Berita UtamaPolitik

Demokrasi yang Berutang – Opini Muqaddim

NUSANTARANEWS – Sejak proklamasi kemerdekaan dibacakan oleh Soekarno, bangsa Indonesia telah membentuk suatu negara yang merdeka dan demokratis dengan proses pembentukan yang demokratis pula. Selain itu, BPUPKI juga telah membuat UUD yang berjiwa demokrasi serta PPKI dengan keputusan dan kebijakannya yang dijiwai pula demokrasi.

Dalam perkembangannya, demokrasi pancasila semakin dijunjung tinggi. Terlepas dari praktek kepemimpinan yang ada yang dinilai oleh banyak pihak sebagai tidak demokratis maupun tidak pancasilais. Namun dapat dimaknai dengan jelas bahwa demokrasi pancasila bukan saja demokrasi dalam tataran politik melainkan demokrasi ekonomi juga. Hal ini dapat dikaji kemudian pada prinsip dasar demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Prinsip ini juga berlaku dalam demokrasi ekonomi pancasila. Prinsip demokrasi ekonomi pancasila yang anti sistem kompetisi sebebas-bebasnya (liberal), individualisme (kapitalisme) dan lain sebagainya dalam modelnya tidak kala demokratis.

Prinsip dari rakyat oleh, oleh rakyat dan untuk rakyat dalam ekonomi pancasila menuntut rakyat sebagai subjek sekaligus objek dalam pembangunan ekonomi nasional. Ciri lain dari demokrasi ekonomi pancasila yaitu gotong royong semakin memantapkan posisi rakyat sebagai subjek dalam pembangunan ekonomi. Hal ini juga mempertegas penolakan ekonomi pancasila terhadap sisrtem ekonomi liberal.

Baca Juga:  Masyarakat Rame-Rame Coblos di TPS, Jatim Bisa Lumbung Suara Prabowo-Gibran

Demokrasi ekonomi pancasila yang menuntut rakyat menjadi subjek dalam pembangunan ekonomi memperingatkan kita suatu saat jika negara dilanda krisis ekonomi seperti tahun 1997 dan saat ini, pemerintah dituntut untuk menyediahkan lahan untuk kegiatan perekonomian bagi seluruh rakyat di segala sektor. Dengan begitu, segala bentuk hegemoni kekayaan alam Indonesia atau sumber-sumber ekonomi dapat diminimalisir bahkan ditolak. Hal ini akan berdampak pada pemerataan kekayaan negara ke pada seluruh lapisan masyarakat yang secara tidak langsung akan berujung pada konsekuensi logis bahwa akan terwujudnya ekonomi nasional yang stabil.

Baca: Negara Darurat Demokras

Selain itu, penyembuhan ekonomi nasional akan dapat berjalan lancar dengan tidak menjadikan berutang sebagai alternatif paling efektif. Utang bukan sebagai obat mujarab. Seperti pada krisis ekonomi yang melanda Asean pada 1997 di mana Indonesia pada saat itu masuk di dalamnya. Penyembuhan ekonomi pada saat itu menjadikan utang sebagai satu-satunya obat paling mujarab. Di satu sisi utang memang mampu menjamin penyembuhan krisis ekonomi lebih cepat jika dibandingkan dengan menunggu terkumpulnya dana dari dalam negeri. Namun di sisi lain, dampak dari utang luar negeri sangat berbahaya. Hal ini diperparah ketika utang diikuti dengan kontrak politik sebagai syarat bersedianya sang donatur dalam membantu negara yang meminta bantuan. Umumnya, negara yang berutang pada donatur-donatur Internasional seperti IMF, World Bank, ADB (Asean Development Bank), dan lain sebagainya akan menyepakati ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh pihak donatur.

Baca Juga:  Ramadan, Pemerintah Harus Jamin Ketersediaan Bahan Pokok di Jawa Timur

Pada krisis Indonesia tahun 1997, peminjaman uang oleh IMF juga diikuti kontrak politik di bidang ekonomi. Kontrak politik yang dibuat sebagai ketentuannya yaitu, kebijakan fiskal yang konservatif dan berdisiplin tinggi, privatisasi, serta liberalisasi pasar. Akibatnya demokrasi ekonomi pancasila bukan dasar pengelolaan ekonomi nasional lagi melainkan demokrasi yang berutang. Setelah Indonesia bersepakat dan telah menerima bantuan dari IMF, yang terjadi bukannya percepatan pembangunan ekonomi yang terjadi justru Indonesia tetap saja lambat dalam pembangunan ekonomi. Berbeda dengan negara-negara Asean yang juga mengalami krisis yang sama, mereka mampu bangkit dari krisis dengan cepat.

Kasus krisis ekonomi 1997 selain membuktikan bahwa utang bukan obat mujarab. Selain itu, hal tersebut juga mensyaratkan negara demokrasi ekonomi pancasila sudah ditinggalkan. Ekonomi liberal yang nyatanya bertolak belakang dengan ekonomi pancasila justru jadi prioritas.

Periode pasca reformasi sampai sekarang, pertumbuhan ekonomi hampir tidak pernah menunjukan angka pertumbuhan yang stabil. Pada periode kepemimpinan presiden Jokowi, pertumbuhan ekonomi menunjukan pelemahan yang semakin meloyo. Terhitung sejak September lalu, inflasi negara berada pada angka di atas 3 % dan November terakhir, angka inflasi 3,58%. Data ini menunjukkan semakin melemahnya ekonomi nasional. Menarik untuk dinantikan langkah apa lagi yang akan ditempuh oleh pemerintah sambil mencari formulasi yang efektif yang sekiranya dapat menyelamatkan negara ini dari ancaman krisis ekonomi yang semakin hari semakin parah.

Baca Juga:  Raih 19.627 Suara, Nia Kurnia Fauzi Siap Jaga Amanah Rakyat

*Muqaddim, Kelahiran Majene, 29 Mei 1995. Kini tercatat sebagai Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik, FISIP Universitas Nasional, Jakarta.

Related Posts

1 of 16