Dramawan Putu Wijawa Diganjar Gelar Doktor HC Oleh ISI Yogyakarta

Putu Wijaya dalam monolog "Bahasa Indonesia". Foto: ika-jbsiunesa

Putu Wijaya dalam monolog "Bahasa Indonesia". Foto: ika-jbsiunesa

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Dramawan multitalent, Putu Wijawa diganjar gelar doktor honoris causa dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Pimpinan Teater Mandiri bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya itu merasa terhormat ketika mendapatkan kabar tersebut.

“Rasa haru dan hormat saya atas hadiah dari langit itu,” kata Sastrawan serba bisa itu, Jumat, 16 Februari 2018.

Melansir republika.co.id, Putu menerima gelar doktor honoris causa setelah 47 tahun meninggalkan Yogyakarta, membawa ijazah SH yang tidak pernah dipergunakan. Ia pun tak sempat membayangkan penganugerahan tersebut.

Mantan Jurnalis Tempo ini, ketika berada di AS pernah diberi formulir studi oleh Prof James Brandon dari Universitas Hawaii. Tapi, saat itu ia merasa tidak berbakat menjadi ilmuwan, dan lebih memilih kerja kreatif di lapangan.

Oleh sebabnya, bila sekarang harus memikul gelar doktor honoris causa, ia merasa malu bila tidak memiliki alasan berani menerima penghargaan terhormat tersebut. “Saya bukan peneliti, tapi proses kreatif puluhan tahun di lapangan memaksa saya bertempur dengan berbagai kasus kreatif,” ujar Novelis terkemuka tanah air itu.

Putu mengaku, hal itu membetotnya selangkah demi selangkah, merakit jurus-jurus penyelamat untuk menjawab, menerobos dan menjinakkan tantangan dan keterbatasan. Antara lain, sampai ke jurus bertolak dari yang ada, teror mental, dan teater tontonan.

Ternyata, jurus rakitan itu dapat dipakai menghadapi berbagai kasus lain dan bisa terpakai tidak hanya oleh dirinya sendiri, melainkan orang lain. Lewat jurus-jurus itulah, Putu menghayati kembali kearifan lokal Bali, desa kala patra. “Sehingga, saya bisa melihat berbagai fenomena dan situasi dari sudut pandang yang lain atau baru, di antaranya, betapa hebatnya warisan kearifan lokal dalam teater tradisi atau rakyat kita,” kata Putu.

Interaksi mendalam antara teater modern dan teater tradisi, ia rasakan telah melahirkan apa yang disebut tradisi baru. Yaitu, saat untuk tidak lagi membiarkan referensi barat mendominasi teater Indonesia, sebab semua referensi setara.

Lama rasanya ia ingin memaparkan itu, dan penghargaan doktor honoris causa bagai saat meletusnya seluruh kandungan pikiran itu. Tulisan tersebut sudah diterbitkan dalam buku hibah yang terbit Agustus 2017, dengan judul Tradisi Baru. “Paling tidak, kendati itu hanya pengalaman personal, rasa malu, cemas dan gamang saya berakhir,” aku Putu. (Riskiana)

Editor: Achmad S.

Exit mobile version