Dalam 3 Tahun Terakhir Jokowi Dinilai Tidak Berpihak Kepada Buruh

Dalam 3 Tahun Terakhir Jokowi Dinilai Tidak Berpihak Kepada Buruh
Aksi demonstrasi damai buruh di Jakarta dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional (May Day) 2018. (Foto: Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Buruh bukannya tidak punya bargaining position tetapi karena pemerintahnya tidak berpihak pada buruh. Karena itu perjuangan kawan-kawan buruh bukan di saat Hari Buruh saja tapi di hari-hari biasa juga tetap berjuang. Buruh dinilai harus menentukan di Pemilu 2019 mendatang.

Demikian disampaikan Wakil Ketua Umum Gerindra, Arief Poyuono memperingati May Day 2018. “Kurangnya bargaining buruh karena buruh belum satu dalam pilihan politiknya. Dan banyak pengurus buruh bukan buruh tetapi elit partai politik, malah ada yang jadi ketua buruh karena warisan orang tuanya yang mantan ketua buruh,” tambah Arief.

Dirinya tak mau menyebut siapa sosok ketua buruh yang merangkap sebagai elit partai politik tersebut. “Saya enggak mau lah sebut namanya. Banyak ketua buruh di era Joko Widodo pada jadi komisaris di BUMN. Nah masa dalam dirinya sendiri ada dua kepribadian sih, jadi wakil pemilik modal dan wakil buruh,” tuturnya.

Selanjutnya, kata Arief, mengenai upah buruh yang ditentukan oleh inflasi jelas merugikan para buruh. “Tapi ya harus sadar ya yang buat PP 78 2015 tentang upah buruh kan pemerintahan yang suka melanggar konstitusi dan sangat peduli dengan investasi asing yang bersyarat dengan memperkerjakan TKA-nya juga,” ungkapnya.

Arief juga menyindir isu yang kini tengah marak dikampanyekan Joko Widodo yakni soal revolusi industri 4.0 yang selalu didengungkan dirinya beberapa waktu belakangan. Kabarnya, revolusi industri 4.0 ini akan menjadi ‘jualan’ Jokowi untuk Pilpres 2019.

“Justru bukan buruh yang harus mikir terkait adanya teknologi Industri 4.0 ya, tetapi bagimana pemerintah menyiapkan program-program pendidikan dan pelatihan bagi buruh dan khususnya angkatan kerja baru agar mampu bertranformasi ke industri dengan teknologi industri, misalnya robotisasi dan artificial intelligence dan teknologi digital/Android. Karena secanggih apapun teknologi pasti masih membutuhkan tenaga kerja dan ini Joko Widodo enggak punya programnya,” papar politisi Partai Gerindra ini.

Menurutnya, pemerintah harus bisa menciptakan kesempatan lapangan kerja yang berproduksi secara hand made yang unik dan berciri khas kebudayaan sehingga punya keunggulan. “Atau membuka lapangan kerja di sektor agriculture dan aquaculture yang tidak terlalu banyak membutuhkan skill yang tinggi,” terang Arief.

“Kalau untuk teknologi industri yang canggih di Indonesia sih belum banyak lah. Wong justru selama tiga tahun terjadi deindustrialisasi karena lemahnya daya beli masyarakat dan nilai kurs rupiah yang makin rendah terhadap US dollar sehingga banyak Industri tutup,” urainya.

Dia menambahkan, kata siapa upah di Vietnam, Malaysia dan Thailand lebih murah dari buruh Indonesia. “Itu informasi sesat. GNP (Gross National Product) Malaysia dan Thailand saja lebih tinggi dari Indonesia bagimana upah buruh malaysia dan Thailand bisa lebih murah dari Indonesia,” katanya.

Arief membeberkan urutan pendapatan per kapita negara Asia Tenggara:

– Singapura – US$93.680
– Brunei Darussalam – US$77.700
– Malaysia – US$30.430
– Thailand – US$18.730
– Indonesia – US$13.120
– Philipina – US$8.780
– Laos – US$7.910
– Vietnam – US$7.380
– Myanmar – US$6.850
– Timor Leste – US$4.990
– Kamboja – US$4.300

Dia menerangkan, pendapatan per kapita (GNP) itu dinilai berdasarkan paritas daya beli. Paritas daya beli digunakan untuk menentukan produktivitas ekonomi dan standar hidup di antara negara-negara di seluruh dunia dalam periode waktu tertentu.

“Sementara Vietnam lebih rendah GNP-nya dari Indonesia tetapi jaring pengaman sosial mereka banyak, dan banyak subsidi dan harga-harga sembako murah,” tuturnya.

“Jadi sekali lagi, murahnya upah buruh di Indonesia karena banyak biaya siluman yang harus dikeluarkan oleh pengusaha sehingga pengusaha tidak bisa memberikan upah yang sejahtera bagi buruh,” tambah dia.

“Presiden Joko Widodo kan pengusaha, tentu tahu dong masalah yang dihadapi oleh pengusaha dan buruh. Bukan malah memudahkan pengusaha asing boleh dengan mudah mengunakan tenaga kerja dari negaranya,” pungkasnya.

Pewarta: Gendon Wibisono
Editor: Eriec Dieda

Exit mobile version