NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Wakil Sekretaris Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama, PBNU Djoko Edhi Abdurrahman mengatakan ada yang salah dari Humas Badan Narkotika Nasional (BNN). Pasalnya, kasus psikotropika Diskotik MG International Club menyalahkan masyarakat karena apatis sehingga MG bisa beroperasi 2,4 tahun: tak terendus BNN.
“Jika tak salah adalah pernyataan Kombes Sulis,” ujar Anggota Komisi III DPR 2004-2009 itu, dalam tulisannya berjudul “Dramaturgi BNN Diskotik MG: Apaan Masyarakat Yang Salah?”.
“Berani bertaruh salah berat si Sulis. Mengapa masyarakat yang jadi keliru? Sejak kapan masyarakat diikutkan dalam operasi perang narkoba? Saya sejak 2005 jadi Ketua Dewan Penasihat SIAN BNN. Ini ormas pertama di bawah BNN ketika Kapolrinya Jenderal Sutanto dan didirikan oleh Sutanto,” imbuh Djoko Edhi.
SIAN, lanjut Edhi, adalah akronim dari Seniman Indonesia Anti Narkoba (SIAN), didirikan sewaktu Jenderal Mangku Prastika jadi Kalahar BNN.
“SIAN BNN itu hidup tak mau, matipun segan, karena setelah Sutanto, masyarakat tak dilibatkan dalam operasi pemberantasan narkoba. Yaitu, biaya perang terhadap narkoba internasional itu, ditambah aset rampasan dari BD (bandar), tak cukup untuk sekadar dibagi-bagi di internal. Apalagi mengikutkan masyarakat. Sebagian besar BNN memang jadi kaya raya, tapi partisipasi masyarakat kian tak ada, kian eksklusif, tanpa idealisme, tinggal urusan bagi-bagi. Mengapa sekonyong-konyong masyarakat yang jadi tertuduh? Salah berat si Sulis,” terangnya.
Menurut dia, mustahil 1000%, BNN tak tahu soal MG dini hari. Mana ada pesta triping ratusan orang tak ketahuan cepu kalau bukan piaraan? Mengada-ada! Mana ada triper yang mampu menutup mulutnya setelah pakau? Mana ada diskotik yang tak ada cepunya, apalagi di Jakarta Barat.
“Bikin cerita saja tak beres. Belajar dari penulis skenario Pak Bro yang setidaknya tidak paradoks. Piaraan disebut rahasia, berkamuflase, ayak-ayak wae BNN. Lalu, pemiliknya kabur pula. Padahal TO nya menangkap ratusan orang. Pasti restiknya baru keluar kardus dong lalu jadi penjaga ATM. Ong-boongan, kata orang Madura,” ujarnya.
“Tadinya saya percaya Jenderal Buwas (Budi Waseso, -red). Sekarang tidak lagi. Rezim BNN ini sudah persis sama tipologinya dengan kekuasaan Jenderal Gores Mere, yang kini jadi pembisik Presiden Jokowi. Lalu kekuasaan itu dua putaran diganti kekuasaan Jenderal Anang Iskandar yang diametral habis dengan Gores. Lalu masuk Jenderal Buwas, yang lebih mirip Jenderal Ronin,” sambung dia.
Djoko Edhi menilai banyak harapan disandangkan ke Buwas yang awalnya idealis, bahkan pemakai yang adalah victim mau ia hukum mati pula. Ohh, lone wolf. Darah segar. Berani lawan Tommy Winata dan Iwan Bule adalah prestasi sendiri. “Yakinlah kita, dramaturgi narkoba dapat diakhiri sang Jenderal Ronin,” sindirnya.
“Saya pun berdoa, semoga BNN benar bertumbuh kembang menjadi jati diri DEA, dipimpin Jenderal Ronin. Apalagi didampingi Jenderal Depari yang rambutnya disanggul, ala gondrong 1970-an. Habislah BD dilibas BNN. Sampai Diskotik MG digerebeg, muncul big question: kok makin gawat dramaturginya?,” imbuhnya.
Tak hanya itu, dia pun menyebut, data Narkoba lebih miris. Tak ada narkoba berkurang sama sekali. Malah kian banyak di pasar. “Padahal di TV, yang ditangkap banyak banget. Barang bukti kembali ke pasar, sampai bongkok pun, takkan ada narkoba yang berkurang. Sudah masanya mencari Jenderal Ronin baru, agar Buwas bisa jadi Cawapres saja daripada rusak semua!” tandasnya.
Pewarta/Editor: Achmad S.