Kolom

Djoko Edhi Abdurrahman: Dimana Rp 1 Miliar Dari SMI, Saya Ambil, Gus?

Djoko Edhi Abdurrahman. Foto Ilustrasi: NusantaraNews.co
Djoko Edhi Abdurrahman. Foto (Ilustrasi: NusantaraNews.co)

NUSANTARANEWS.CO – Efendy Choirie, alias Gus Choi, mengirim surat Menkeu Sri Mulyani Indrawati ke saya kemarin. Ini opening surat tersebut.

“Wahai Para Pembenci Pak Jokowi, Kalian Semua Sakit Jiwa!!! Tunjukkan Kesalahan Pak Jokowi, Satu Kesalahan Saja Akan Saya Bayar 1 M. Dan Ini Bukti Kehebatan Pak Jokowi Yang Luar Biasa! Dari 3700 T Hutang Negara, Jokowi Hanya Menambah 300 T dan Mampu Membangun, Sisanya Warisan SBY”.

Surat itu dijapri Gus Choi, Sekjen Nasdem, setelah Seminar “Meneropong Politik Infrastruktur Jokowi – JK” di Hotel Ibis Budget, Senin 27 Agustus 2017. Pembicara di seminar itu Syahganda Nainggolan, Salamudin Daeng, Bahlil, dan saya. Hanya Bahlil yang membela Rezim Jokowi JK dengan apologia. Lainnya ktitis: politik infrastruktur itu sumber malapetaka. Stop atau perbaiki!

Moderatornya adalah Adrinanto, dari Prodem. Event itu sendiri adalah gawenya Hatta Taliwang, gerakan pertama MHT sejak ia dimakarkan oleh Iwan Bule, 7 bulan lalu.

Successful. Seminar menyoroti politik infrastruktur secara kritis. Bukan kebencian dong, Madame Ani. Sebab, Presiden Jokowi tak paham ekonomi.

Gus Choi adalah anak buah saya pada tahun 1985 di Koran Ekonomi Jayakarta, corongnya ABRI yang didorong kritis untuk mengkritik rezim. Gus Choi belajar menulis dari saya. Demi Rp 1 miliar, Gus Choi harus saya jawab. Sedang koran Jayakarta adalah koran ekonomi kedua di Indonesia setelah Jurnal Ekuin dibreidel.

Tolong agar Sri Mulyani menepati yang Rp 1 miliar itu, Gus. Saya kasih success fee 5%, pajak bayar masing-masing. Kalau ia mau berdebat atur saja Gus. Kalau Madame Ani menang, saya akan puji Jokowi habis-habisan, meski dengan beleid bohong-bohongan. Sebaliknya kalau ia kalah, tambah hadiahnya Rp 2 miliar. Pajak bayar sendiri.

Saya tunjukkan kesalahannya, demi Rp 1 miliar. Pembangunan (infrastruktur) itu mengubah konsentrasi yang mestinya: (i) memperkuat daya beli, (ii) melebarkan daya serap tenaga kerja, (iii)  mengoptimalka TFP (total fungsi produksi) (iv) mengembangkan amortisasi, (v) memperkecil DSR (debt service ratio, yang kini 47% sementara ekspor melemah, impor gila-gilaan, (vi) mencegah capital flight dari investasi asing, (vii) menurunkan angka ICOR (incremental capital output ratio) yang kini angkanya = 6,7, ke normal = 2.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Dulu, angka ICOR 3 saja, Prof Soemitro Djojohadikusoemo sudah heboh. Subtansinya akibat struktur oligopoli pasar, rente ekonomi, dan mark-up policy (korupsi). Ketiganya kini merajalela, oligopoli karena 80% ekonomi nasional dikuasai Cina, 80% sektor keuangan dikuasai Cina, 4 taipan setara asset 100 juta masyarakat. Sedang ekonomi rente dilakukan asing – aseng – asong. Sementara KPPU dan KPK letoi, kekenyangan, dipenuhi job seekers. Mau ngomong apalagi Madame Sri Mulyani?

Separuh lebih dana yang mestinya ke situ, habis ke infrastruktur yang menguras 7 faktor tadi. Itu salahnya. Kemana Rp 1 miliar itu saya tagih, Gus?

Efendy Choirie, sohib di koran ekonomi Jayakarta, kita ini bukan anak kemarin. Kita terlibat ketika infrastruktur masih bernama Pelita. 90% isinya soal infrastruktur. Bukan isapan jempol. Presidennya bernama “Bapak Pembangunan”. Politiknya bernama  “Trilogi Pembangunan Nasional”. Alatnya, Developmentalism. Kitab sucinya “The Stage of Economic Growth Non Communist”. Istilah Pembangunan itu, kini berubah nama infrastruktur, diilhami AIIB (Asian Infrastructure Investment Bank) yang dipelopori Xi Jinping.

Dulu malah sangat hebat. Waduk Nipah Madura, 6 orang tewas ditembak. Gedung Ombo, ratusan ditembak. Itu segelintir. Jadi infrastuktur bukan barang baru. Semua rezim bermasalah dengan infrastruktur.

Tahun 1982 terjadi resesi ekonomi dunia akibat krisis fiskal. Sri Mulyani masih SMA. Tahu kenapa?

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Separuh dana dunia dikerahkan untuk membangun infrastruktur perang bintang. Senjata nuklir untuk perlombaan senjata cold war.

Sama. Di situ salahnya Jokowi. Akibatnya, dana untuk membiayai pasar kurang separuh. Dana produktif disedot ke infrastruktur. Terjadilah anomali ekonomi. Wabah DMU (diminishing marginal utility – tingkat kepuasan pasar yang terus berkurang) berlanjut ke DMR (diminishing marginal return – tingkat pengembalian yang terus berkurang), berakibat kegagalan perusahaan mencetak laba, lalu gagal membayar pajak.

Karena tak mampu bayar pajak, terjadi krisis fiskal yang disebut resesi ekonomi dunia sejak 1973 sampai 1983 (puncaknya). Growth dunia hanya 1%. Masih ingat peristiwa ini? Peristiwa ekonomi mikro yang mempengaruhi ekonomi makro gara-gara pembangunan infrastruktur yang menyimpangkan alokasi. Krisis tahun 1983 adalah krisis fiskal, di wilayah ekonomi mikro. Krisis tahun 1997 adalah krisis moneter di wilayah ekonomi makro.

Tahun 1982 dicapai kesepakatan Presiden Reagan vs Presiden Gorbachev, untuk menghentikan perang bintang, menarik dana dari situ untuk dikembalikan ke pasar. Satu tahun pulih resesi itu.

Tapi tak mudah bagi Indonesia. Semua industri sudah collaps akibat wabah DMR dengan DER (Debt Equity Ratio) = 5:1. 5 utang, 1 modal sendiri.  Doktrin ilmu ekonomi, DER 3:1, tutup saja perusahaan itu. Tak boleh difresh money. Akibatnya dana diparkir di deposito Bank Indonesia, orang makan dari bunga deposito. Perusahaannya dibunuh sesuai doktrin ilmu ekonomi.

Rezim Soeharto melakukan revolusi, kampanye besar-besaran “aku cinta produk Indonesia”. Artinya barang impor haram. Sekarang, semua impor!

Dua kali pemerintah melakukan saneering, pada 1983 sebesar 30%, dan pada 1985 sebesar 30%. Merumahkan Bea Cukai lewat Inpres No 4/1984 selama 5 tahun, diganti sepenuhnya oleh SGS, Petrus membunuh 3.862 orang bromocorah yang mengganggu pasar, membubarkan IGGI diganti CGI. Mendirikan trading house di seluruh negara, mengangkat Dubes keliling untuk jual barang produk Indonesia. Meliberalisasi perbankan. Mengusir pengusaha ke hutan untuk menebang hutan guna memperkuat ekspor. Semua untuk membangun daya beli yang ambruk dan membersihkan distorsi ekonomi.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Yang ambruk bukan saja ekonomi, juga rezim keuangan Keynesian yang berjaya sejak Great Depression 1929, gulung tikar digantikan rivalnya ekonomi Ekspektasi Rasional (supply sides) dengan jargon: tak ada harapan rasional pada utang. Karenanya jangan berutang! Dewasa ini, utang swasta lebih kecil daripada utang pemerintah. Artinya, pemerintah yang cari utangan, swasta menyusu kepada pemerintah. Bego berat.

Kini, pembangunan infrastruktur Jokowi gila-gilaan. Yang mestinya dana itu untuk memperkuat daya beli. Anomali muncul pada daya beli yang anjlog, yang menurut Ketua Bappenas, misterius? Mau ngomong apalagi?

PPN naik, tapi daya beli menurun. Mestinya, kalau PPN naik daya beli naik, dan sebaliknya. Hanya ada dua kemungkinannya: 1. Anomali (the death of economic), 2. How to lie with statistic. Apapun yang terjadi, semua orang tahu daya beli anjolg.

Rezim ini, data saja disembunyikan. Modus, rezim hoax.

Tahu tidak rasanya berutang? Pernah kredit rumah, kredit sepeda motor, and soon. Diserbu debt collector kayak perampok. Dag dig dug bukan? Kalau utang itu untuk investasi yang sehat, kita bisa tidur nyenyak. Tapi ini investasi tak sehat. Enak Presiden Jokowi utang seenaknya, habis itu ia turun tahta. Pajak rakyat yang suruh bayar.

Jadi, kemana taruhan Rp 1 miliar dari Sri Mulyani itu bisa saya ambil?

Penulis: Djoko Edhi Abdurrahman, Mantan Anggota Komisi Hukum DPR, Ketua Umum Indonesian Tax Watch.
Editor: Ach. Sulaiman

Related Posts

1 of 21