Budaya / SeniEsaiSosok

Cerpenis Sufi M Fudoli Zaini

Esai: Mashuri Alhamdulillah

Kapanhari saya mendengar kabar bagus dari ketua suku Pelangi Sastra Malang, Denny Mizhar, bahwa semua cerpen M Fudoli Zaini akan diterbitkan dalam satu buku. Saya tidak tahu yang menerbitkan itu penerbit apa. Naga-naganya indie. Saya turut bergembira.

Yup, mungkin generasi kiwari tidak banyak yang mengenal Fudoli. Padahal ia cerpenis penting Indonesia, yang berasal dari Madura. Kalau dilihat dari konteks kulturalnya, ia termasuk species langka dalam jagat penulisan berbasis Madura. Ia menggeluti prosa dan lebih dulu berkiprah dalam jagat sastra Indonesia daripada D Zawawi Imron, Abdul Hadi WM., Jamal D Rahman, Kuswaidi Syafii, dan seterusnya, yang rata-rata penyair dan berasal dari Sumenep. Fudoli lahir di Sumenep, 8 Juni 1942.

Cerpen-cerpen Fudoli menarik. Bukan hanya karena tema yang digarapnya yang berkisar kisah-kisah orang kecil, sufi, dan dunia pesantren, namun juga teknik penulisannya. Saya menemukan beberapa cerpennya mengadopsi gaya Naguib Mahfudz, sebagaimana yang pernah saya utarakan tempo hari, juga Taufik El-Hakim, Thaha Hussein dan lainnya, tapi diberi muatan lokal, begitu pula konflik-konfik yang dihadirkan terasa dekat.

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

Bisa jadi karena ia lama di Mesir dan merampungkan studi doktoralnya dalam kajian sastra, filsafat sufi dan sejarah Islam di Universitas Al-Azhar. Ia sangat mengenal kearifan lokalnya karena ia sempat mencecap pendidikan pesantren di kota kelahirannya, sebagai cucu pendiri pesantren tersebut. Bahkan ia sempat menjadi salah satu pengasuhnya, selain menjadi dosen dan guru besar filsafat dan tasawuf di IAIN Sunan Ampel, Surabaya (kini UIN). Adapun pendidikan menengahnya dirampungkan di SMAN Pamekasan, kemudian melanjutkan sebentar ke UGM (sastra Indonesia), lalu ke IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Ia menulis cerpen sejak 1964, ketika masih di Mesir, dan segera mendapat perhatian dari HB. Jasain. Cerpennya pun dimasukkan Jassin dalam buku “Angkatan 1966, Prosa dan Puisi Indonesia”. Cerpennya terhimpun dalam beberapa antologi karya legendaris. Ia termasuk produktif. Buku cerpennya di antaranya Lagu Jalanan (1982) , Potret Manusia (1983), Kota Kelahiran (1985), Arafah (1985), Batu-Batu Setan (1994), Rindu Ladang Padang Ilalang (2002). Ia wafat tahun 2003.

Selain pernah mengkaji 4 cerpennya yang dimuat di Jawa Pos, sepanjang tahun 2000, saya pernah mengkaji buku cerpennya Batu-Batu Setan, yang menghimpun 15 cerpen. Kumcer Fudoli saya bandingkan dengan kumcer Gus Mus “Lukisan Kaligrafi” (2003), dan hasilnya dimuat di Jurnal Atavisme (terakreditasi LIPI) tahun lalu.

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

Kedua kumcer itu saling melengkapi terkait dunia santri dan pandangan dunianya. Apalagi masing-masing buku berjumlah sama 15 cerpen. Ditambah penulisnya memiliki latar belakang yang mirip. Yang agak membedakan adalah latar belakang kukturalnya, yaitu Jawa dan Madura, dan itu tampak dalam cerpen-cerpen. Dalam hal ini akan saya nukilkan beberapa contoh.

Dalam cerpen ‘Surat’ karya Fudoli. Cerita ‘aku’ mendapatkan surat dari temannya yang mati tragis karena korban konflik. Cerpen ‘Amplop abu-abu’, karya Gus Mus berkisah tentang seorang dai yang mendapat amplop abu-abu dari lelaki tua, yang ternyata Nabi Khidir

Cerpen ‘Burung kembali sarang’, karya Fudoki bercerita tentang Kiai Sabri yang berkonflik dengan generasi tua dan diikuti kalangan bawah, yang berakhir mati. Cerpen Gus Muslih karya Gus Mus sebaliknya. Berkisah tentang Gus Muslih yang nyentrik dan berseberangan dengan generasi tua, tapi berakhir hidup

Ihwal bersua Nabi pun saling melengkapi. Cerpen Burung-burung Rindu karya Fudoli, berkisah seorang scholar dan santri bersua Nabi di Mekah karena sering mengaji kitab Syamail Muhammadiyah. Cerpen Ndoro Mat Amit, karya Gus Mus berkisah tentang seorang kusir dokar desa yang bertemu Nabi di aula pesantren karena sering membaca Barzanzi atau Asyrokolan.

Baca Juga:  Talang Plastik di Rumah Pak AR

Selain itu, masih sakbajeg lagi persamaan dan perbedaan yang menekankan perbedaan kultur Madura dan Jawa, dan saling melengkapi dalam pandangan dan dunia santri. Kapan-kapan disambung lagi atau bisa masuk ke laman atavisme.web.id.

Terlepas dari itu, penyatuan karya-karya Fudoli menjadi satu buku memungkinkan generasi kini dapat menelisik pemikiran Fudoli secara utuh. Demikianlah. Wallahu a’lam.

Sidokepung, 10/06/2017 (18:33)

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

No Content Available