Puisi

Di Masjid Istiqlal – Puisi HM. Nasruddin Anshoriy Ch

Di Masjid Istiqlal ada pesta semerbak bunga, saat iman menggumpal dalam sebutir debu di dada lalu menjelma kristal permata bertabur kilau cahaya.

Istiqlal adalah takdir sejarah yang mengucap sumpah, bahwa kemerdekaan tanpa peradaban hanya akan menjadi gelembun sabun yang akan pecah kapan saja, dan iman tanpa kebudayaan akan menjadi taji yang akan melukai indahnya toleransi.

Bung Karno pernah bermimpi di Masjid Istiqlal, tentang poros Jakarta untuk merajut Nusantara. Sebuah mimpi perihal sepotong surga di negeri damai bernama Indonesia.

Di Istiqlal, iman dan Islam bertemu menjadi mata air peradaban. Air mengalir menjeritkan takbir, saat ribuan manusia membasuh wajahnya untuk berwudlu, mensucikan diri dari segala nafsu dan api amarah yang selalu menjerumuskan diri sendiri agar mulut dan otot selalu beradu untuk berdusta, membenci dan menipu.

Kupetik kelopak bunga-bunga hikmah di sini, saat jutaan saudaraku mengucapkan gemuruh tahmid di dada rindu. Kuuntai kilau cahaya dalam jutaan butir takbir hingga mihrab di langit turut memantulkan terang-benderang alam semesta turut berdzikir.

Seakan mimpi tapi nyata, saat berjuta umat manusia berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan kiblat yang sama. Menyemut, beringsut, merayap, memadat hanya untuk menyembah pada Allah Yang Maha Esa.

Di masjid Istiqlal aku bertemu Nabi Musa, lelaki perkasa yang diutus Allah untuk membebaskan Bani Israel hingga harus membelah samudera.

Berbekal kitab Taurat, Nabi Musa menyapa seluruh umatnya dengan bahasa hukum yang seadil-adilnya. Hukum menjadi panglima. Setelah turun dari iktikaf di bukit Tursina, Nabi Musa sudah tak butuh mukjizat tongkat, sebab Kitab Taurat adalah hukum yang sesungguhnya.

Tajam ke atas, tajam ke bawah, tebang siapa saja yang telah berlaku salah dan bertindak dosa.

Di masjid Istiqlal, kudengar suara Nabi Musa bergema, bahwa kitab Taurat hanyalah untuk Bani Israel saja, dan bukan untuk seluruh umat manusia. Sebab di atas hukum masih ada hukum, dan hakim paling adil hanyalah Allah Yang Maha Bijaksana.

Karena itulah Allah menghadirkan Nabi Khidzir dalam babak terakhir kehidupan Nabi Musa, bahwa akal sehat dan keadilan hukum bukanlah tujuan utama, sebab hati nurani dan memberi maaf adalah ilmu dan perilaku yang lebih paripurna.

Di masjid Istiqlal jutaan manusia mengucap takbir lalu bersujud, sebab syahadat sejati adalah meniadakan diri sendiri agar hanya Allah yang bersemayam di dalam hati. Bukan aku yang besar, tapi Allah Yang Maha Akbar.

Seperti mimpi tapi nyata, seakan benci tapi cinta. Allahu Akbar!

Di masjid Istiqlal aku bertemu Nabi Daud yang mengajarkan indahnya kehidupan. Dalam kitab Zabur itu Allah berfirman dengan tutur kata surga, lebih pujangga dari pujangga, sebab indahnya kata adalah watak penghuni surga.

Nabi Daud tak mengajarkan caci-maki, sebab kitab Zabur bukanlah mantra berjelaga atau fatwa penuh lumpur atau ilusi para politisi.

Di masjid Istiqlal kutemukan kilau cahaya, bahwa kemuliaan manusia adalah merawat kata agar manusia lain tidak terluka.

Dalam gelombang istighfar jutaan manusia di masjid Istiqlal, sayup-sayup kudengar suara Bilal bin Rabbah mengumandangkan adzan subuh. Itulah kenapa Ibu Pertiwi seakan bergemuruh.

Ya Allah, betapa rapuh diri ini. Lebih debu dari sebutir debu. Lebih jelaga dari jelaga. Sebab yang kumiliki sejatinya hanya rindu. Rindu ampunanMu. Rindu kasih-sayangMu. Rindu sejati kepadaMu.

Setelah takbir, seusai syahadat, maka menegakkan sholat adalah janji setiaku. Sebab kemenangan sejati bukanlah mengalahkan siapa saja, tapi mempertemukan kening dan sajadah di relung jiwa.

Di masjid Istiqlal aku bertemu Nabi Isa, dengan sisa-sisa luka di seluruh tubuhnya.

Dengan kitab Injilnya Nabi Isa menyapa umatnya. Bukan pedang atau tombak yang menjadikan manusia menjadi perkasa, tapi kasih sayang tiada tara yang membuat manusia bernama manusia.

Nabi Isa diutus Allah dengan bahasa kasih, bukan ucapan kebencian atau suara penuh amarah yang membuat hati menjadi perih.

Di masjid Istiqlal kutemukan imanku, juga akal-sehat dan kearifan perilaku.

Itulah kenapa Nabi Muhammad diutus sebagai Nabi Pamungkas, sebab dunia seisinya tak perlu ada jika Nabi Muhammad tiada.

Di masjid Istiqlal kucium tangan Baginda Nabi Muhammad yang lembut dan keharumannya tiada terkata. Kemuliaan akhlaknya penuh pesona, budi pekerti dan kejujurannya tak mampu ditandingi oleh manusia dan makhluk lain seisi alam raya.

Nabi Muhammad adalah nabi akhir zaman, sekaligus imam para Nabi dan Rasul sebelumnya. Nabi panutan, Nabi teladan, Nabi yang kelembutan tutur-kata dan budi pekertinya tiada tandingan. Dialah mutiara dan zamrud kehidupan. Dialah permata dan kilau cahaya tak terpadamkan. Sholawat dan salam selalu untukmu wahai Sang Nabi Junjungan.

Kitab Al-Qur’an yang diterimanya adalah petunjuk terakhir dan jalan cinta menuju kebenaran. Al-Qur’an adalah cahaya di atas cahaya. Indah, megah, mukjizat cerdas penuh pesona.

Seisi dunia tanpa makna jika Al-Qur’an tak hadir di sana, dan dengan dalih apa pun tak ada yang bisa membuat Al-Qur’an menjadi nista, bahkan segala fitnah dan tipu-daya tak sanggup membuat Al-Qur’an menjadi redup kilau cahayanya.

Al-Qur’an adalah mata air peradaban, petunjuk bagi manusia yang beriman dan bukan propaganda para politisi yang syahwatnya hanyalah kekuasaan.

Al-Qur’an adalah firman Allah yang tak ada keraguan atas kebenaran dan kesempurnaannya. Mukjizat ilmu dan pemikiran, mukjizat cinta dan kebenaran, mukjizat segala cahaya yang akan menjadi penerang seisi alam semesta.

Tak ada yang sanggup memasuki indahnya istana cahaya di dalam Al-Qur’an, kecuali orang-orang yang berjiwa rendah hati dan selalu menyucikan jiwanya  dari dusta, sikap sombong, nafsu serakah dan tipu-daya pada Tuhan, pada alam semesta dan sesama manusia.

Di masjid Istiqlal kutemukan cermin raksasa yang memantulkan jutaan wajah dan topeng bangsaku sendiri.

Wajah-wajah penuh luka dan tak berdaya yang ingin menyempurnakan sujud dan takdirnya, sebab kemiskinan dan rasa rendah diri telah begitu lama mengepungnya. Kezaliman para penguasa telah menindasnya. Kelicikan para probokator telah menyesatkan langkahnya.

Lindungi kami Wahai Sang Maha Pelindung hati yang bingung dan obati kami dari segala luka Wahai Sang Penyembuh segala duka lara.

Antara gelombang adzan dan deburan iqomah, masjid Istiqlal seakan kembali mengikrarkan Proklamasi, sebab kemerdekaan telah lama diselewengkan oleh kekuasaan yang semena-mena, sebab kapitalisme telah melecehkan makna agama. Kapitalisme adalah tipu-daya agar kita selalu terlena dan menjadikan jabatan dan benda-benda sebagai berhala.

Di masjid Istiqlal aku menyaksikan mihrab cahaya, saat dzikir Pancasila bergemuruh hingga di relung dada. Betapa megah Ketuhanan Yang Maha Esa, saat Proklamasi Tauhid menggelora dalam tindakan nyata.

Takbir tak hanya di bibir dan menuding orang lain sebagai kafir, tapi mawas diri dalam tindakan nyata agar hidup tidak jumawa.

Aku menyaksikan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab di sini, saat jutaan manusia berkumpul tanpa saling mencaci atau mencela, tak hendak membenci atau membuat sesama manusia terluka.

Di masjid Istiqlal hanya ada Persatuan Indonesia, dan bukan persatean dan menikam jantung sesama.

Bersatu dalam berbangsa untuk mengagungkan Allah Yang Maha Segala.

Di masjid Istiqlal, alangkah indahnya Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijakan dalam Permusyawaratan Perwakilan, sebab dari takbir hingga salam semuanya membuahkan ikhlas dan tanpa pura-pura.

411 adalah Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, sebab di masjid Istiqlal semua berbagi dan tanpa ada kata dusta.

Kenapa masjid Istiqlal dinamakan Istiqlal? Sebab makna Istiqlal adalah kemerdekaan, dan jiwa sejati sang manusia adalah merdeka dari segala gelap-gulita.

 

Gus Nas
Gus Nas

*HM. Nasruddin Anshoriy Ch atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, HB. Jassin, Mochtar Lubis, WS. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dll.

Tahun 1987 menjadi Pembicara di Forum Puisi Indonesia di TIM dan Pembicara di Third’s South East Asian Writers Conference di National University of Singapore. Tahun 1991 puisinya berjudul Midnight Man terpilih sebagai puisi terbaik dalam New Voice of Asia dan dimuat di Majalah Solidarity, Philippines. Tahun 1995 meraih penghargaan sebagai penulis puisi terbaik versi pemirsa dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh ANTV dan Harian Republika.

Menulis sejumlah buku, antara lain berjudul Berjuang Dari Pinggir (LP3ES Jakarta), Kearifan Lingkungan Budaya Jawa (Obor Indonesia), Strategi Kebudayaan (Unibraw Press Malang), Bangsa Gagal (LKiS). Pernah menjadi peneliti sosial-budaya di LP3ES, P3M, dan peneliti lepas di LIPI. Menjadi konsultan manajemen. Menjadi Produser sejumlah film bersama Deddy Mizwar.

Sejak tahun 2004 memilih tinggal di puncak gunung yang dikepung oleh hutan jati di kawasan Pegunungan Sewu di Selatan makam Raja-Raja Jawa di Imogiri sebagai Pengasuh Pesan Trend Budaya Ilmu Giri. Tahun 2008 menggagas dan mendeklarasikan berdirinya Desa Kebangsaan di kawasan Pegunungan Sewu bersama sejumlah tokoh nasional. Tahun 2013 menjadi Pembicara Kunci pada World Culture Forum yang diselenggarakan Kemendikbud dan UNESCO di Bali.

Related Posts

1 of 125