CerpenTerbaru

Djenar dan Problem Ibunya

Djenar dan Problem Ibunya
Djenar dan Problem Ibunya

Djenar dan Problem Ibunya

“Terus terang, saya nggak ngerti, sama sekali nggak paham. Saya sendiri bingung, kenapa Ibu sampai tega meninggalkan Ayah begitu saja,” kata teman saya, seorang wanita berusia 35 tahun dan belum menikah. “Tapi akhirnya saya tahu, bahwa semuanya itu gara-gara baju jubah.”

 

Oleh: Muhamad Pauji

“Terus terang, saya nggak ngerti, sama sekali nggak paham. Saya sendiri bingung, kenapa Ibu sampai tega meninggalkan Ayah begitu saja,” kata teman saya, seorang wanita berusia 35 tahun dan belum menikah. “Tapi akhirnya saya tahu, bahwa semuanya itu gara-gara baju jubah.”

“Baju jubah?” tanya saya heran. “Maksud kamu, baju panjang yang biasa dipakai orang-orang Arab itu?”

“Nah, seperti itu. Saya sendiri awalnya heran, kenapa sampai terjadi perpisahan itu gara-gara baju jubah.”

Namanya Djenar Utami, seorang wanita yang pernah kuliah bareng saya di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) belasan tahun lalu, dengan tinggi badan yang hampir menyamai saya. Dia mengajar piano di sekolah Katolik menengah, dan menghabiskan banyak waktu bersama klub bulutangkis dan berenang setiap minggu. Tubuhnya terlihat sehat dan semampai, dan wajahnya agak kecokelatan karena sering terbakar matahari. Kita bisa menyebutnya, dia penggila olahraga. Di hari libur, dia menggowes sepeda menuju lapangan bulutangkis yang jaraknya sekitar 15 kilometer dari tempat tinggalnya.

Pada dirinya tidak ada kesan agresif dan ambisius dalam mengejar sesuatu. Saya justru menilainya sebagai wanita yang ogah-ogahan, dan tak ada tekanan emosional pada seorang lelaki. Hanya ada semacam dorongan yang membutuhkan aktivitas bertenaga. Itulah mengapa dia sendiri tak keberatan disebut sebagai penggila olahraga.

Di sisi lain, saya sendiri tak paham mengapa si Djenar masih juga bertahan untuk melajang. Padahal, teman dan para sahabatnya ada di mana-mana. Mungkin sebagian orang menilainya bahwa dia agak gemuk, tetapi toh tak bisa dibilang gendut. Konon katanya, beberapa kali dia sempat melangkah ke jenjang pernikahan, tetapi selalu saja muncul berbagai persoalan yang membuat segalanya tiba-tiba menjadi berantakan.

“Sepertinya dia kurang mujur,” komentar istri saya pada suatu hari.

“Boleh jadi,” kata saya menimpali.

Walaupun, sebenarnya saya kurang sepakat dengan konsep kemujuran atau keberuntungan itu. Memang, di satu sisi keberuntungan hidup manusia ada benarnya. Namun di sisi lain, khususnya untuk seorang wanita seperti Djenar, yang nampaknya punya kemauan keras untuk menggowes sepeda sejauh 30 kilometer – hanya untuk bermain bulutangkis – tentu saja ada banyak jalan untuk mengatasi sesulit apapun problem hidup yang dialaminya.

“Tapi, menurut saya,” kata saya kemudian, “Djenar itu memang nggak ada minat sama sekali untuk menikah. Atau, konsep pernikahan memang nggak ada dalam pikirannya.”

Dia juga adalah teman baik istri saya, serta lawan tanding yang paling sengit ketika bermain bulutangkis di Gedung Olah Raga (GOR) Kota Serang. Hanya saja tempat tinggal kami berdekatan dengan GOR, dan bisa ditempuh hanya dalam jarak dua kilometer saja.

Siang itu, hujan turun agak deras, dan cuaca sangat dingin. Djenar tiba di rumah satu jam lebih sebelum waktu keberangkatan untuk jadwal bermain bulutangkis. Istri saya sedang keluar rumah untuk berbelanja di minimarket.

“Maafkan saya,” katanya meminta maaf, “saya membatalkan jadwal renang siang ini. Karena itu bisa datang ke sini lebih awal… tapi, apakah saya mengganggu?”

“Ah nggak juga… istri sedang ke minimarket, sebentar lagi juga pulang.”

Saya persilakan dia masuk, menuju dapur dan menyeduh kopi sendiri. Djenar membikin dua cangkir kopi, dan yang satu disodorkan untuk saya yang sedang menonton acara sinetron di layar televisi. Sebenarnya tidak ada yang menarik pada sinetron buatan dalam negeri itu. Bahkan, nyaris tidak ada adegan yang membuat pikiran saya tersedot ke sana. Jadi, saya hanya menontonnya karena seakan benda kotak itu sudah terlanjur ada di sana.

Sekarang, sinetron sudah selesai. Iklan-iklan berseliweran menampilkan gadis-gadis centil dan montok untuk layanan iklan sabun mandi maupun sampo. Kami masih mengobrol, dan belum ada tanda-tanda bahwa istri segera datang. Di tengah obrolan itu, terbersit rasa senang dan kagum bahwa saya sebenarnya menyukai wanita ini. Hanya masalahnya, ada satu kekurangan yang dirasa sangat berat untuk melakukan tindakan yang taktis dan strategis. Djenar bukan hanya teman saya, tapi sekaligus teman dari istri saya.

Saat itu, lebih lanjut dia menceritakan tentang perceraian kedua orang tuanya. “Jadi, kalau ayah saya berangkat ke masjid untuk salat Jumat, biasanya dia memakai jubah putih.”

“Kan biasanya, orang Indonesia itu mengenakan sarung dan kopiah kalau berangkat ke masjid?”

“Nah, itu dia masalahnya. Jadi, Ayah menginginkan hadiah jubah sebagai kenang-kenangan. Barangkali dia merasa nyaman dengan pakaian itu. Tapi, saya juga kadang tertawa kalau dia berangkat salat Jumat dengan memakai jubah. Biasanya kan orang Arab yang berpakaian seperti itu? Padahal, dia sama sekali nggak ada silsilah keturunan sebagai darah Arab, baik dari garis bapaknya maupun ibunya.”

Saya masih belum bisa menyimak keseluruhan cerita yang disampaikan Djenar. Saya kemudian bertanya tentang masalah hadiah dan kenang-kenangan apa yang dia maksud. Lalu, kenapa dia meminta hadiah baju jubah?

“Oh iya, saya minta maaf. Kadang saya sulit sekali mengurutkan cerita satu persatu,” katanya sambil menyeka keringat di keningnya. “Kadang juga saya melompat-lompat dari satu bagian ke bagian lain. Barangkali karena saya terlampau emosional, sehingga saya pribadi terlalu ikut berperan dalam isi cerita tersebut.”

Baca Juga:  Kamala Harris Khawatir Donald Trump Akan Memenangkan Negara Bagian "Tembok Biru"

Kemudian, Djenar berusaha mengurutkan cerita itu sebisa mungkin. “Jadi, saudari ibu saya tinggal di daerah Kudus, Jawa Tengah. Menjelang anaknya mengadakan resepsi pernikahan, dia mengharapkan Ibu untuk berkunjung ke sana. Sebenarnya, sudah cukup lama dia menginginkan kehadiran Ibu di Kota Kudus. Meskipun, Ibu sama sekali tak bisa bicara bahasa Jawa. Lalu, Ibu pun minta pendapat Ayah, bagaimana kalau mengambil cuti sekitar lima hari untuk menemani Ibu ke Kudus, hanya mereka berdua saja? Tapi, Ayah bilang bahwa kesibukannya di kantor tak memungkinkan dia mengantar Ibu ke Jawa Tengah. Maka, berangkatlah Ibu sendirin ke Kota Kudus.”

“Jadi, ketika ibumu ke Kudus itu, ayahmu minta hadiah jubah, begitu?”

“Bukan,” katanya sambil menghembuskan napas berkali-kali, seakan baru selesai bermain bulutangkis selama tiga set, dalam waktu yang amat panjang. “Mulanya Ibu bertanya, ingin kenang-kenangan apa sekembalinya dari Kudus? Lalu, Ayah menjawab jubah.”

“Oo, begitu.”

Konon, kedua orang tua Djenar sangat dekat dan akrab. Mereka boleh dibilang, hampir tak pernah bertengkar serius yang menimbulkan keretakan dalam hubungan rumah-tangga. Dulu, waktu Djenar masih kecil, memang pernah ada perselisihan mengenai adanya perempuan lain, tapi masalah itu sudah berlalu cukup lama, seakan tak terasa lagi gaungnya.

“Sebenarnya dia tipikal laki-laki yang baik dan santun. Dia juga seorang pekerja keras,” kata Djenar tanpa basa-basi, “tapi boleh dibilang, Ayah itu tak beda jauh dengan tipe laki-laki mata keranjang.”

Kemudian, Djenar berpindah pada persoalan ibunya di Kudus, yang katanya menambahkan waktu kunjungannya dari empat hari menjadi satu minggu, tanpa memberikan kabar apa-apa kepada keluarga di Kota Serang. Lalu, sekembalinya dari Kudus, ia justru tinggal bersama saudarinya yang lain, yang tinggal di wilayah Serang, dan tak pernah kembali ke rumah.

Sebelum itu, ketika ada gesekan-gesekan yang mengganggu dalam urusan rumah-tangga, biasanya si ibu-lah yang lebih banyak mengalah. Menurut Djenar, ibunya sangat sabar, bahkan ia sempat beranggapan bahwa ibunya tak memiliki imajinasi. Memang, si ibu sangat mencintai anaknya sejak kecil tanpa pamrih. Karena itu, ketika ibunya memutuskan tinggal bersama saudarinya – dan tidak pulang ke rumah – hal itu membuat dirinya merasa terpukul dan shock berat. Berkali-kali Djenar menelpon dan menemui sang ibu ke rumah bibinya, tetapi tetap saja hal itu tak pernah membuatnya bicara perihal sebab-musabab mengapa ia tak mau pulang ke rumah.

***

Pada pertengahan bulan Agustus, meskipun tak ada hubungannya dengan hari kemerdekaan RI atau kesaktian Pancasila, tiba-tiba Ibu menelpon Ayah, hanya untuk mengatakan begini, “Beberapa hari ke depan, kamu akan menerima surat perceraian, dan tak usah banyak komentar, cukup tandatangani saja. Jadi, kamu nggak usah capek-capek harus membikinnya.”

“Tapi kenapa nggak ada penjelasan sama sekali?”

“Pokoknya sudah, nggak usah komentar. Saya sudah kehilangan segala-galanya dari kamu. Wajahmu, kebiasaanmu, bahkan wujud dirimu sendiri sudah hilang dari pandangan saya…”

“Bukankah kita bisa membahas persoalan ini?”

“Nggak ada bahas-bahasan. Pokoknya, kamu itu sudah nggak ada apa-apanya bagi saya. Titik.”

“He, nanti dulu.”

Negosiasi lewat telepon berlangsung berkepanjangan selama satu hingga dua bulan. Tapi, sang ibu tidak mundur selangkah pun. Sampai pada akhirnya, si ayah sepakat untuk menandatangani surat perceraian tersebut. Dia tidak bisa mengajukan gugatan apapun, yang barangkali lantaran tabiat dan kelakuannya sendiri, akhirnya Ayah pun memilih untuk menyerah pasrah.

“Tentu saya merasa terpukul berat,” Djenar bicara dengan tatapan menerawang, “tapi yang menjadi persoalan bukan masalah perceraiannya. Hal itu secara psikologis harus siap saya hadapi. Tapi yang jadi masalah, Ibu bukan hanya meninggalkan Ayah, tetapi sekaligus meninggalkan saya sebagai anak tunggal satu-satunya, tanpa ada penjelasan apapun. Jadi, selama beberapa bulan saya tak bisa memaafkan dia. Saya sudah menelpon berkali-kali, bahkan menemuinya langsung ke rumah Bibi, agar dia menjelaskan duduk perkaranya, tetapi tetap saja nihil. Dia tetap bungkam seribu basa, tak mau membicarakan soal itu.”

Dua tahun kemudian, Djenar menemui ibunya yang waktu itu sudah bekerja di salah satu kios pakaian Bibi di Pasar Royal, Serang. Saat itu, Djenar masih tinggal bersama ayahnya. Setelah lulus dari IKJ, ia mengajar piano di sekolah menengah Katolik di wilayah Serang. Ditambah dengan mengajar kursus privat musik dengan mendatangi kediaman si murid.

Ibunya mengaku bahwa selama ini tak sanggup bicara dengan puterinya karena dia tak tahu apa yang harus dibicarakan. “Jadi, Ibu sendiri bingung, harus mulai dari mana, dan apa yang mesti diomongkan… tapi bagaimanapun akhirnya Ibu ingat bahwa semuanya itu gara-gara baju jubah…”

“Baju jubah? Yang biasa dipakai orang Arab itu?”

Djenar sama terkejutnya dengan saya. Akhirnya, dia mengajak ibunya menuju warung makan Padang yang tak jauh dari kiosnya. Dan di situlah, setelah menyantap makan siang dan menikmati es teh manis, Djenar menyimak dengan seksama tentang segala hal yang diceritakan ibunya. Tetapi, maafkan saya jika cerita ini tumpang-tindih tak beraturan, hingga tak sesuai dengan apa yang Anda harapkan.

***

Toko yang menjual baju jubah berada di tempat yang agak menyempil, tak jauh dari lokasi masjid dan menara Kudus. Saudari ibunya yang menunjukkan letak toko itu. Dia pun membawa catatan denah yang digambarkan saudarinya itu. Di bagian depan toko, nampak serupa kios yang dipajang berbagai-macam pakaian seperti jubah, baju koko hingga berbagai merk sarung dan kopiah. Di sebelah toko, ada warung baso yang cukup luas, dan puluhan lelaki dan perempuan sedang menyantap baso daging kerbau di warung tersebut.

Baca Juga:  Jelang Pilkada 2024, Bawaslu Nunukan Gelar Sosialisasi Netralitas ASN, TNI, dan Polri

Waktu itu adalah hari Jumat. Si Ibu bersiap-siap membelikan suaminya kenang-kenangan. Di dalam toko, duduk sepasang lelaki Kudus keturunan Arab, yang saling berbicara dalam bahasa Jawa. Si ibu tidak paham apa yang mereka bicarakan. Ia hanya memandangi beberapa ekor kucing yang ada di dalam toko tersebut. Ketika si ibu menjelaskan keperluannya untuk membeli jubah, salah seorang lelaki menunjuk ke sebuah bangunan rumah yang berjarak sekitar duaratus meter dari toko tersebut.

Ia pun melangkah ke tempat itu. Terlintas di tengah kota sebuah anak sungai yang bergemericik, yang kedua tepinya rimbun dan hijau. Jalanan berbatu bulat mengarah ke setiap penjuru, dan terdapat kucing di mana-mana. Si ibu mampir dulu ke sebuah warung makan yang menyediakan Soto Kudus, ditambah dengan menyesap teh hangat yang disediakan pelayan warung.

Sungguh menyenangkan bepergian seorang diri, pikirnya. Bahkan inilah kali pertama dalam 35 tahun lebih usia pernikahannya, ia bepergian seorang diri. Di sepanjang perjalanan, tak sekali pun ia merasa kesepian, takut atau bosan. Setiap pemandangan yang ia lihat adalah hal baru dan menyegarkan. Semua orang yang ia temui nampak bersahabat. Seluruh pengalaman membangkitkan emosi yang selama ini terlelap, seakan tak tersentuh dan tak terjamah. Apa yang selama ini ia pegang erat-erat? Suami dan rumah dan puterinya? Ah, mereka sedang berada jauh dari kota ini? Saat ini, ia merasa tak perlu membebani diri dengan semuanya itu.

Ia pun mendapatkan toko yang mirip bangunan rumah yang memproduksi baju jubah untuk berbagai ukuran dan berbagai warna. Setelah mengucap salam, seorang lelaki paruh baya muncul, lalu menyambut ramah, dan mempersilakannya masuk. Di situ nampak puluhan penjahit sedang sibuk di belakang mesin jahitnya. Dua lelaki tua sedang bicara berbisik-bisik seraya melakukan pengukuran dan mencatatnya di atas secarik kertas. Di balik tirai pemisah terdapat ruang kerja yang lebih besar lagi, hingga kebisingan yang monoton dari suara mesin jahit dapat terdengar jelas.

“Ada yang bisa saya bantu, Bu?” dengan logat Jawa yang kental, salah seorang dari lelaki itu menyapa si ibu.

“Saya mau membeli jubah,” jawabnya singkat.

“Oo begitu, tapi yang pesan jubah siapa?”

“Saya sendiri… untuk suami saya.”

“Lho? Suami ibunya mana?”

“Ya di rumah, di daerah Banten.”

“Waduh, Bu, kami tidak membuat jubah untuk konsumen yang tidak ada.”

“Suami saya ada,” kata si ibu ketus.

“Baik, baik… suami Ibu ada di daerah Banten,” kata lelaki keturunan Arab itu. “Tapi yang saya maksud, kalau suami Ibu tidak ada di sini, kami tak bisa menjual jubah.”

“Lho? Emangnya kenapa?” katanya sewot.

Lelaki yang satunya mendekat dan menjelaskan, “Begini, Bu, ini sudah menjadi kebijakan perusahaan kami. Kami harus lihat postur tubuhnya, tinggi pendeknya, atau kurus gemuknya konsumen. Kami harus mendesain jubah itu sesuai dengan bentuk tubuhnya. Barulah kami bisa jual. Jadi, mohon maaf, puluhan tahun kami menjalankan usaha ini, dan selama ini kami tetap konsisten menjaga reputasi dengan kebijakan ini.”

“Tapi saya sudah menempuh perjalanan ratusan kilometer untuk sampai ke Kudus ini, hanya untuk membeli baju jubah.”

“Sekali lagi, mohon maaf Ibu. Kami tidak membuat pengecualian apapun. Sekarang ini lagi ramai-ramainya terjadi pengeboman, dan tidak sedikit pelakunya adalah orang berjubah dan berjenggot.”

“Jadi, kalian menuduh suami saya teroris, begitu?” katanya ngotot. Si ibu terus memeras otak sambil berdiri di ambang pintu. Lelaki tua yang agak pendek menjelaskan situasi pada lelaki tua yang lebih tinggi, lalu keduanya saling menganggukkan kepala.

“Kalau begitu, bagaimana kalau begini saja,” si ibu mengajukan. “Saya akan cari laki-laki di warung baso itu, yang ukuran badannya sama dengan suami saya. Lalu, kalian desain sesuai dengan postur tubuhnya, kemudian jubah itu dijual untuk saya, bagaimana?”

Lelaki tua yang lebih tinggi terperanjat kaget, “Nggak bisa, Bu. Sebab, itu pria lain yang akan mencoba jubah, bukan suami ibu sendiri.”

“Oke, sekarang begini saja. Anggaplah kalian tidak tahu menahu. Jadi, jubah itu dijual kepada pria itu, lalu pria itu menjualnya pada saya. Dengan begitu, nggak ada masalah dengan kebijakan perusahaan kalian, kan? Jadi, tolonglah Pak, ini sekali-kalinya saya datang ke Kota Kudus, ingin membeli jubah dari kota ini, setelah melakukan salat asar tadi di masjid agung Kudus.”

“Hmm,” lelaki tua itu merengut. Ia berpikir sejenak, kok bawa-bawa urusan salat asar segala.

Mereka berunding lagi. Kemudian, berdasarkan hasil permusawaratan, mereka pun mengambil hikmah kebijaksanaan yang bisa mewakili perusahaan itu. Akhirnya, lelaki yang lebih tinggi menghadap si ibu dan berkata, “Baiklah, Ibu. Ini belum pernah saya alami selama puluhan tahun kami menjalani usaha ini. Sekarang, permintaan Ibu saya anggap pengecualian khusus. Jadi, sekarang kami persilakan Ibu mencari orang yang mirip dengan suami Ibu.”

“Baik, terima kasih, Pak,” si ibu pun keluar, menuju warung baso yang tak jauh letaknya dari toko tersebut.

***

Masih juga belum ada tanda-tanda istri saya akan datang dari minimarket. Saya sendiri tak membayangkan kalau Djenar menceritakan kisah itu panjang-lebar, sampai berkelok-kelok ke sana kemari.

Ia melipat tangannya di atas meja dan menghela napas. Saya menyesap secangkir kopi yang sudah menghangat. Hujan masih turun deras, dan cuaca siang itu terasa dingin.

Baca Juga:  National Cybersecurity Connect 2024 Berlangsung Sukses

“Lalu, bagaimana?” tanya saya dengan penuh hasrat ingin mengetahui kesimpulannya, “Apakah ibumu berhasil menemukan lelaki yang sesuai dengan ukuran ayahmu?”

“Iya,” kata Djenar tanpa ekspresi. “Ibu melihat orang-orang yang sedang makan baso, lalu masuk ke warung itu dan mencari laki-laki yang pas dengan ukuran Ayah. Tadinya laki-laki itu menolak dan protes dalam bahasa Jawa, tetapi setelah dijelaskan pakai bahasa Indonesia, laki-laki itu juga belum paham apa maksudnya. Akhirnya, Ibu menyeret laki-laki itu menuju toko jubah, dan minta pemilik toko untuk segara mengukurnya.”

“Sebuah pendekatan yang tanpa tending aling-aling,” kata saya bercanda.

Djenar menghela napas dalam-dalam, “Saya tak habis pikir, padahal selama ini dia cukup rasional dan waras…. Lalu, kedua lelaki tua itu menjelaskan pada orang yang diseret Ibu dengan menggunakan bahasa Jawa. Kemudian, dia dengan senang hati setuju untuk mewakili Ayah. Saat itu juga, dia mengenakan jubah, dan mereka mengerjakannya dengan cermat dan teliti sekali. Ketiganya terkekeh-kekeh dan saling bicara dalam bahasa Jawa. Lalu, hanya dalam waktu duapuluh menit semuanya menjadi beres…. Bayangkan, hanya butuh waktu duapuluh menit saja, pikiran Ibu tiba-tiba berubah total, kemudian dia bersikeras memutuskan untuk menceraikan Ayah.”

“Nanti dulu” saya menyela, “hanya dalam waktu duapuluh menit, apa yang kamu maksud? Maksud saya, apa yang mereka kerjakan dalam waktu duapuluh menit itu?”

“Tidak ada sama sekali!” katanya lantang. “Yang ada hanya tiga orang Kudus yang saling ketawa ngakak dan saling bisik-bisik dalam bahasa Jawa.”

“Kalau begitu, lalu apa yang membuat ibumu tega melakukan itu?”

“Nggak tahu! Dia juga akhirnya kebingungan sendiri, seperti orang linglung. Kejadian itu membuat dia begitu defensif. Konon katanya, pada saat dia memandangi laki-laki yang memakai jubah itu, tiba-tiba dia dihinggapi rasa jengkel dan muak pada Ayah. Entah kenapa? Dia merasakan muak tak ketulungan, terutama ketika memandangi laki-laki berjubah itu seperti menjelma wajah Ayah yang mau berangkat salat Jumat. Baginya, laki-laki itu betul-betul mirip dengan Ayah. Postur tubuhnya, bentuk kedua kakinya, perutnya, bahkan rambutnya yang menipis. Cara dia bersenang-senang mencoba jubah baru itu, begitu penuh gairah dan angkuh seperti bocah berusia tujuh tahun. Lalu, ketika Ibu berdiri terkesima, memandangi laki-laki itu, banyak hal-hal yang selama ini dia ragukan mengenai dirinya tiba-tiba beralih menjadi sesuatu yang jernih dan transparan. Nah, saat itulah mulai muncul rasa benci itu pada Ayah.”

Kami saling diam selama beberapa waktu. Dengan tatapan menerawang, saya pun bertanya lagi, “Djenar, dalam konteks saat ini, bagaimana perasaanmu? Apakah kamu masih membenci ibumu?”

“Nggak mungkin saya membenci dia. Memang selama ini kami kurang akrab, tapi sekarang, apa alasan saya untuk membenci dia?”

“Karena dia sudah menceritakan soal jubah itu?”

“Mungkin iya. Setelah dia menjelaskan ngalor-ngidul tumpang-tindih tak keruan, saya berhasil mengurutkan cerita yang dia sampaikan dalam bahasa Indonesia itu. Kadang saya berpikir, bahasa nasional kita masih sangat terbatas untuk menuangkan segala isi pikiran dan perasaan yang seabrek begitu banyak membuncah selama ini. Banyak hal-hal penting dalam urusan orang Indonesia yang masih sulit diungkapkan melalui media bahasa, karena kesepakatan menggunakan bahasa ini baru muncul pada tahun 1928 di kongres pemuda Indonesia lalu. Mengenai problem yang dialami keluarga kami sendiri, pada awalnya kami sulit sekali membahasakannya, tapi apakah ini memang problem kami sebagai kaum wanita yang cenderung berjiwa tertutup?”

“Ah nggak juga, saya kira perempuan dan laki-laki sama saja,” kata saya menimpali. “Memang usia bahasa Indonesia belum lagi mencapai satu abad ketimbang bahasa Inggris, Arab atau Cina, yang sudah melanglang buana selama puluhan abad lalu.”

Sesaat kemudian, istri saya muncul dari balik pintu sambil mengucap salam. Ia menenteng tas belanjaan, dan Djenar langsung menyambutnya dengan ciuman akrab kiri dan kanan. Setelah menaruh tas belanjaan di dapur, ia pun langsung nimbrung seakan sudah membaca topik obrolan kami selama satu jam lebih.

“Sedang membicarakan soal jubah, ya?” pancingnya sambil tersenyum.

“Kok tahu?” tanya saya agak heran.

Akhirnya, saya pun memutuskan untuk bertanya perihal sang ibu, dan kembali menghadap ke wajah Djenar, “Tetapi, kalau misalnya kamu mengesampingkan persoalan jubah itu dari cerita tadi. Katakanlah, ibu kamu pergi ke Kudus melakukan perjalanan selama berhari-hari dalam rangka pencarian jati-diri, lalu dia kecantol hatinya pada seorang laki-laki dan si laki-laki itu pun ternyata mencintainya. Mereka berdua lalu menginap selama beberapa hari di hotel setelah membeli baju di sebuah toko. Nah, kira-kira, apakah kamu bisa memaafkan ibumu?”

“Tentu saja tidak… tapi masalahnya, dia kecantol sama laki-laki itu gara-gara baju jubah, kan?”

“Boleh jadi,” kata saya singkat. Kami bertiga terdiam dalam waktu yang cukup lama, kemudian saling memandang satu sama lain dengan tawa terkekeh-kekeh.

Tak lama kemudian, Djenar dan istri saya pun bersiap-siap berangkat untuk bermain bulutangkis di Gedung Olah Raga (GOR) Kota Serang. Saya membayangkan keduanya saling bercakap-cakap di dalam mobil, membahas urusan-urusan perempuan dengan memakai bahasa mereka yang terbatas.

Dan saya pun merasa senang ketika teringat istri saya mengabarkan kegiatan Djenar akhir-akhir ini, yang katanya sedang menulis novel tentang perjalanan hidupnya, dan tentu akan memberi sumbangan banyak bagi khazanah literasi dan kesusastraan Indonesia. ***

Penulis: Muhamad Pauji, Cerpenis generasi milenial, pengamat sastra mutakhir Indonesia. Menulis cerpen dan esai sastra di berbagai media massa daring dan luring. E-Mail: [email protected]

Related Posts

1 of 3,057