Budaya / SeniPolitikRubrika

Dickens, Kritikus Sosial Keagamaan dan Rahasia yang Terungkap

Charles Dickens Muda. (FOTO: The Boston Globe)
Charles Dickens Muda. (FOTO: The Boston Globe)

NUSANTARANEWS.CO – Beberapa novel Charles Dickens secara terang-terangan mencerca orang Kristen. Kekecewaan ini lahir dari pengalaman kecilnya waktu mengalami khotbah membosankan pendeta Baptis William Giles. Dengan merefleksi pengalaman pengalaman hidup yang tidak menyenangkan terhadap agama formal ini, Dickens menjadi tidak suka pada gereja. G. K. Chesterton.

Menurut Stephen Rost dalam tulisannya “The Faith Behind the Famous: Charles Dickens” yang dimuat Christianity Today, penghinaan Dickens tidak dapat dianggap sebagai permusuhan dengan Yesus Kristus. Sebab, ia juga menulis kisah yang hormat mengenai kehidupan Yesus. Dickens semasa hidup idendetik dengan sosok pembela kaum miskin dan tertindas, serta kritikus aristokrat dan elitisme High-Church.

Misalnya, kata Stephen, tahun 1834, saat Sir Andrew Agnew berusaha mengesahkan RUU yang melarang rekreasi dan bekerja pada hari Minggu, Dickens marah. Sebab, itu menggambarkan sisi fanatik agama yang semakin ia benci. Dickens pun menyerang RUU dengan pamflet “Sunday Under Three Heads: As it is; As Sabbath Bills would make it; As it might be made.”

Baca Juga:  Masyarakat Rame-Rame Coblos di TPS, Jatim Bisa Lumbung Suara Prabowo-Gibran

“Dickens kemudian terlibat dengan sebuah sistem yang menarik banyak rekan intelektual: Unitarianisme. Ini memungkinkan dia untuk hidup tanpa kepercayaan dogmatis agama Kristen historis, tetapi menegaskan keberadaan kemanusiaan dan ilahi Tuhan dan misi Yesus Kristus. Dan Unitarianisme mempromosikan kesadaran sosial. Tahun 1847, ia menghadiri gereja Anglikan di dekat rumahnya,” tulis Stephen.

Dickens, kata Stephen, menyampaikan keprihatinan sosialnya ke sejumlah besar orang melalui novelnya. Dia membuatnya sebagai sebuah poin untuk mengekspos ketidakadilan. Dickens tidak simpatik terhadap Katolik dan membenci fanatisme. Pada tahun 1841 ia menulis Barnaby Rudge, yang mengekspos kebodohan masa anti-Katolik dan mereka yang mendukungnya. Meskipun Dickens membenci agama yang ada, ia mempertahankan kepekaan terhadap prinsip-prinsip sosial Kristen seperti tertulis dalam “A Christmas Carol.”

Pada tahun 1849, tutur Stephen, Dickens menulis naskah penting yang tidak dicetak sampai tahun 1934. Karya ini sangat pribadi baginya sehingga dia meminta agar itu tidak dibuka ke publik selama 85 tahun. Karya itu menceritakan kembali mengenai kisah-kisah Injil, berjudul The Life of Our Lord.

Marie Dickens, lanjutnya, putri menantu Charles Dickens, memberikan deskripsi yang tepat untuk karya rahasia Dickens ini: “Buku ini, karya terakhir Charles Dickens yang diterbitkan, memiliki kepentingan individu dan tujuan yang terpisah sepenuhnya dari segala sesuatu yang ditulis oleh Dickens. Terlepas dari tema Ilahinya, naskah ini secara khusus bersifat pribadi bagi novelis, dan tidak begitu banyak penyataan dari pikirannya sebagai penghormatan untuk hatinya dan kemanusiaannya, dan juga, pengabdiannya yang mendalam kepada Tuhan kita.”

Baca Juga:  Gus Imin Maju Pilpres, PKB Jawa Timur Juara Pileg 2024

Dickens menulis “The Life Our Lord” supaya anak-anaknya menjadi akrab dengan Yesus Kristus, dan ia sering membacakan cerita untuk mereka. Ketika anak-anaknya meninggalkan rumah, ia memberi mereka masing-masing Perjanjian Baru (meskipun tidak seluruh Alkitab).

“Dia menghormati pendiri agama Kristen, Yesus Kristus, yang mempraktikkan apa yang begitu ingin Dickens temukan dalam kemanusiaan. Yesus mengasihi semua orang. Dia ada bersama dengan orang-orang yang dibuang secara sosial, menegur elitis kaya, dan sangat mengutuk kemunafikan,” terang Stephen.

Dickens menghormati Alkitab dan Kristus dan berusaha menanamkan pada anak-anaknya penghormatan yang sama. Menjelang akhir hidupnya ia menulis: “Saya selalu berupaya dalam tulisan-tulisan saya untuk mengekspresikan penghormatan untuk kehidupan dan pelajaran dari Juru Selamat kami; karena saya merasakan itu; dan saat saya menulis ulang sejarah untuk anak-anak saya— masing-masing dari mereka mengetahuinya karena diulang-ulang kepada mereka —lama sebelum mereka bisa membaca, dan segera setelah mereka bisa berbicara. Tapi saya tidak pernah membuatnya diketahui oleh publik.”

Baca Juga:  DPC Projo Muda Nunukan Nyatakan Komitmennya Pada Gerilya Politik Untuk Menangkan Prabowo-Gibran Satu Putaran

Dalam surat wasiatnya yang terakhir, ditulis pada tanggal 12 Mei, tahun 1869, Dickens menulis, “Saya menyerahkan jiwa saya kepada belas kasihan Allah melalui Tuhan dan Juru Selamat kita Yesus Kristus, dan saya menasihati anak-anak saya yang terkasih untuk dengan rendah hati berusaha membimbing diri mereka sendiri dengan ajaran Perjanjian Baru dalam keleluasaan kualitasnya, dan agar tidak menempatkan iman dalam konstruksi sempit siapapun juga dari surat sini atau di sana.”

Penulis: Roby Nirarta

Editor: M. Yahya Suprabana

Related Posts

1 of 3,140