agar seseorang memilih dirinya. Pemberian tak lagi murni pemberian, melainkan ada unsur mempengaruhi pilihan politik.

Kedua, sudah lazim kita dapati, politisi memberikan sesuatu kepada calon pemilih atas nama zakat dan sedekah dari harta miliknya. Jika terbesit tujuan agar penerima memilih calon tertentu, apakah termasuk kategori risywah?

Jawabannya: pemberian zakat atau sedekah yang dimaksudkan semata-mata agar penerima memilih calon tertentu adalah tidak sah dan termasuk risywah (suap). Jika pemberian zakat atau sedekah itu dimaksudkan untuk membayar zakat atau memberi sedekah, dan sekaligus dimaksudkan agar penerima memilih calon tertentu, maka zakat atau sedekah itu sah, tetapi pahalanya tidak sempurna, dan sesuai perbandingan antara dua maksud tersebut. Semakin dominan ambisi politiknya dalam pemberian ini, semakin besar pula lenyapnya keutamaan tersebut.

Baca Juga:  Survei Parpol, ARCI Jatim: Golkar-Gerindra Dekati PKB-PDIP

Ketiga, bagaimanakah hukum menerima pemberian yang dimaksudkan untuk risywah oleh pemberi, tetapi tidak secara lisan?

Jawabanya adalah haram bila penerima mengetahui maksud pemberian itu dimaksudkan untuk risywah. Adapun bila penerima tidak mengetahuinya, maka hukumnya mubah. Tetapi bila pada suatu saat mengetahui, bahwa pemberian itu dimaksudkan untuk risywah, maka penerima wajib mengembalikannya.

Di musim pemilu, kecil sekali kemungkinan orang tidak memahami maksud terselubung bila seorang politisi memberinya uang meski tanpa berbicara apa pun. Ketika status risywah benar-benar jatuh, maka ia sama dengan memakan harta haram.

Keempat, apakah penerima risywah haram memilih calon sesuai maksud diberikannya risywah sebagaimana ia diharamkan menerima risywah?

Apabila penerima risywah (suap) memilih calon sesuai maksud diberikannya risywah karena pemberian risywah, maka hukumnya haram sebagaimana ia haram menerima risywah. Tetapi jika ia memilihnya semata-mata karena ia merupakan calon yang memenuhi syarat untuk dipilih, maka hukum memilihnya mubah (boleh). Bahkan wajib memilihnya bila ia merupakan calon satu-satunya yang terbaik dan terpenuhi syarat. Sedangkan menerima risywah tetap haram.

Tiap umat Islam memikul kewajiban untuk menyelamatkan dirinya dari mengonsumsi harta haram, baik karena substansinya haram atau cara mendapatkannya yang haram. Banyak dalil yang menunjukkan tentang ancaman bagi jasad yang kemasukan barang haram. Misalnya:Artinya: “Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih utama baginya.” (HR Ahmad)

Secara logis, barang haram akan berdampak secara rohani pada kualitas perbuatan. Umumnya, tukang makan uang haram akan cenderung melakukan tindakan-tindakan yang haram pula. Demikianlah, maksiat itu terus bermunculan, bertumpuk-tumpuk, hingga mengantarkannya pada kerugian di kehidupan akhirat kelak.

Lebih-lebih uang suap. Keharamannya dibarengi dengan “cap laknat” dari Allah dan rasul-Nya. Artinya, uang suap bukan hanya menimbulkan dosa, tapi juga menjauhkan diri kita dari rahmat, kasih sayang Allah SWT.

*Aji Setiawan, mantan wartawan majalah alKisah Jakarta, sekarang tinggal di Purbalingga Jawa Tengah.

Related Posts

1 of 3,150