ArtikelKolomMancanegaraOpiniTerbaru

Di Balik Uji Coba Rudal Balistik Korea Utara

NUSANTARANEWS.CO – Korea Utara gemar memamerkan rudal balistik yang telah dikembangkannya selama beberapa tahun, khususnya pasca berakhirnya Perang Dunia II (world war) dan Perang Dingin (cold war). Tak hanya rudal balistik jarak jauh, negara komunis itu juga diketahui sempat melakukan uji coba rudal nuklir antar-benua (ICBM) pada, Minggu (14/5/). Rudal itu diberi nama Hwasong-12.

Banyak pengamat militer menyebutkan bahwa teknologi rudal Hwasong-12 sudah dekat dengan ICBM (Intercontinental Ballistic Missile) yang dikenal rudal nuklir antar-benua.

Tak hanya itu, Korea Utara juga sudah sering memamerkan rudal balistik jarak pendek dan menengah (Intermediate-range Ballistic Missile/IRBM). Semua uji coba bisa dibilang berhasil dan sukses.

Baca: Korut Kirim Pesan Strategis Lewat Dua Rudal di Hari Pelantikan Trump

Di bawah Resolusi PBB, Korea Utara sebetulnya dilarang mengembangkan teknologi nuklir dan misil. Pasalnya, uji coba rudal tersebut bertentangan dengan kewajiban Korea Utara terhadap resolusi DK PBB terkait, khususnya resolusi 2270 (2016), 2321 (2016), 2356 (2017), dan 2371 (2017).

Sedikit catatan, setidaknya ada 191 negara yang menjadi anggota Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (Nuclear Non-Proliferation Treaty), sebuah perjanjian yang ditandatangani pada 1 Juli 1968 silam untuk membatasai kepemilikan senjata nuklir. Tiga pokok perjanjian ini ialah non-proliferasi, pelucutan, dan hak untuk menggunakan teknologi nuklir untuk kepentingan damai.

Baca: Begini Canggihnya Rudal Balistik Hwasong-12 Milik Korut

Di kawasan Asia Tenggara, ada Traktat Bangkok atau Kawasan Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (Southeast Asia Nuclear Weapon Free Zone/SEANWFZ). SEANWFZ adalah suatu kesepakatan di antara negara-negara Asia Tenggara yang terdiri dari Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam untuk mengamankan kawasan ASEAN dari nuklir. Dan pada 29 Juli 2007, ASEAN sepakat untuk mengadopsi rencana aksi SEANWFZ guna mempercepat pembentukan kawasan bebas senjata nuklir di Asia Tenggara.

Baca Juga:  Apa Arti Penyebaran Rudal Jarak Jauh Rusia Bagi Skandinavia?

Meski sudah ada komitmen negara-negara di dunia tentang denuklirisasi, nyatanya Korea Utara tampak tidak memperdulikannya. Lantas?

Sebuah artikel menarik dimuat The Diplomat menyebutkan bahwa pengembangan senjata nuklir Korea Utara merupakan salah satu bukti nyata bahwa nuklir tak lagi menjadi fenomena tabu. Artinya, norma internasional yang melawan pengembangan dan penggunaan senjata nuklir serta pencegahannya tidak berjalan efektif, bahkan bisa disebut belum mampu mencegah pengendalian perang nuklir.

Baca juga: Gertak Korut, AS Luncurkan Rudal Balistik Antar-Benua

Franz-Stefan Gady, dalam artikelnya itu menyebutkan bahwa memang pelarangan normatif penggunaan senjata nuklir telah berkembang dalam sistem global tetapi normanya belum sepenuhnya kuat. Tetapi hanya sebatas pada stigmatisasi bahwa nuklir adalah senjata pemusnah massal yang sangat dilarang. Negara-negara di dunia tidka bebas mengembangkan, alih-alih menggunakan senjata nuklir karena hanya akan menimbulkan kemarahan belaka.

Alhasil, Korea Utara sudah berulang kali dikecam negara-negara di dunia, terutama AS dan Jepang, karena pengembangan senjata nuklirnya itu. Tak kalah vokalnya DK PBB, hingga tak segan mengeluarkan sanksi. Terbaru, DK PBB memberikan sanksi kepada Korea Utara berupa melarang ekspor batu bara, besi, bijih besi, timbal hitam, bijih besi, dan makanan laut Korea Utara menyusul dua rudal balistik antarbenua Pyongyang pada bulan Juli, juga melarang negara-negara meningkatkan jumlah pekerja Korea Utara yang bekerja di luar negeri, melarang usaha patungan baru dengan Korea Utara dan investasi baru dalam usaha patungan saat ini.

Baca Juga:  Marthin Billa Kembali Lolos Sebagai Anggota DPD RI di Pemilu 2024

Tak berselang lama setelah sanksi dikeluarkan, Korea Utara kembali melakukan uji coba rudal balistiknya. China yang diharapkan bisa menekan dan mengontrol Pyongyang nyatanya tampak tidak menjalankan tugas dan kewajibannya, malah cenderung terkesan membiarkan. Bagaimana pun, Korea Utara adalah sebuah negara penting bagi China, bukan saja karena mereka sebagai mitra tradisional. China merupakan mita dagang dan ekonomi utama Korea Utara.

Tampaknya, perjanjian tentang pelarangan senjata nuklir hanya tertulis saja. Bayangkan, pada tahun 1970-an silam, seperti studi Nina Tannenwald menyebutkan Uni Soviet melakukan war game atau latihan perang militer dengan meluncurkan sedikitnya tiga rudal balistik antar-benua yang dilengkapi hulu ledak. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa senjata nuklir hanya tabu untuk beberapa negara saja. Dan bagaimana pun, peristiwa Hiroshima telah membuka jalan bahwa penggunaan senjata nuklir menjadi tabu di seluruh dunia. Pertanyaan sekarang, masihkah senjata nuklir disepakati sebagai norma internasional?

Baca juga: Sudah Tua, AS Upgrade Nuklir Minuteman III

Baca Juga:  Kumpulkan Kader Potensial, Demokrat Tancap Gas Bahas Persiapan Pilkada Serentak di Jawa Timur

Secara politis, itu agak rumit. Sebab, norma tersebut ada di tangan para pembuat kebijakan. Amerika Serikat tampaknya ada kepentingan besar di balik vokalnya mereka terhadap uji coba rudal balistik Korea Utara.Tapi bisa juga karena AS merasa tersaingi dalam hal kecanggihan alutsista, serta banyak kemungkinan lainnya. Yang jelas, ancaman AS terhadap Korea Utara sama sekali tidak memiliki efek yang signifikan bagi pengembangan senjata nuklir negara yang dipimpin Kim Jong-un.

Selain itu, pengerahan Terminal High-Altitude Area Defense (THAAD) ke bekas lapangan golf di kota Seongju, Korea Selatan oleh tentara AS pada awal Mei lalu juga tidak menggetarkan Pyongyang.

Baca juga: AS Tuduh Iran Langgar Resolusi DK PBB

Terakhir, mencermati kecenderungan AS yang terus mengecam keras uji coba rudal balistik Korea Utara justru malah memperuncing persoalan. Apalagi dalihnya ialah upaya preventif dan pencegahan terhadap senjata nuklir. Dan harus disadari, upaya pencegahan senjata nuklir Korea Utara merupakan sebuah konstruksi sosial serta asumsi tentang realitas politik dan militer. Jalan terbaik menyikapi persoalan ini adalah membuat konsesus untuk bersama-sama berkontribusi pada stabilitas strategis dan pedamaian. Jika konstruksi sosial terkait upaya preventif pencegahan senjata nuklir Korea Utara menjadi fondasi, justru itu menjadi perkembangan yang sangat berbahaya. (ed)

(Editor: Eriec Dieda)

Related Posts

1 of 29