Mancanegara

Fenomena Diplomasi Perang AS Yang Begitu Mengglobal

Fenomena Diplomasi Perang AS
Fenomena Diplomasi Perang AS/Foto:Ist

NUSANTARANEWS.CO – Fenomena diplomasi perang Amerika Serikat (AS) yang begitu mengglobal merupakan sebuah fenomena yang menarik. Mengapa fenomena perang dan militerisme AS dewasa ini begitu mengglobal? Sehingga negara seperti Iran, dan banyak negara lain akhirnya terpaksa mengalihkan sumber keuangan mereka yang berharga dari pengeluaran sosial ke militer dalam mengahadapi agresi imperialis yang begitu kuat. Fenomena apakah ini?

Serbuan agresi imperialis yang konstan ini, telah mendorong belanja pertahanan dan militer negara-negara sasaran terus meningkat. Sehingga tercipta globalisasi militerisme yang sangat cocok dengan kepentingan bisnis military–industrial complex (MIC) dan konglomerasi keuangan raksasa.

Kepentingan bisnis MIC ini sangat tergantung pada penemuan atau penciptaan musuh yang berujung pada peningkatan anggaran Pentagon serta penjualan senjata, baik pemenuhan kebutuhan domestik maupun negara lain.

Bila membaca diplomasi perang AS terhadap Iran, dalam konteks bisnis MIC, jelas terlihat sebagai strategi bisnis imperialistik. Inti dari strategi ini adalah mengontrol urusan sosial, ekonomi dan militer bangsa di dunia. Sehingga implikasi praktis dari strategi ini adalah bahwa AS tidak dapat menyetujui struktur sosial-ekonomi yang berbeda dengan model kapitalismenya. Struktur yang tidak diinginkan ini bukan hanya mencakup ekonomi non-kapitalis seperti Soviet, tetapi juga model ekonomi apa pun termasuk ekonomi Sosial-Demokrat di Eropa, yang meliputi program jaring pengaman sosial.

Baca Juga:  Belgia: Inisiatif Otonomi di Sahara Maroko adalah Pondasi Terbaik untuk Solusi bagi Semua Pihak

Mendiang Presiden AS Harry Truman, mengatakan bahwa kebijakan sosial ekonomi apa pun yang memihak rakyat adalah resimentasi –  ekonomi yang diatur adalah musuh dari perdagangan bebas. Truman mendesak agar seluruh dunia mengadopsi sistem Amerika. Sistem perusahaan bebas, hanya bisa bertahan jika itu menjadi sistem dunia, kata Truman.

Tidak mengherankan bila AS selalu menghancurkan sistem sosialis seperti yang diterapkan oleh Muammar Qaddafi di Libya, atau menghantam kebijakan negara-negara seperti Kuba dan Venezuela. Hal ini cukup menjelaskan semua, meski tidak komprehensif. Penguasa kapitalis AS memandang kebijakan ekonomi yang manusiawi dan berpusat pada orang seperti itu bertentangan dengan kebijakan neoliberal yang berorientasi pada keuntungan.

Tidak mengherankan bila pada hari ini, di mana belum pernah terjadi sebelumnya – pangkalan militer AS di seluruh dunia meningkat jumlahnya mencapai hampir 1000-an. Inilah sebabnya mengapa dapat dikatakan bahwa perang kini telah menjadi urat nadi kehidupan AS di abad ke-21.

Baca Juga:  Rezim Kiev Wajibkan Tentara Terus Berperang

Dengan kata lain, perang kini telah menjadi komoditas bisnis terbesar AS. Sehingga menemukan musuh dan menciptakan musuh adalah proyek yang sangat penting bagi kelangsungan kehidupan MIC.

Sejak bubarnya Uni Soviet, para penerima manfaat dividen perang harus menemukan ancaman terhadap kepentingan nasional AS atau kepentingan sekutu-sekutunya untuk mengekstraksi sumber daya keuangan negara-negara yang terancam atau dipaksa untuk membeli persenjataan AS. Maka, tidak mengherankan setelah hilangnya Soviet ditumbuhkanlah semacam musuh sebagai pengganti ancaman komunis di Era Perang Dingin (Cold War). Al-Qaeda, Taliban, ISIS dan banyak lagi, diproduksi sebagai komoditas perang dalam skala global.

Semua fakta ini telah diperingatkan oleh Presiden Dwight Eisenhower bahwa MIC dapat menyebabkan pengeluaran militer bukan didorong oleh kebutuhan keamanan nasional tetapi lebih kepada jaringan pembuat senjata, pelobi dan pejabat terpilih.

Pengeluaran militer pada akhirnya merupakan perampokan terselubung terhadap pengeluaran sosial. Presiden Eisenhower mengatakan setiap senjata yang dibuat, setiap kapal perang diluncurkan, setiap roket yang ditembakkan merupakan pencurian dari mereka yang lapar dan yang kedinginan karena tidak berpakaian.

Baca Juga:  Apakah Orban Benar tentang Kegagalan UE yang Tiada Henti?

Dari sisi ini, kemenangan di medan perang atau kekalahan dari petualangan militer AS di sana-sini hanyalah tujuan sekunder untuk meningkatkan anggaran perang. Berlarutnya perang dan ketegangan internasional, barulah itu kemenangan sesungguhnya bagi MIC.

Sebagai contoh: bila operasi militer AS di Suriah gagal dan tidak berhasil menggulingkan Presiden Bashar al-Assad, demikian pula bila misi di Afghanistan pun gagal mengusir Taliban – tetapi bagi para penerima manfaat dividen perang, operasi militer yang kurang berhasil seperti itu tidak selalu berarti kekalahan atau kegagalan.

Perang yang berkelanjutan dan turbulensi geopolitik di berbagai kawasan justru membawa keuntungan ekonomi bagi para konstraktor militer. Oleh karena itu, bagi para pengusaha dan penerima manfaat sama saja dengan dengan keberhasilan dari sudut pandang bisnis. Tentu saja, penilaian ini tidak berlaku bagi para profesional militer, terutama personil berpangkat rendah yang hanya berfungsi sebagai umpan peluru bagi kepentingan keji para penerima manfaat dividen perang. Hal ini menjelaskan mengapa mereka yang mendapat manfaat dari perang dan militerisme lebih suka perang daripada perdamaian. (Agus Setiawan)

Related Posts

1 of 3,075