NUSANTARANEWS.CO, Situbondo – Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, saat ini bangsa Indonesia sedang perlu lebih banyak mengasah rasa. Perkembangan sosial politik, ditambah pesatnya media sosial akibat revolusi industri digital, sedikit banyak telah mengubah cara dan perilaku beragama sebagian dari masyarakat.
Bahkan, Menag melihat, ada semacam kegagapan di mana gairah beragama tumbuh sedemikian cepat di satu sisi, namun tidak diiringi dengan keseimbangan nurani, rasa, dan spiritualitas di sisi lain. Seruan beragama yang seharusnya menenteramkan berubah menjadi provokasi. Simbol agama yang seharusnya menggambarkan kesantunan pun berubah menjadi gambaran kegarangan.
Baca Juga:
- Menteri Agama Ungkap Tiga Alasan Muktamar Sastra 2018 Penting Digelar
- Muktamar Sastra, Menag: Jadikan Sebagai Titik Tolak Kebangkitan Sastra Pesantren
- Bicara Kebudayaan Indonesia Mustahil Tanpa Membahas Sastra Islam Pesantren
“Bangsa Indonesia saat ini sangat membutuhkan asupan pendidikan, bacaan, dan pemahaman yang tidak sekadar hitam putih dalam menafsirkan agama, melainkan pendidikan dan bacaan yang juga menekankan pada rasa, spiritualitas, dan imaji (khayali), yang banyak terdapat dalam media karya sastra,” tegas Menag saat memberikan pidato pembuka Muktamar Sastra 2018 di Pondok Pesantren Salfiyah Syafi’iyah Situbondo, seperti dikutip dari laman Kemenag, Kamis (20/12/2018).
“Ibarat santapan Madura yang terkenal nyaman ongguh (lezat sekali), bangsa ini perlu pengetahuan yang bercita rasa tinggi, bukan produk instan yang hambar dan tak sehat,” sambungnya.
Menag merasa, saat ini ruh dan semangat sastra Islam Nusantara perlu segera dibangkitkan kembali. Sastra Islam Nusantara telah ditempa oleh keragaman zaman yang melahirkan bangunan kebudayaannya sendiri, yakni kebudayaan yang mampu menerima keragaman tradisi dan budaya berbagai bangsa, seperti India, China, Arab, dan Persia.
“Berbagai tradisi dan budaya itu tidak sekadar diadopsi, baik isi, bahasa, maupun aksaranya, namun juga sekaligus dimodifikasi sehingga melahirkan khazanah karya sastra dalam aksara Jawi, Pegon, Hanacaraka, Cacarakan, dan puluhan aksara lokal Nusantara lainnya,” tandasnya.
Kemampuan menerima keragaman seperti itulah yang saat ini menurut Menag sangat dibutuhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Lagi-lagi, ibarat makanan, meski bersuku-suku, bangsa Indonesia selalu akur soal santapan lidah. Orang Jawa bisa menikmati nasi padang, orang Medan bisa melahap sego bebek Madura, dan soto lamongan laris juga di Papua.
“Saya pun yakin, para peserta muktamar ini juga suka jika disuguhi nasi kebuli ala Situbondo – yang sepertinya lebih lezat dari aslinya di Saudi,” tuturnya.
Sekadar diketahui, Muktamar Sastra yang pertama dalam seharah sastra Indonesia akan berlangsung hingga hari ini, Kamis, 20 Desember 2018. Muktamar didesain dalam sidang pleno dan diskusi panel. Gus Mus dijadwalkan akan menyampaikan pidato kebudayaan dengan tajuk “Santri, Sastra, dan Peradaban”. Sub tema yang akan dibahas hingga hari ini, antara lain: Sejarah Kasusastraan Pesantren, serta Pergumulan Kasusastraan di Indonesia. Akan diputar dan didiskusikan juga film Da’wah dan Jalan Da’wah Pesantren.
Sejumlah tokoh dijadwalkan hadir dalam Muktamar Sastra, antara lain: KH R Achmad Azaim Ibrahimy, KH D Zawawi Imron, KH Mutawakkil Alallah dan Emha Ainun Nadjib.
Pewarta: M. Yahya Suprabana
Editor: Achmad S.