OpiniRubrika

Diam–diam BBM Naik, Terang–terang Harga Rezim Turun

Ilustrasi pertugas sedang mengisi BBM di salah satu SPBU/Foto istimewa
Ilustrasi pertugas sedang mengisi BBM di salah satu SPBU/Foto istimewa

NUSANTARANEWS.CO – Masyarakat Indonesia harus mulai membiasakan diri dengan harga BBM baru. Pasalnya, terhitung sejak 1 Juli 2018 Pertamina menaikkan harga bahan bakar minyak non subsidi. Harga Pertamax naik Rp 600 menjadi Rp 9.500 per liter. Kemudian harga Pertamax Turbo naik Rp 600 menjadi Rp 10.700 per liter. Sedangkan harga Pertamina Dex naik Rp 500 menjadi Rp 10.500 per liter dan harga Dexlite naik Rp 900 menjadi Rp 9.000 per liter.

Kenaikan harga BBM milik Pertamina mengikuti harga operator BBM asing yang sudah lebih dulu menaikkan harga. Kenaikan harga BBM ini tentu memberatkan masyarakat. Sebab, kenaikannya akan mempengaruhi sebagian besar harga kebutuhan pokok dan sektor lainnya. Alasan yang dikemukakan seringkali karena kenaikan harga minyak dunia. Di era SBY kenaikan harga BBM juga terjadi dengan alasan yang sama.

Dulu kita ‘dipaksa’ beralih ke pertalite karena subsidi premium dicabut dan ketersediaannya semakin langka, akankah pertalite juga mengalami kenaikan serupa pasca kenaikan BBM non subsidi?  Pemerintah seolah tak terbebani dengan kebijakan ini. Bahkan Rini Soemarno Menteri BUMN mengatakan menaikkan Pertamax tidaklah menjadi masalah besar.

Baca Juga:  Pemkab Nunukan Tandatangani MoU Dengan BP POM Tarakan

Sebab, pengguna Pertamax yang notabene kendaraan-kendaraan mewah cukup mampu dengan harga tersebut. Apa yang diungkapkan oleh pengamat ekonomi politik, Ichsanuddin Noorsy pada tahun 2015 silam sepertinya masih relevan dengan kondisi saat ini. Ia mengatakan bahwa fundamental ekonomi Indonesia bergantung pada tiga indikator.

Pertama, pada sektor keuangan tampak pada nilai tukar Indonesia berada di level Rp 14.380. Kondisi ini membuktikan fundamental eknomi Indonesia rapuh.

Kedua, perekonomian yang buruk. Kebijakan neoliberal dan sarat kepentingan kapital membuat ekonomi Indonesia terpuruk, sekalipun rezim Jokowi mengklaim bahwa ekonomi kita mengalami pertumbuhan. Faktanya, masih banyak rakyat yang hidup tidak sejahtera di bawah komando sistem kapitalisme.

Ketiga, faktor inflasi. Indonesia di masa Jokowi kerap kali melakukan impor bahan pangan dan gas alam semisal beras, garam, gas yang sejatinya memenuhi hajat hidup orang banyak. Kebijakan impor ini tentu berdampak pada meningkatnya biaya impor Indonesia. Inilah bukti bahwa kapitalisme telah gagal mengelola ekonomi Indonesia dan dunia.

Baca Juga:  Baksos 'Tarhib Ramadhan': Polda Jawa Timur dan LSM Gapura Bagi-bagi 500 Paket Sembako

Kebijakan kenaikan BBM ini semakin menambah daftar panjang gagalnya rezim Jokowi mengatasi problematika Indonesia. Harga rezim pun semakin turun. Banyak rapor merah yang diberikan pada pemerintahan Jokowi. PDIP – sebagai partai penguasa – dulu begitu getol menolak kenaikan BBM di era SBY. Kebijakan ini seperti menelan ludah mereka sendiri. Saat berkuasa menjadi lupa dengan sikap politiknya sebagai partai wong cilik.

Begitulah demokrasi memainkan laganya. Dari oposisi menjadi penguasa. Dari kritis menjadi anti-kritik. Hal ini menyiratkan kepada kita bahwa pemimpin yang baik itu tak cukup, butuh sistem yang baik. Maka, harusnya gerakan #2019GantiPresiden diubah dengan #2019GantiSemua.

Penulis: Chusnatul Jannah, Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Related Posts

1 of 3,053