Oleh: Jamal D. Rahman
Denny JA adalah sebuah fenomena dalam sastra Indonesia. Juga sebuah kontroversi. Kemunculannya yang relatif baru di panggung sastra, mengusung gagasan yang menantang secara intelektual dan secara kreatif. Dia memperkenalkan apa yang disebutnya puisi esai, yang secara konseptual dirumuskannya sedemikian rupa dan secara kreatif dijalankannya sendiri lewat buku kumpulan puisi esainya, Atas Nama Cinta (2012).
Buku puisi esai ini berbicara tentang diskriminasi sosial dengan korban-korbannya yang menyedihkan. Karenanya, ia merupakan perlawanan terhadap berbagai bentuk diskriminasi sosial khususnya dalam konteks Indonesia. Yang tak kalah penting, dalam perkembangan selanjutnya ada banyak orang menulis puisi esai, baik melalui lomba menulis puisi esai maupun atas permintaan khusus.
Mereka bukan saja penyair muda dan penyair yang sudah cukup dikenal, melainkan juga intelektual, sarjana, peneliti sosial, dan aktivis. Dari mereka semua lahir sekitar 50 buku puisi esai, baik karya individu maupun bunga rampai.
Di antara pilihan-pilihan sikap yang bisa diambil, baik terhadap puisi esai sebagai sebuah konsep maupun terhadap puisi esai sebagai karya kreatif, saya memilih sikap mengapresiasi keduanya, sebisa mungkin secara kritis.
Demikian juga saya mengapresiasi puisi esai karya para penyair atau penulis-penulis lain, dan membicarakan sebagiannya berikut implikasi-implikasi teoritisnya. Daripada terjebak terlalu jauh misalnya pada klaim bahwa puisi esai merupakan genre baru, apalagi dengan tendensi emosional, pada hemat saya, akan lebih bermanfaat mengapresiasi puisi esai secara kritis, baik puisi esai sebagai sebuah konsep maupun sebagai karya kreatif.
Sebagai sebuah konsep, puisi esai mengandung banyak segi yang menarik didiskusikan dan dielaborasi secara intelektual. Misalnya, sampai di mana batas antara fakta dan fiksi dalam puisi (esai), baik secara teoritis maupun dalam aplikasinya sebagaimana tampak dalam puisi esai itu sendiri? Misalnya lagi, apa arti penting catatan kaki dalam sebuah puisi? Misalnya lagi, puisi esai pada dasarnya merupakan puisi naratif.
Karenanya, ia seakan menegaskan bahwa cerita tak hanya penting dalam prosa fiksi (cerpen dan novel), melainkan penting pula dalam puisi. Kalau cerita merupakan hal penting dalam puisi, cukupkah menilai puisi esai hanya dari unsur-unsur pembentuk puisi? Tidak perlukah puisi esai —yang nota bene merupakan puisi naratif itu— dinilai atau dianalisis dari unsur-unsur pembetuk cerpen? Saya mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan ini dalam beberapa tulisan.
Sebagai karya kreatif, Atas Nama Cinta Denny JA bagi saya bukanlah contoh ideal puisi esai. Khususnya menyangkut estetika, contoh ideal puisi esai bahkan bukan lahir dari penyair yang cukup berpengalaman (yang secara khusus diminta menulis puisi esai). Dengan sedikit sekali pengecualian, banyak dari penyair yang diminta menulis puisi esai sekadar memenuhi syarat-syarat formal puisi esai, namun kurang atau bahkan tanpa dibarengi dengan kesadaran akan capaian estetika sebagai tanggung jawab kepenyairan mereka.
Alih-alih, contoh atau hasil cukup ideal puisi esai justru lahir dari para pemenang lomba menulis puisi esai (yang diadakan Jurnal Sajak setiap tahun, 2012-2014). Banyak dari pemenang lomba ini adalah pendatang relatif baru dalam sastra Indonesia. Bahkan sebagiannya tidak dikenal sebagai penyair —sebab yang bukan penyair pun boleh ambil bagian. Saya mendiskusikan sejauhmana karya mereka meyakinkan sebagai seni bahasa dalam beberapa tulisan.
Tak Hanya Soal Estetika
Tapi puisi tak selalu hanya soal estetika. Memang, puisi pertama-tama adalah seni bahasa, yang karenanya capaian estetika merupakan hal yang sangat penting dalam puisi. Namun dalam kerangka yang lebih makro, puisi bagaimanapun perlu pula dilihat dari relevansi historisnya, relevansi pragmatisnya, relevansi sosialnya, relevansi moralnya. Bias modern —yang pada hemat saya begitu jauh— dalam puisi Indonesia adalah kuatnya kecenderungan pada estetisme di tengah dominannya puisi liris, yaitu bahwa keberhasilan puisi harus dilihat melulu dari keberhasilan intrinsiknya sebagai seni bahasa.
Keberhasilan puisi harus dilihat dari unsur-unsur atau struktur estetikanya. Pada hemat saya, pandangan ini relevan terutama menyangkut puisi liris, yakni puisi yang mengemukakan perasaan, suasana hati, atau pengalaman penyair yang sangat personal. Sebab, jika puisi liris gagal secara estetis, maka ia tak punya relevansi historis, pragmatis, sosial, dan moral. Secara ekstrem dapat dikatakan, jika puisi liris gagal secara estetis, maka tak ada yang tersisa darinya.
Sudah tentu puisi sosial, yakni puisi yang berbicara tentang nasib orang banyak, sejatinya dinilai pula dari unsur-unsur intrinsiknya sebagai seni bahasa. Puisi sosial sejatinya dinilai dari aspek estetikanya juga. Idealnya, puisi sosial berhasil pula secara estetis, sebagaimana dicapai Chairil Anwar dalam puisi-puisi revolusinya.
Namun, berbeda dengan puisi liris, jika puisi sosial gagal secara estetis, bagaimanapun ia masih memiliki relevansi historis, pragmatis, sosial, dan moral. Puisi sosial bagaimanapun mengekspresikan simpati sosial, komitmen sosial, dan solidaritas sosial yang merupakan tanggung jawab historis puisi itu sendiri.
Puisi sosial yang buruk dari segi estetika, bagaimanapun memancarkan moral puisi sebagai tanggung jawabnya pada sejarah. Dengan isu sosial yang diusung puisi, yang merefleksikan komitmen sosial puisi itu sendiri, kegagalan estetika puisi bisa “dimaafkan”. Jika puisi sosial adalah kapal laut, isu sosial dalam puisi sosial merupakan pelampung. Maka, jika pun puisi sosial gagal secara estetis, ia masih memiliki pelampung yang akan menyelamatkannya dari kemungkinan tenggelam secara keseluruhan di lautan kesia-siaan.
Penyair kadang menghadapi dilema antara keharusan mencapai estetika tinggi dan memenuhi panggilan moral sosial sebagai tanggung jawabnya pada sejarah. Ketika Rendra menyebut puisi-puisi sosialnya sebagai puisi pamflet, dia berdiri tepat di titik tegang antara keharusan menjaga estetika puisi-puisinya di satu sisi (yang telah dicapainya secara gemilang dalam banyak puisinya), dan keharusan mengekspresikan tanggung jawab sosialnya dalam puisi-puisinya di lain sisi.
Menyebut puisi-puisi sosialnya sebagai puisi pamflet merupakan satu pengakuan atau kesadaran bahwa puisi pamflet —sampai batas tertentu— memang “mengorbankan” estetika puisi demi panggilan moral sosial penyair. Bagi penyair sekelas Rendra, tanggung jawab sosial bagaimanapun lebih penting dibanding estetika tinggi.
Dalam konteks itu, puisi esai pada dasarnya merupakan puisi sosial. Dengan konsep puisi esai sedemikian rupa, tidak bisa tidak puisi esai akan mengangkat tema sosial. Maka, jika pun ia gagal dalam hal estetika, ia masih mungkin terselamatkan oleh pelampung yang tersedia di tubuh puisi esai itu sendiri, yakni isu sosial yang dibicarakannya.
Bahkan secara ekstrem dapat dikatakan, kalaupun puisi sosial tak bernilai dari sudut seni bahasa, ia masih mungkin bernilai dari sudut solidaritas sosial atau kritik sosial yang dikemukakannya. Tentu saja, sejauhmana arti penting isu sosial dalam puisi esai merupakan satu topik diskusi tersendiri, yang bukan tempatnya di sini untuk mendiskusikannya.
Isu-isu sosial dalam puisi kiranya memiliki arti penting, terutama secara moral, apalagi di tengah dominannya puisi liris dalam sastra Indonesia modern. Dengan puisi liris, secara tematik penyair sesungguhnya berbicara tentang dirinya sendiri, dan untuk dirinya sendiri.
Oleh karena itu, apa yang penting dari puisi liris adalah bentuk-bentuk ekspresinya, keunikan diksinya, kecanggihan bahasanya, yakni estetikanya. Puisi liris inilah yang begitu dominan dalam sastra Indonesia modern. Implikasi dari dominannya puisi liris adalah kian jauhnya puisi dari gelanggang kehidupan konkret masyarakat di satu sisi, dan kian sepinya isu sosial di jantung puisi itu sendiri di lain sisi.
Dalam konteks itu, puisi esai sesungguhnya merupakan suatu percobaan sekaligus usaha membawa puisi ke gelanggang kehidupan sosial, sekaligus membawa berbagai isu sosial ke jantung puisi.
Dan puisi esai tak berhenti di Atas Nama Cinta Denny JA, baik menyangkut estetika maupun tema. Percobaan atau eksplorasi estetika puisi esai dilakukan beberapa penyair dan panulis lain, dengan hasil yang kian mengesankan sebagaimana tampak terutama dari karya para pemenang lomba menulis puisi esai. Demikian juga tema puisi esai terus dieksplorasi sedemikian rupa oleh banyak penyair, sehingga isu sosial yang dibicarakan dalam puisi esai kian kaya dan beragam.
Bahkan muncul isu sosial yang setahu saya tak pernah muncul dalam puisi Indonesia, misalnya nasib penganut kepercayaan (agama) lokal yang tergerus oleh politik kepercayaan negara, atau nasib suku pedalaman yang tetap teralienasi di tengah kerasnya gemuruh modernisasi negara. Puisi esai yang meyakinkan secara estetik, bahkan mungkin juga secara tematik, memang tak harus lahir dari penggagas puisi esai itu sendiri.
Bagaimanapun Denny JA adalah seorang aktivis dan ilmuwan sosial, yang karenanya dapat diduga bahwa baginya kepedulian sosial lebih penting tinimbang estetika. Tentu dia berusaha mengejar estetika sedemikian rupa untuk puisi-puisinya, tapi hal itu dalam batas kesadarannya bahwa apa yang dikemukakannya dalam puisi sebisa mungkin menyentuh hati pembacanya di satu sisi, juga dalam batas usaha seorang aktivis dan ilmuwan sosial yang kepeduliannya pada masalah sosial lebih besar tinimbang pada estetika di lain sisi.
Kalau penyair seperti Rendra saja bersedia “mengorbankan” estetika tinggi demi puisi-puisi sosialnya, kenapa pula orang mengharapkan estetika “tinggi” dari puisi seorang aktivis dan ilmuwan sosial?
Mengkomunikasikan Puisi
Terutama karena Denny JA adalah juga seorang sarjana, yakni sarjana ilmu politik, sepak-terjangnya di dunia sastra dapat dibandingkan dengan kinerja kesarjanaan. Kinerja kesarjanaan menuntut karya-karya ilmiah yang lahir dari penelitian dengan ketekunan, ketelitian, dan terutama disiplin atau prosedur keilmuan yang ketat.
Karya ilmiah —yang biasanya dipublikasikan lewat jurnal-jurnal ilmiah— ditujukan terutama kepada komunitas ilmiah sesuai spesialisasi keilmuan mereka, yang karenanya relatif terbatas. Meskipun dipublikasikan, karya ilmiah tidak berkepentingan untuk sampai kepada khalayak yang sangat luas. Sebab, arti penting karya ilmiah terletak terutama pada penemuan-penemuan yang memberikan sumbangan baru baik secara teoritis (pada dunia keilmuan) maupun praktis (pada kehidupan konkret).
Dalam konteks itu, meskipun Denny JA adalah seorang sarjana, dia tampak lebih terdorong untuk menulis artikel opini, kolom, atau esai di media massa untuk merespon isu-isu aktual dibanding menulis tulisan ilmiah di jurnal-jurnal ilmiah. Tulisan ilmiah tentu memiliki nilai yang sangat tinggi, tapi bagaimanapun ia “hanya” menyentuh kelompok sosial yang relatif terbatas, yakni elit intelektual tertentu.
Sementara, kebutuhan atau hasrat Denny untuk merespon isu-isu aktual dan mengkomunikasikannya kepada khalayak seluas mungkin tampak begitu besar. Itu sebabnya dia begitu produktif menulis artikel opini, kolom, atau esai yang pastilah akan menyentuh khalayak luas. Sebegitu besar kebutuhannya untuk merespon berbagai isu sosial dan mengkomunikasikannya dengan khalayak luas, sehingga dia membutuhkan wahana lain: puisi. Demikianlah maka puisi di tangan Denny analog dengan artikel, tulisan opini, kolom, atau esai.
Kebutuhan Denny untuk mengekspresikan kepedulian sosial dan renungan-renungannya lewat puisi pun tampak begitu tinggi. Hal itu terlihat dari begitu produktifnya dia menulis puisi setelah Atas Nama Cinta, yang tentu saja kian luas pula isu-isu sosial yang dibicarakan dan direnungkannya.
Bahwa dia produktif menulis puisi menunjukkan juga bahwa baginya mengekspresikan diri lewat puisi, terutama merespon isu-isu aktual dalam kehidupan sosial Indonesia, lebih mendesak tinimang mengejar estetika tinggi secara habis-habisan. Begitu banyak isu sosial yang mendesak untuk direspon lewat puisi, yang tak harus menunggu estetika tinggi. Estetika tinggi puisi bahkan bisa mengakibatkan puisi terasing dari publik luasnya, yang tentu saja tidak begitu cocok untuk selera intelektual seorang aktivis.
Lebih dari itu, kebutuhannya untuk mengkomunikasikan puisi-puisinya dengan sebanyak mungkin orang tampak lebih tinggi lagi. Melalui puisi-puisinya dia tak hanya ingin berkomunikasi dengan masyarakat sastra yang terbatas, melainkan juga dengan masyarakat luas yang selama ini mungkin merasa jauh dari puisi.
Untuk itu, puisi-puisinya tak hanya dikomunikasikan lewat media tradisional seperti buku cetakan, melainkan juga lewat berbagai media digital dan internet. Di samping dibacakan di beberapa acara, puisi-puisinya dialihwahanakan ke musik, film, lukisan, dan lain-lain. Juga dengan menggunakan media digital atau multimedia yang bisa diakses oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.
Dia bahkan melakukan penetrasi ke tengah pembacanya melalui berbagai media sosial seperti Twitter, Facebook, WhatsAp, dan You Tube. Banyak penyair menyadari fungsi digital dan internet bagi publikasi puisi, namun tak banyak yang memanfaatkan semuanya secara maksimal.
Dengan itu semua, lingkup sosial komunikasi puisi Denny tidak hanya terbatas pada komunitas sastra, bahkan tidak hanya terbatas pada komunitas seni, melainkan tembus ke lingkungan sosial di luar komunitas sastra dan seni. Lingkup sosial komunikasi puisi Denny bahkan sampai ke lingkungan elit politik.
Seperti diketahui, puisinya “Tapi Bukan Kami yang Punya” dibacakan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmanyto dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar di Balikpapan, Kalimantan Timur, 22 Mei 2017. Setahu saya itu untuk pertama kalinya seorang Panglima TNI membacakan puisi dalam sebuah forum para elit partai politik.
Pembacaan puisi oleh Jenderal TNI Gatot Nurmantyo ini menjadi pembicaraan publik relatif luas, yang menunjukkan kian luasnya lingkup sosial komunikasi puisi Denny. Dalam arti itu juga, Denny JA membawa puisi ke gelanggang kehidupan sosial, dan dengan isu sosial dalam puisinya, dia membawa masalah sosial ke jantung puisi.
Buku ini merupakan studi lebih jauh terhadap sepak-terjang Denny JA di dunia sastra, dengan segala fenomena dan kontroversinya. Meskipun sedikit-banyak bernada apologetik, Narudin mencoba merekam fenomena dan kontroversi Denny JA secara kronologis sekaligus menilainya secara kritis.
Dia mengkaji seluruh puisi karya Denny (berikut respon para tokoh tentangnya), yang menurutnya berevolusi dari waktu ke waktu. Dia juga mengkaji puisi esai karya penyair-penyair lain dan merekam diskusi sekitar karya mereka.
Yang tak kalah penting, Narudin juga mengkaji pemikiran Denny di dunia puisi (dan sastra), mulai konsep puisi esai, masalah keterasingan puisi dan jalan yang ditempuhnya untuk mengatasi keterangan puisi itu sendiri, sampai masalah sosial dan keagamaan.
Sebagaimana kita perlu mengapresiasi secara kritis karya Denny JA, kiranya kita perlu pula mengapresiasi secara kritis karya Narudin ini. Tentu saja, mengapresiasi secara ktitis mensyaratkan ketenangan dan kejernihan pikiran. Salam. []
Pondok Cabe, 10 Agustus 2017
*Jamal D Rahman adalah penyair, esais, penerima Hadiah Sastra Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) 2016. Tulisan ini merupakan tulisan Pengantar dari Jamal D Rahman untuk buku riset karya Narudin yang telah mempelajari sekitar 50 buku puisi esai yang telah dipublikasi, dengan judul: Membawa Puisi ke Tengah Gelanggang, Jejak dan Karya Denny JA.
Sumber: Denny JA