Opini

Dua Pusaka untuk Calon Pemimpin Indonesia

Panggung politik.
Panggung politik. (Foto: Ilustrasi/Internet)

PUBLIK masih bereuforia ingin segera ganti presiden Indonesia. Calon pemimpin sudah ada. Suksesi kepemimpinan dianggap obat jitu keluar dari ragam persoalan bangsa. Ekonomi yang menukik, bencana bertubi, rupiah yang terkapar, kehidupan yang carut marut, dan hukum amburadul, ragam masalah dari masalah lainnya. Perasaan rakyat Indonesia keinginan cepat-cepat diakhiri dan merawat Indonesia sejahtera.

Berkaitan dengan urusan kepemimpinan dan pengurusan negara, tidak semua manusia hebat, soleh, baik, dan dikenal viral layak memimpin Indonesia. Kepemimpinan dan urusan negara itu berat, bisa jadi orang yang merasa mampu tidak kuat. Sebab ini mengurusi hajat hidup orang banyak. Bukan kepentingan pribadi, kelompok, dan golongannya.

Selama ini dua pusaka pengaturan urusan manusia diabaikan calon pemimpin bangsa. Padahal ketika berpegang pada dua pusaka ini, pemimpin akan menjalankan pemerintahan sesuai peritah Allah SWT. Tidak semata-mata kengototan jadi pemimpin akhirnya menghalalkan segala cara. Dua pusaka itu adalah menjaga agama dan mengatur urusan dunia.

Baca Juga:  Presiden Resmi Jadikan Dewan Pers Sebagai Regulator

Pertama, berkaitan dengan menjaga agama. Siapa pun yang akan menjadi pemimpin, pejabat, anggota dewan, yudikatif, dan pengelola negara, harus menambatkan pusaka pertama ini. Penjagaan agama merupakan pondasi awal agar negara berkah. Konsekuensi akidah inilah yang mengharuskan untuk tunduk pada syariah.

Tatkala agama dijadikan landasan, maka yang muncul ketakwaan dan amar ma’ruf nahi munkar. Pemimpin akan menjaga aqidah rakyat agar tidak dirusak oleh para perusak. Mengokohkan aqidah rakyat sama dengan menyiapkan sumber daya manusia dalam membangun bangsa. Pemimpin akan meniadakan setiap upaya penyesatan aqidah rakyat, semisal kesyirikan, penyimpangan aqidah, pembodohan, dan lainnya.

Tak hanya itu, rakyat pun senantiasa diingatkan untuk tidak berbuat rusak dan merusak kehidupan. Mendorong rakyat untuk senantiasa taat pada syariah dan terus mengedukasinya. Hal paling penting yaitu menerapkan syariah secara menyeluruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kedua, berkaitan dengan mengatur dunia. Pemimpin dan pejabat negara harus tahu cara mengelola kehidupan. Sebab mereka bukan robot atau petugas biasa. Jabatan ini disediakan bukan untuk orang cari kehidupan, justru harus berfikir menyukupi kehidupan seluruh rakyat.

Baca Juga:  Drone AS Tidak Berguna di Ukraina

Indonesia butuh manusia yang bisa notonegero (Jawa: menata negara) bukan merusak negara. Sikap leaderaship ini tak muncul secara instant apalagi pencitraan. Karakter ini dimiliki oleh manusia yang berjiwa negarawan sejati dan hidup melayani manusia lainnya. Kepentingan duduk di kekuasaan demi berbakti kepada Rabb-nya dan sebaik manusia yang bermanfaat bagi sesama.

Pengelolaan negara dibutuhkan SDM yang mumpuni, pandai berfikir, taat asas hukum, tinggi ketaqwaanya, jauh dari pencitraan, saleh kepribadiannya, dan siap mati membela kepentingan rakyatnya. Tidak mudah memang, tapi bukan berarti tidak mungkin. Jika komitmen yang dibangun sejak awal bahwa tatkala duduk di kursi pemerintahan untuk mengatur negara sesuai ridho Allah SWT, maka pemerintahan itu berkah. Sebaliknya, ketika abai pada urusan kepentingan rakyat dan Allah SWT, jauh sekali Indonesia menjadi negara yang baldatun thoyyibun wa rabbun ghafur.

Di tengah perseteruan perebutan kursi kuasa, rakyat Indonesia harus berfikir cerdas sesuai fakta. Penilaian terhadap yang menginginkan berkuasa dapat dilihat dari tingkah polahnya. Menghalalkan segala cara atau ngotot untuk berkuasa. Demokrasi senantiasa menyuguhkan kegaduhan dan keramaian. Mana ada dalam demokrasi kedamaian dan kemaslahatan?

Baca Juga:  Keingingan Zelensky Meperoleh Rudal Patriot Sebagai Pengubah Permainan Berikutnya?

Berpeganglah pada dua pusaka jika ingin mengatur negara. Urusan negara bukan menang atau kalah, tapi menentukan di mana akhir dari Indonesia. Berfikirlah wahai calon pemimpin dan pemburu duduk di jabatan negara.

Oleh: Hanif Kristianto, Analis Politik dan Media

Related Posts

1 of 2