Ekonomi

DPR: Pemerintah Belum Terbuka Dalam Melakukan Audit Indsutri Sawit

lahan sawit, reforma agraria, petani indonesia, hak asasi petani, nusantaranews
Perkebunan sawit. (Foto: Ist)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai pemerintah Indonesia turut andil dalam membiarkan citra buruk yang terus melekat pada industri sawit nasional. Hal ini, Fadli ungkapkan sebagai bagia dari komentarnya terhadap bencana asap akibat Karhutla.

“Pemerintah belum terbuka dalam melakukan audit industri sawit. Padahal, audit terbuka merupakan bagian dari kebijakan Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO),” kata Fadli di Twitter, @fadlizon, Kamis (19/9/2019).

Menurut Fadli, seharusnya seluruh perusahaan sawit diperiksa oleh auditor independen yang bertugas memverifikasi apakah betul industri sawit kita tidak mendegradasi lingkungan atau melakukan ‘land cleansing’ dengan cara-cara yang merusak lingkungan.

Memang, kata dia, di balik boikot Uni Eropa atas produk sawit Indonesia terselip kepentingan dagang untuk melindungi produk mereka sendiri, yaitu ‘sun flower oil’ dan ‘rapeseed oil’.

Baca Juga:  Rawan Ganggu Gula Lokal, Waspada Gula Impor Bocor di Daerah

“Namun, tidak adanya keterbukaan dan keseriusan tindakan dari Pemerintah pada pelaku industri sawit yang nakal telah ikut mempersulit munculnya kepercayaan masyarakat Eropa,” jelasnya.

Fadli mengatakan, opini dunia internasional bagaimanapun memang tak bisa diabaikan. Apalagi, selain ancaman boikot dari Uni Eropa tadi, kini juga muncul kampanye global “Palm Oil Free” (Bebas Minyak Sawit) yang mengarah pada boikot total seluruh produk sawit. POF (palm oil free), lanjutnya, adalah kampanye negatif terhadap penggunaan produk sawit untuk berbagai industri, terutama ‘consumer product’.

Sejumlah LSM lingkungan, tutur Fadli, serta para aktivis di berbagai belahan dunia, merupakan motornya. Mereka menekan sejumlah industri global untuk mencantumkan label POF di produk yang mereka hasilkan.

“Kini ada lebih dari 200 perusahaan multinasional dengan ribuan produk pangan dan non-pangan global yang telah mengadopsi label POF. Produk-produk itu mencakup biskuit, mi instan, coklat, margarin/mentega, sereal, es krim, makanan ringan, serta makanan beku dan kalengan,” ungkapnya.

Baca Juga:  Bandara Internasional Dhoho Kediri Diresmikan, Khofifah: Pengungkit Kesejahteraan Masyarakat

Kampanye ini, menurutnya, tentu saja bisa merugikan Indonesia, yang merupakan produsen sawit terbesar di dunia. Apalagi, secara global 83 persen penggunaan minyak sawit memang untuk industri pangan. Sementara 17 persen sisanya untuk industri non-pangan, termasuk di dalamnya biodiesel. Sehingga, jika labelisasi POF ini kian meluas, maka Indonesia akan kian kesulitan memasarkan minyak sawitnya.

“Itu sebabnya saya ingin mendorong Pemerintah agar memanfaatkan bencana karhutla 2019 sebagai momen untuk mereformasi industri perkebunan sawit di tanah air. Kita harus memperbaiki tata kelola perkebunan sawit agar tidak menjadi penyebab kerusakan lingkungan dan deforestasi,” hematnya.

“Tindak semua perusahaan sawit yg merusak lingkungan. Tanpa adanya perbaikan yang drastis, produk sawit kita akan semakin ditolak dunia,” sambung Fadli. (nn)

Baca Juga:  Antisipasi Masuk Beras Impor, Pemprov Harus Operasi Pasar Beras Lokal di Jawa Timur

Editor: Achmad S.

Related Posts

1 of 3,176