Demi PNS dan Birokrasi Yang Lebih Baik

ILUSTRASI; PNS. (Foto: Liputan6/Abdillah)

ILUSTRASI; PNS. (Foto: Liputan6/Abdillah)

Setelah sekian lama memberlakukan moratorium penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS), pemerintah akhirnya membuka lagi kran penerimaan di tahun ini. Namun demikian, penerimaan ini sifatnya terbatas. Artinya, tidak semua instansi negara, baik pusat, maupun daerah dapat menyelenggarakan prosesi penerimaan.

Hanya instansi yang benar-benar dianggap membutuhkan yang dapat menambah jumlah personelnya. Mengutip istilah pemerintah, penerimaan tahun ini berbasis kebutuhan dan analisa beban kerja. Proses penerimaan juga menganut prinsip minus growth, yang artinya jumlah pegawai yang diterima harus lebih kecil dibandingkan dengan pegawai yang pensiun (setiap tahun sedikitnya 10.000 pegawai yang pensiun, sehingga penerimaan maksimum di angka 5.000 pegawai).

Langkah pemerintah dalam hal seleksi terbatas untuk para abdi negara tahun ini patut diacungi jempol. Pertama, seleksi tidak dilakukan secara masal. Bandingkan dengan seleksi PNS bertahun-tahun yang silam. Pemandangan manusia tumpah ruah di Monas, GOR Senayan, atau Kemayoran yang notabene sering dijadikan tempat seleksi pegawai, adalah suatu hal yang lumrah dilihat mengingat seleksi dilakukan secara serempak dan bersamaan oleh semua instansi negara.

Kedua, digunakan analisa kebutuhan dan beban kerja sebagai basis penerimaan. Bayangkan jika tidak ada basis rasional yang digunakan, dipastikan anggaran negara akan membengkak mulai dari proses seleksi sampai penggajian para pegawai tersebut. Ketiga, pola minus growth yang diterapkan oleh pemerintah, merupakan mekanisme jitu untuk mengurangi gemuknya jumlah PNS. Jitunya lagi, melalui pola ini, pengelolaan dilakukan secara bertahap, sehingga pada tahun tertentu akan mencapai angka proporsional yang diharapkan. Pola ini dijamin tidak akan memicu riak dalam bentuk demonstrasi pegawai.

Namun demikian, pemerintah tetap harus terus-menerus mengevaluasi diri demi membaiknya proses reformasi birokrasi di negeri ini. Reformasi tidak hanya dijalankan pada hal-hal yang sifatnya prosedural saja, tapi juga menyentuh aspek substansial dari proses yang dijalankan. Aspek substansial yang dimaksudkan di sini adalah, persoalan PNS tidak sebatas penerimaan saja, tapi juga menyentuh aspek pengembangan dari PNS itu sendiri.

Aspek pengembangan PNS itu sendiri bersifat multidimensional. Artinya, banyak hal yang harus disentuh dalam hal manajemen pegawai. Pertama, soal kesejahteraan. Gaji pokok pegawai tidak bisa dipukul rata berdasarkan golongan. Harus ada analisa kebutuhan layak hidup di masing-masing daerah. Pun adalah tidak logis apabila saat ini kita bisa melihat dengan mata telanjang bahwa ada instansi daerah yang mampu menggaji pegawainya melebihi instansi pusat. Diferensiasi yang dilakukan pemerintah tidak tepat apabila dilakukan berdasarkan remunerasi saja. Diferensiasi harus dilakukan di semua komponen, baik gaji pokok, tunjangan anak, istri, beras, termasuk uang makan.

Dalam konteks kesejahteraan, pemerintah juga jangan segan menerapkan pola growth in income secara reguler layaknya perusahaan-perusahaan jika menuai profit secara berkesinambungan. Dasarnya sederhana, pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional, berkurangnya tingkat kemiskinan, naiknya investasi dan daya beli konsumen. Naik turunnya indikator yang penulis sebutkan, tidak terlepas dari peran PNS sebagai representasi pemerintah. Sudah seharusnya pegawai mendapatkan kesejahteraan yang lebih apabila semua indikator berada pada kuadran positif.

Kedua, kompetensi pegawai haruslah terus-menerus dikembangkan. Riset sederhana yang penulis lakukan terhadap PNS-PNS rekrutan baru serta amunisi lama di beberapa kementerian dan lembaga negara menunjukkan bahwa mereka tidak pernah mendapatkan pengembangan kompetensi. Pengembangan kompetensi yang penulis maksudkan di sini adalah yang sifatnya sesuai kebutuhan, sesuai tanggung jawab, serta bermanfaat bagi pengembangan keahlian pegawai secara khusus.

Sebagai contoh, seorang analis kerja sama luar negeri di lembaga negara hendaknya mendapatkan pelatihan di bidang diplomasi, diversifikasi penguasaan bahasa asing, serta pertukaran pendidikan di negara lain. Contoh lain, seorang tenaga tata usaha, hendaknya mendapatkan pelatihan di bidang administrasi, tata bahasa yang baik, serta manajemen arsip. Faktanya yang terjadi selama ini, pelatihan yang diterima sangat minim. Seorang pegawai hanya diasup pengetahuannya pada saat prajabatan saja, kemudian dilanjutkan dengan Diklatpim IV, begitu seterusnya. Itupun dengan catatan bila mendapatkan promosi jabatan. Jika tidak, mereka gigit jari!

Ketiga, perlu diterapkan tata kelola yang berbeda terhadap generasi Y dan Milenial di instansi negara. Generasi Y dan Milenial memiliki karakteristik yang berbeda dengan generasi X, apalagi Baby Boomers. Generasi Y dan Milenial adalah generasi yang haus pengetahuan, idealis, tak segan mengemukakan kritik, bersifat pendobrak dengan beragam inovasi, serta sangat melek dalam hal penggunaan teknologi.

Eksistensi generasi ini di instansi negara kerap menerima perlakuan yang tidak tepat. Kehadiran generasi Y dan Milenial kerap dipandang sebagai ancaman bagi generasi X dan Baby Boomers. Akibatnya terjadi bentrok budaya diantara mereka. Konsekuensinya, banyak generasi Y dan Milenial yang cabut berkas alias mengundurkan diri sebagai pegawai karena status sebagai PNS tidak menjanjikan apabila budaya organisasinya koruptif, kolutif, nepotis, serta kolot.

Keempat, perlu dicermati eksistensi PNS yang bekerja bersama dengan TNI dan Polri dalam satu instansi. Kerapkali relasi antar korps aparat negara ini tidak berlangsung harmonis. Harus jujur diakui bahwa eksistensi bersama mereka dalam satu instansi menghadirkan hegemoni dari satu pihak kepada pihak lain, bukan kompetisi yang sehat. Penulis menyarankan agar Kemenpan RB meluangkan waktu untuk melongok kondisi riil yang penulis sebut. Apabila sebuah instansi merupakan lembaga sipil, maka pola sipil yang diterapkan, bukan kultur TNI atau Polri yang digunakan hanya karena kedua korps tersebut menduduki struktur elitis di lembaga tersebut.

Di lembaga campuran antara PNS, TNI, serta Polri juga harus dicermati mekanisme pengelolaan pegawainya (Promosi, Demosi, Mutasi, dll). Jika lembaga tersebut berstatus sipil, maka mekanisme assessment kompetensi yang bersifat terbukalah yang harus dipakai. Bukan panitia kecil yang biasa diterapkan pada organisasi tertutup. Di lembaga campuran seperti ini, jangan sampai eksistensi PNS menjadi tenggelam.

Terakhir, perlu diterapkan Whistle Blower System di semua kementerian dan lembaga negara sebagai mekanisme pemeliharaan serta check and balance terhadap integritas dan komitmen PNS. Harus diakui bahwa budaya korupsi, kolusi, serta nepotisme masih mengakar kuat di instansi pemerintah. Hal ini tidak terlepas dari watak manusia Indonesia yang sering menyalahgunakan kekuasaan.

Para abdi negara kerap lupa, dengan alasan gaji dan tunjangan kecil, mereka menghalalkan segala cara. Alih-alih menggunakan uang negara untuk memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat, mereka memerkosa anggaran negara dengan seribu satu pembenaran. Oleh sebab itu, perlu digagas upaya luar biasa untuk memberantasnya.

Penulis meyakini bahwa tidak semua abdi negara berwatak bromocorah. Masih ada orang-orang bersih yang akan berteriak apabila menemukan praktik-praktik curang di depan mata kepala mereka. Sekali lagi, menjadi PNS adalah menjadi pelayan masyarakat, bukan penggangsir uang rakyat.

Penulis: Boy Anugerah, Alumnus Magister Ketahanan Nasional Universitas Indonesia

Exit mobile version