NUSANTARANEWS.CO – Seiring dengan semakin tingginya tensi ketegangan di perairan Laut Cina Selatan (LCS), armada Ketujuh AL Amerika Serikat (AS), mulai mengintensifkan kehadirannya di perairan yang disengketakan oleh beberapa negara itu. AS dengan tegas mengatakan bahwa akan terus melakukan operasi rutin di seluruh dunia, termasuk di LCS, dengan tujuan untuk melindungi hak, kebebasan dan penggunaan laut dan ruang udara sesuai hukum internasional yang berlaku, demikian pernyataan John Richardson, kepala operasi laut AS baru-baru ini.
Sementara itu, pemerintah Cina sibuk berusaha mencari dukungan internasional untuk melegitimasi kepemilikan mutlak negara itu atas 90% Laut Cina Selatan dan seluruh kepulauan yang ada, baik karang maupun bukan. Untuk memperkuat klaim itu, China mengaku sudah mendapat dukungan lebih dari 40 negara. Negara terakhir yang memberi dukungan adalah Zimbabwe dan Sri Lanka.
Namun, pengakuan Cina tersebut dibantah oleh AS. Menurut keterangan dari Washington’s Center for Strategic and International Studies, sejauh ini hanya ada delapan negara yang terang-terangan di hadapan umum mendukung China termasuk negara-negara yang tidak memiliki perbatasan laut seperti Nigeria dan Afganistan.
Pemerintah Amerika dengan tegas menolak klaim Cina atas kepulauan-kepulauan yang baru dibuat di atas batu karang, pasalnya kepulauan tersebut termasuk wilayah perairan. Oleh karena itu, AS dalam beberapa bulan terakhir terus mengerahkan kapal-kapal perangnya ke wilayah sengketa yang semakin memanas di LCS. Tidak tanggung-tanggung, dua kapal induk kelas Nimitz Angkatan Laut Amerika Serikat, yakni USS John C. Stennis dan USS Ronald Reagan dari Armada VII AS, sudah berada di perairan Filipina sejak 18 Juni 2016 lalu.
Menyikapi kehadiran Armada VII AS di perairan LCS, kantor berita China, Xinhua, memprotes kehadiran negara-negara di luar kawasan, dan menyatakan bahwa negara-negara di luar kawasan tidak boleh ikut campur dalam sengketa di LCS. “Negara-negara Barat punya sejarah panjang kegagalan dalam menciptakan aturan di banyak wilayah di seluruh dunia. Timur Tengah adalah contoh klasiknya,” rilis Xinhua. (Banyu)