Berita UtamaHeadlineHot TopicTerbaru

Di Hari Lahir Pancasila, Indonesia Harus Ingat Sosok Perancang Lambang Garuda Pancasila

The winner of Republik Indonesia Serikat (United States of Indonesia) Coat of Arms, 1950. Designed by Sultan Hamid II of Pontianak.

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila yang ditetapkan pemerintah pada 1 Juni, tidak afdal rasanya bila tak mengulas kembali siapa sosok perancang lambang negara yakni Garuda Pancasila. Lambang Garuda Pancasila yang kita lihat dan kenal sekarang merupakan buah karya founding fathers Indonesia asal Kalimantan Barat. Lantas siapa yang menciptakan gambar burung garuda sebagai lambang Negara Republik Indonesia Serikat, yang hingga hari ini lambang tersebut digunakan oleh Indonesia dalam bentuk lain, yakni Negara Kesatuan Repubik Indonesia (NKRI)?

Dia adalah Sultan Hamid II, seorang founding fathers dari Kalimantan Barat. Tanggal 15 Februari adalah hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Sebab, pada tahun 1950 tahun silam, tepat pada 15 Februari Presiden RI pertama Soekarno memperkenalkan lambang negara yakni Garuda Pancasila. Presiden Soekarno memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara karya Sultan Hamid II itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.

Peranan Sultan Hamid II dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, tidak mungkin dihapus dari sejarah. Ia adalah seorang founding fathers dari Kalimantan Barat yang berperan penting dalam menentukan perjuangan kemerdekaan Indonesia dan Pemersatu Bangsa Indonesia bersama Tan Malaka, Soekarno, Mohammad Hatta, Ide Anak Agung Gde Agung, Mohammad Yamin, Sutan Sjahrir, Mohammad Natsir, Tengku Mansoer, dan tokoh lainnya.

Sultan Hamid II dinobatkan menjadi Sultan Ke-7 Kesultanan Pontianak pada 29 Oktober 1945. Dari pernikahan dengan Didie Al-Qadrie, Sultan Hamid II memiliki dua orang anak. Seorang anak wanita bernama Syarifah Zahra Al-Qadrie dan seorang anak laki-laki bernama Syarif Yusuf Al-Qadrie.

Sultan Hamid II lahir di Pontianak, 12 Juli 1913 M, bertepatan dengan 7 Sya’ban 1331 H. Ayahnya bernama Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie Sultan Ke-6 dan Ibunya Syecha Jamilah Syarwani. Sultan Hamid mulai belajar dari Sekolah Rendah Pertama di Europeesche Lagere School (ELS) di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. Setelah tamat sekolah, pada 1932 dia melanjutkan pendidikannya pada tingkat Perguruan Tinggi di Technische Hooge School (THS), sekarang mejadi Institut Teknologi Bandung (ITB). Karena lebih tertarik pada dunia militer, Sultan Hamid kemudian masuk ke Akademi Militer di Belanda. Pada 1933, dan Sultan Hamid II berhasil lulus dari Koninklijke Militaire Academie (KMA) di Breda, Belanda, yang di tempuh sejak 1933 sampai 1938.

Baca Juga:  Hut Ke 78, TNI AU Gelar Baksos dan Donor Darah

Pada 1938, Sultan Hamid II dilantik sebagai Perwira pada Koninklijke Nederlandsche Indische Leger (KNIL) atau dapat disebut Kesatuan Tentara Hindia Belanda, dengan pangkat Letnan Dua. Dalam karir Militer, Sultan Hamid II ditugaskan di Malang, Bandung, Balikpapan, dan beberapa tempat lainnya. Dia sempat pula berperang melawan tentara Jepang di Balikpapan pada 1941. Kemudian pada 1942 hingga 1945, Sultan Hamid II sebagai Perwira KNIL ditangkap dan menjadi tawanan Jepang. Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia Kedua, Sultan Hamid II yang merupakan seorang Perwira KNIL mendapat kenaikan pangkat menjadi Mayor Jenderal dalam Angkatan Darat Belanda di usia 33 tahun pada 1946. Sebagai informasi, itu adalah pangkat tertinggi dalam karir militer seorang putera bangsa Indonesia yang lulusan akademi militer pada waktu itu.

Gedung Parlemen Belanda, Den Haag, 23 Agustus 1949. Suara bergemuruh terdengar mengiringi acara seremonial Konferensi Meja Bundar (KMB) atau Ronde Tafel Conferentie (RTF), yang merupakan ajang pengakuan kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara merdeka oleh Belanda. Perundingan dilakukan oleh tiga pihak, yakni Kerajaan Belanda, BFO (Bijeenkomst Voor Federaal Overleg) atau Majelis Negara-negara Federal, dan Republik Indonesia. Delegasi Belanda dipimpin oleh J.H. Van Maarseveen, delegasi Republik Indonesia (RI) dipimpin oleh Perdana Menteri Moh. Hatta, dan delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II sebagai Ketua Majelis Negara-negara Federal. Hadir pula delegasi PBB (Persatuan Bangsa-bangsa) yang dipimpin oleh Crittchlay.

Baca Juga:  Jokowi Tunjuk Adhi Karyono Pj Gubernur Jatim, Gus Fawait: Birokrat Cerdas Dan Berpengalaman

Setelah persetujuan KMB dan terpilihnya Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri, Sultan Hamid II kemudian ditunjuk sebagai Menteri Negara Zonder Portofolio dalam Kabinet RIS. Dengan Surat Keputusan Presiden RIS No. 1 Tahun 1949, Sultan Hamid II beserta tokoh lainnya juga ditunjuk sebagai Dewan Formatur kabinet RIS. Bersama tim perumus lain, Sultan Hamid II terlibat aktif merancang Konstitusi Republik Indonesia Serikat termasuk membuat Lambang Negara.

Presiden Soekarno kemudian menunjuk Sultan Hamid II untuk menjadi koordinator tim perumusan lambang negara pada 1950. Dalam sidang kabinet pada 10 Januari 1950, dibentuklah sebuah panitia teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinasi Sultan Hamid II. Panitia ini bertugas menyeleksi rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan ke pemerintah. Di sini Muhammad Yamin menjadi ketua panitia, sementara anggotanya adalah Ki Hajar Dewantara, M.A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan Purbatjaraka. Dalam proses pembuatan lambang negara, banyak rancangan yang diajukan, tak terkecuali rancangan Sultan Hamid II dan Muhammad Yamin yang mengajukan buatannya masing-masing.

Dua karya terbaik akhirnya dipilih dan diajukan ke Panitia Lencana Negara, yakni rancangan Sultan Hamid II dan Muhammad Yamin. Panitia menolak rancangan Muhammad Yamin dengan alasan banyak mengandung unsur sinar matahari yang mengesankan adanya pengaruh fasis Jepang. Pemerintah akhirnya menerima Rajawali, Garuda Pancasila, rancangan Sultan Hamid II dan menetapkannya sebagai Lambang Negara Republik Indonesia Serikat pada 11 Februari 1950.

Dalam perkembangannya kemudian banyak masukan-masukan dari berbagai pihak terhadap lambang RIS itu. Beberapa kali perbaikan pun dilakukan oleh Sultan Hamid II sehingga menghasilkan Garuda Pancasila seperti yang kita kenal sekarang. Dalam masa kerjanya yang singkat, dia berhasil menciptakan gambar burung garuda sebagai lambang Negara Republik Indonesia Serikat, yang hingga hari ini lambang tersebut digunakan oleh Indonesia dalam bentuk lain, yakni Negara Kesatuan Repubik Indonesia (NKRI).

Baca Juga:  DBD Meningkat, Khofifah Ajak Warga Waspada

Dalam kancah politik nasional, Sultan Hamid adalah tokoh kontroversial dengan gagasan Negara Federalis. Prinsip itulah yang kemudian membuatnya berbenturan dengan kaum Unitaris, para penganut paham negara kesatuan yang menginginkan adanya dominasi atau sentralisasi kekuasaan. Sedangkan di sisi lain, muncul paradoks sistem negara seperti pada Sila ke-3 Pancasila, yakni “Persatuan Indonesia” (Federalisme), dan bukan “Kesatuan Indonesia” (Unitarisme). Sultan Hamid II dalam masa perjuangan kemerdekaan Indonesia menganggap bahwa negara federal lebih realistis dalam mewujudkan makna keadilan dan kesejahteran sebagaimana Pembukaan UUD 1945. Sultan Hamid II melihat bahwa sistem federasi lebih dapat menjawab berbagai macam persoalan internal negara yang baru berdiri itu.

Gagasan Sultan Hamid salah dipahami, bahkan dia dianggap sebagai ‘pengkhianat’ dengan sikap dan pemikiran yang lebih moderat terhadap bangsa asing. Dan dinamika sikap dan pemikiran Sultan Hamid II yang begitu kontroversial itu masih terasa sampai hari ini.

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa transisi berdirinya Indonesia banyak menuai konflik pemikiran dalam menggagas bentuk negara. Perbedaan pemikiran tersebut kemudian berlanjut dengan tajam dan dibawa ke arena politik praktis, yang tentu saja memiliki konsekuensi politis. Dan akhirnya, kelompok yang menang ke tampuk kekuasaan dengan mudah mengeluarkan kebijakan politik maupun kebijakan hukum terhadap lawan politik yang tidak sepaham. Dan Sultan Hamid II, seorang founding fathers asal Pontianak, Kalimantan Barat harus menerima konsekuensi logis itu. Ia terbuang dari bangunan sejarah Indonesia. Dulu, namanya terdengar seantero dunia, hari ini sangat sedikit yang mengenalnya. (ed)

Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 30