Ekonomi

Dimana Letak Nasionalisme Regulator Untuk Flag Carrier Garuda?

Garuda Indonesia (Ilustrasi/Nusantaranews)
Garuda Indonesia (Ilustrasi/Nusantaranews)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Tanggal 9 Agustus 2016 lalu Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno Hatta resmi dibuka. Terminal 3 Ultimate memang mewah. Lalu Kemenhub (Kementerian Perhubungan) menunjuk maskapai flag carrier Garuda Indonesia untuk menempati Terminal 3 Ultimate (Terminal 3U).

Bahkan, semua pesawat dari Garuda Indonesia diharuskan untuk landing dan take off di apron (pelataran pesawat), ramp yang baru di Terminal 3U. Dalam situasi tersebut, Garuda Indonesia tidak bisa menolak, mengingat status Garuda sebagai flag carrier dari maskapai plat merah BUMN.

Namun apa lacur kemudian? Ternyata semua sewa di Terminal 3U lebih mahal 30 pct (30%) dibanding dengan Terminal Internasional 2E yang ditempati Singapore Airline, Cathay Pacific dan Air China (lihat table ).

Baca Juga: Presiden Jokowi Harus Berani Selamatkan Garuda Indonesia Dari Kebangkrutan

Tahun berjalan pada awalnya seperti tidak ada masalah. Namun tahun 2017 ternyata kinerja keuangan Garuda tidak impressive. Tercatat tahun 2017, Garuda merrugi di atas 2,7 triliun.

Mulailah kemudian team direksi Garuda Indonesia yang baru melakukan pemetaan cost consciousness. Meliputi pos mana saja yang bisa dihemat. Kemudian di-renege (diputuskan), salah satunya pos yang memakan biaya banyak adalah sewa pesawat serta sewa 2 (dua) space di Terminal 3U yang ternyata Garuda Indonesia sama sekali tidak mendapat incentive diskon.

Bahkan, tarifnya pun jauh jika dibandingkan dengan Terminal 2E. Yang nota bene digunakan oleh 3 maskapai kaya. Yakni, Singapore Airline (Star Alliance Member), Cathay Pacific (One World Alliance) dan Air China Taiwan. Ketiga tiganya bermarkas disana dengan sewa passenger charges dan aircraft charges, rata rata 30% lebih murah dari maskapai BUMN Indonesia Garuda.

Baca Juga:  Pengangguran Terbuka di Sumenep Merosot, Kepemimpinan Bupati Fauzi Wongsojudo Berbuah Sukses
Perbedaan Tarif Terminal Internasional (Foto Dok. Nusantaranews)
Perbedaan Tarif Terminal Internasional (Foto Dok. Nusantaranews)

Kebijakan Yang Menyusahkan Garuda

Kita tahu bahwa Garuda Indonesia menempati Terminal 3U adalah penunjukkan dari regulator sebagai trial error pada awalnya. Posisi Garuda sulit sebagai maskapai BUMN harus tunduk pada kebijakan regulator semacam di-difait accompli oleh regulator.

Namun yang amat menyesakkan ternyata dalam perjalanan waktu, sebagi pioneer pengguna Terminal 3U maskapai Garuda Indonesia malah dikenakan tarif untuk penumpang dan operasi pesawat sangat mahal. Sementara sampai saat ini untuk tarif Terminal 2E sendiri rata rata hanya 30%. Artinya jauh lebih murah dibanding Terminal 3U.

Sebuah policy dari regulator yang perlu dipertanyakan dan dikoreksi, mengingat maskapai sekelas Emirates dan Etihad saja masih disubsidi oleh kebijakan Sultan UAE.

Kondisi tidak fair ini bila tidak dikoreksi sangat mengganggu kinerja Garuda Indonesia di masa depan. Mengingat maskapai pelat merah ini sedang mencari revenue untuk melakukan turning point menuju kinerja keuangan yang positif di tahun 2019.

Sudah selayaknya otban (otoritas bandar udara) dan regulator mensuppot maskapai BUMN Garuda Indonesia. Berupa insentif-2 sewa di airport.

Jika tidak, dimana letak nasionalisme kita bila semua policy masih membelenggu maskapai BUMN itu sendiri? Satu lagi para regulator, bahwa keputusan kenaikkan tarif batas bawah 35% saja juga belum ada SK dari Permenhub. Ini menunjukkan atmosfir yang kurang kondusif untuk kemajuan maskapai Indonesia sebagai flag carrier nasional.

Baca Juga:  Bangun Tol Kediri-Tulungagung, Inilah Cara Pemerintah Sokong Ekonomi Jawa Timur

Mestinya, kita harus malu dengan policy regulator dengan memberikan traffic right kepada Emirates, Etihad dan Qatar. Dimana ketiga maskapai tersebut bisa terbang ke Dubai dan Doha sehari 3 kali dengan pesawat wide body Boeing B777. Kita semua juga mafhum, bahwa semua penumpang Emirates, Qatar, Etihad dan Turkish Air rata rata adalah jamaah umroh Indonesia, bukan inbound turis yang masuk dibawa 4 maskapai itu.

Ini menunjukan bagaimana kerugian dalam bentuk pemberian traffic rights yang tidak berimbang. Tidak menganut asas reciprocal, kesetaraan frekuensi dengan maskapai Indonesia.

Perbedaan Tarif Terminal Domestik (Foto Dok. Nusantaranews)
Perbedaan Tarif Terminal Domestik (Foto Dok. Nusantaranews)

Sultan UAE Subsidi Maskapai Emirates

Maskapai Emirates pernah menghadapi tudingan dari maskapai-maskapai USA. Dimana maskapai USA mengaku keberatan dengan bentuk subsidi yang dikeluarkan oleh Kesultanan UAE. Jok O’Connoer, PHD saat isi kuliah tamu IATA , Air Transport Association tahun 2010 di Jakarta membenarkan perihal subsidi Sultan UAE terhadap Maskapai Emirates, Etihad di Dubai. Subsidi itu untuk insentif harga sewa airports serta harga avtur. Mestinya kebijakan serupa ini bisa diterapkan pemerintah Indonesia untuk Garuda Indonesia sebagai satu satunya flag carrier nasional.

Kita tahu bahwa setelah Merpati Airline tutup pada tahun 2014, Indonesia hanya memiliki satu flag carrier yakni Garuda Indonesia. Garuda Indonesia saat ini masih bertahan sebagai kebanggaan rakyat Indonesia. Yang bisa mengangkasa ke Eropa, Jepang dan Australia.

Baca Juga:  Ramadan, Pemerintah Harus Jamin Ketersediaan Bahan Pokok di Jawa Timur

Mengenai kebijakan tersebut, siapa lagi kalau bukan pemerintah yang bisa memberikan previlages (insentif-2)? Tentunya melalui Otban (Otoritas Bandara Internasional) yang jumlahnya tidak banyak di Indonesia.

Baca Juga: Garuda Indonesia Raih Penghargaan The World’s Best Cabin Crew Skytrax untuk Kelima Kalinya

Untuk itu beberapa solusi yang bisa dilakukan antara regulator, otban dan Garuda Indonesia. Tarif Landing Fee (naik 18%-38%), Parking Fee (naik 10%) dan Parking Surcharge (naik 21%). Perlu dilakukan evaluasi mengingat GA belum pernah diajak diskusi perihal ini.

Passenger Charges, aircraft, dan revenue sharing cargo (internasional & domestik) saat ini dikenakan revenue sharing atas cargo handling di Gudang Garuda Indonesia dan Citilink hingga 20%.

Perlu dilakukan evaluasi kembali, mengingat kegiatan operasional di gudang bukan merupakan profit center dari Garuda Indonesia dan Citilink. Mengingat kontribusi kargo masih di bawah 10% dari total revenue.

Semoga dengan keadaan faktual tersebut di atas oleh regulator bisa membangkitkan semangat nasionalisme untuk flag carrier yang sudah mengawal udara Indonesia selama 69 tahun dan diresmikan oleh Presiden RI Sukarno. Malu kita bila tidak bisa membantu maskapai legacy republik ini.

*Arista Atmadjati, SE.MM penulis adalah Praktisi Penerbangan Nasional, Analis Penerbangan RI dan Anggota Asosiasi Profesional Pariwisata Indonesia ASPPI, DPC Jakarta Barat Mengajar Mata kuliah Aviasi di beberapa Universitas, CEO Aiac aviation.

Related Posts

1 of 3,052