NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Mantan Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai mengatakan pemberian raport merah terhadap Joko Widodo dalam bidang HAM membuktikan buruknya kredibilitas dan akuntabilitas Jokowi-JK selama kurun waktu 4 tahun terakhir.
“Ternyata berbagai jargon yang terucap pada tahun 2014 tentang Revolusi Mental dan Nawacita hanyalah jargon-jargon utopis. Bagaimana kita membayangkan bahwa sebuah lembah independen negara memberi Rapor Merah kepada Kepala Negara yang sedang berkuasa? Tentu saja tidak salah karena Komnas HAM memiliki kewenangan untuk menilai kinerja pemerintah dalam hal ini negara (state),” kata Pigai kepada NUSANTARANEWS.CO, Jakarta, Minggu (21/7/2028).
Pemberian Raport Merah dapat diduga sebagai bertanda (Signal) Kartu Merah untuk berhenti bertarung dalam membohongi publik terkait hak asasi manusia sebagaimana disampaikan dalam berbagai laporan Komnas HAM.
Baca Juga:
- Aktivis 98 Minta 2019 Kasus HAM harus Tuntas
- Soal Pengungkapan Kasus HAM, Wantimpres: Pemerintah Masih Belum Siap Ungkap Kebenaran
- Natalius Pigai Ingatkan PDIP Jangan Jual Kasus-kasus Pelanggaran HAM
Menurut Pigai, Jokowi terpilih sebagai Presiden karena kapitalisasi dugaan pelanggaran HAM berat oleh Prabowo yang ditunjang oleh media massa dan para aktivis HAM. Selain itu, persoalan HAM yang dirumuskan secara tegas oleh Jokowi dalam butir cita-cita Nawacita telah memberi harapan animo rakyat Indonesia.
“Dilihat dari kebijakan dan tindakannya dalam memimpin negeri ini selama 4 tahun, apa legasi yang Jokowi berikan konstribusi bagi negeri ini terkait Hak Asasi Manusia sebagai persoalan artifisial bangsa. Memang bukan minim, namun memikirkan tentang membangun bangsa berbasis HAM saja belum terlihat,” papar pria berdarah Papua ini.
Berikut adalah sederet kasus yang patut diduga sebagai pelanggaran HAM yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki keterkaitan dengan Jokowi sebagai Kepala Pemerintahan.
Pertama, kasus Paniai tercatat sebagai kejahatan kemanusiaan (gross violation of human right) termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat yang berkasnya sedang diproses dan terhenti di Komnas HAM. Kasus Paniai adalah salah satu hasil produk rezim kepemimpinan Joko Widodo. Jokowi menitipkan peristiwa kelam baru bagi bangsa ini. Sebagai kepala negara, Jokowi tidak bisa lepas tanggung jawab (commander resposibilities). Bagaimana pun juga Jokowi menambah 1 berkas pelanggaran HAM berat di Komnas HAM.
Kedua, adanya penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang, penyiksaan/penganiayaan (torture) dan pembunuhan (kilings) terhadap lebih dari 6 ribu orang Papua selama 4 tahun merupakan catatan negatif rezim Jokowi. Jokowi tidak bisa menghindari sebagai kepala negara/kepala pemerintahan sebagai penanggungjawab komando (commander resposibilities).
Ketiga, dugaan terjadinya genocida secara perlahan melalui berbagai kebijakan (slow motion genocide) di Papua berdasarkan hasil
penyelidikan beberapa lembaga internasional, menguatkan dugaan Jokowi sebagai kepala negara, dengan sadar atau sengaja (by commision) melakukan pembiaran (by ommision).
“Tindakan 1 dan 3 ini mengancam integritas nasional karena itu selain bertanggungjawab melalui proses penyelidikan, Jokowi harus bertanggungjawab juga secara politis dengan mengurungkan niatnya untuk maju sebagai capres di 2019,” ujar Pigai.
Keempat, pernyataan penolakan grasi dan eksekusi mati kasus narkoba awal tahun 2015. “Ini kasus paling serius dibanding eksekusi tahap-tahap berikutnya. Jika dilakukan penyelidikan, Jokowi tidak hanya diduga sebagai commander responsibilities tetapi juga pelaku (mens rea). Harus bertanggungjawab melalui proses penyelidikan hukum HAM,” ungkapnya.
Kelima, pengekangan kebebasan sipil (civil liberties) dan hak untuk menjalankan agama dan kepercayaan khususnya bagi umat Islam melalui Perppu Ormas. Membiarkan adanya labilitas integrasi sosial dan politik sejak Jokowi berkuasa merupakan perusakan terhadap tatanan dan upaya destruktif terhadap pilar demokrasi, hak asasi dan perdamaian.
Keenam, petidakmampuan melaksanakan proses penyelesaian persoalan pelanggaran HAM berat oleh Jokowi bertentangan dan menunjukkan inkonsistensi Jokowi terhadap cita-cita Nawacita yang justru ditulis dengan tangannya sendiri. Apabila sampai tahun 2019 Jokowi tidak bisa melaksanakan Nawacita, maka Jokowi telah melakukan kebohongan publik dan harus dipertangungjawabkan. Penunjukan pejabat kabinet yang berindikasi melanggar HAM adalah secara sadar menenggelamkan asa (ketajaman) untuk menyelesaikan pelanggaran HAM. Disitulah Jokowi terlihat tidak memiliki sensivitas kemanusiaan dan keadilan.
Ketujuh, belum adanya tindakan pengungkapan keberadaan Wiji Tukul dan pengungkakan kasus Munir sesuai janji Jokowi dan ekspektasi keluarga korban telah menjadi memori buruk (memoria passionis). Sangat disayangkan bahwa selama kepemimpinan Jokowi, jangankan soal penyelesaian, memulai proses saja sama sekali tidak ada.
“Tujuh persoalan tersebutlah yang membingkai Jokowi berada dalam pusaran pelanggaran HAM. Apalagi, dari ketujuh kasus itu, jika dilakukan penyelidikan oleh Komnas HAM atau lembaga penyelidik internaional, Jokowi patut diduga tidak hanya sebagai penanggungjawab komando (commander resposibilities), tetapi pelaku (mens rea) sebagai pelanggar HAM Berat,” katanya.
“Dengan demikian, pada tahun 2019, saya yakin persoalan HAM akan mengganjal karier politik Jokowi. Selain tidak mendapat dukungan dari keluarga korban, juga aktivis kemanusiaan, NGO kemanusiaan dan juga Komnas HAM, Jokowi juga tidak akan mendapat dukungan dan simpati internasional juga rakyat Indonesia,” pungkasnya.
Pewarta: Eriec Dieda
Editor: Achmad S.