ArtikelPolitik

Devide et Impera

NUSANTARANEWS.CO – Polemik HRS terkait dugaan chat dirinya dan Firza belum selesai namun sudah datang polemik terkait pernyataan salah satu pimpinan GNPF MUI. Bachtiar Nasir dituding telah tunduk pada Jokowi karena memuja dan memuji kinerja Jokowi terutama menyangkut ekonomi.

Rasa kecewa mulai muncul atas pernyataan Bachtiar yang cenderung menbela Jokowi. Tudingan uang rampasan perang yang dianalogikan atas dugaan suap kepada ormas Islam sempat viral di sosmed maupun media online. Bermula dari tulisan Djoko Edhi yang merupakan fungsionaris PBNU.

Kita ketahui bersama NU merupakan ormas Islam terbesar yang secara kelembagaan bertentangan dengan GNPF MUI. Namun grass-root NU berbeda dengan elit mereka, banyak warga NU yang mendukung GNPF MUI. Tanpa dukungan grass-root NU tentu mustahil jutaan umat Islam ada dalam aksi 212.

Aksi fenomenal itu merupakan satu momen yang sulit bahkan bisa jadi tak akan terulang lagi. Peristiwa itu terjadi bukan tanpa ikhtiar luar biasa disertai do’a sehingga aksi super damai terjadi. Sebuah aksi ideologis religius sekaligus kebangsaan.

Baca Juga:  Pleno Perolehan Suara Caleg DPRD Kabupaten Nunukan, Ini Nama Yang Lolos Menempati Kursi Dewan

Ahok yang akhirnya dipenjara serta kalah pilkada tak bisa dipungkiri ada andil aksi umat Islam. Pemilih dalam pilkada terpengaruh dan terpanggil jiwanya untuk mengalahkan Ahok dalam pilkada. Realitas politik inilah yang menaikkan nilai tawar GNPF MUI dimata Jokowi.

Selain Djoko Edhi, aktivis senior Sri Bintang Pamungkas pun tampak curiga pertemuan perwakilan GNPF MUI dan Jokowi merupakan penaklukkan GNPF MUI. Jauh sebelumnya Sri Bintang Pamungkas menolak ide rekonsiliasi yang dikatakan Habib Rizieq Shihab.

Kedua tokoh ini tampak sudah tidak percaya pada GNPF MUI, tentu umat Islam menjadi resah dan gelisah. Psikologis umat Islam sedikit terganggu dengan goncangan yang terjadi, dan situasi ini memang keinginan rezim berkuasa. Skenario mulai berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Terkait dengan pernyataan Bachtiar Nasir sebenarnya kita tak perlu terlalu reaktif. Tulisan Djoko Edhi maupun Sri Bintang Pamungkas pada prinsipnya merupakan nasehat, mereka berharap GNPF MUI kembali bersama rakyat bukan menghamba kepada penguasa (Jokowi-JK).

Nasehat Djoko Edhi dan SBP merupakan pola pikir pencegahan atas sebuah peristiwa buruk yang seolah-olah peristiwa itu sudah dan sedang terjadi. Sisi positif dari pola pikir demikian adalah lawan politik atau manusia yang hendak berbuat demikian akan membatalkan niatnya.

Baca Juga:  Relawan Lintas Profesi Se-Tapal Kuda Deklarasi Dukung Khofifah di Pilgub Jatim

Ambil contoh dalam pilkada DKI putaran dua, ada isu akan bertemunya para pimred media elektronik dan cetak dengan cukong serta lembaga survei untuk merekayasa quick-count. Rencana jahat itu batal dikarenakan isu telah meluas sebelum kegiatan dilaksanakan.

Demikian pula apa yang dituliskan dan propagandakan SBP dan Djoko Edhi merupakan bentuk pencegahan pelemahan GNPF MUI oleh rezim. Keduanya paham peristiwa itu bakal terjadi, dan devide et impera yang sedang dilancarkan rezim sedapat mungkin dicegah.

Selama ini NU melalui Bansernya seolah diprovokasi agar membenci FPI. Gesekan kedua ormas itu sangat sering terjadi saat pilkada DKI, dan belakangan Muhammadiyah-NU dalam bayang-bayang devide et impera.

Umat Islam dan kaum nasionalis sebaiknya kembali merapatkan barisan. Signal yang dikirim Djoko Edhi dan Sri Bintang Pamungkas harus disikapi dengan bijak, keduanya tak ingin GNPF MUI menjadi suruhan rezim. Niat mereka ingin menjaga ulama yang tergabung dalam GNPF MUI tetap idealis.

Baca Juga:  Pemdes Pragaan Daya Membuat Terobosan Baru: Pengurusan KTP dan KK Kini Bisa Dilakukan di Balai Desa

Kedua tokoh tak ingin umat Islam dan nasionalis saling berhadapan, memakan umpan rezim sehingga kita terpolarisasi satu dengan yang lain. GNPF MUI harus mendengar aspirasi umat bukan malah mendengar para pembual sekalipun ia seorang Presiden. Agenda Sidang Istimewa (SI) yang disuarakan saat aksi damai 212 harus diimplementasikan.

Kasus Ahok, proyek Meikarta, maupun sejumlah kekalahan negara atas Asing dan anteknya terkait penguasaan cabang produksi serta ekonomi harusnya memberi pelajaran penting kepada kita semua. Indonesia kini ibarat ‘anak perusahaan’ dari sebuah korporasi.

Bila politik devide et impera berjalan mulus maka kehancuran Indonesia hanya menunggu waktu. Saatnya kita mengambil alih negeri dari tangan Asing dan anteknya, jangan takut apalagi putus asa karena taqdir negeri ditentukan dari sikap kita dalam menangani negeri ini.

*Don Zakiyamani , penulis adalah Ketua Umum Jaringan Intelektual Muda Islam (JIMI), Banda Aceh.

 

Related Posts

1 of 97