Cerpen

Cerpen: Lelaki yang Mencintai Puisi

takkan kembal, puisi, adi ananta, menunggu, puisi menunggu, puisi-puisi, puisi adi ananta, kumpulan puisi, nusantaranews
Membaca Puisi. (Foto: Ilustrasi/apahayo.com)

Lelaki yang Mencintai Puisi

Setiap kali begadang, pikiran laki-laki itu terbang mengawang-awang, melompat dari bintang ke bintang, lalu hinggap di bulan bersama harapan jika puisinya selesai ia garap, akan ia bacakan didepan teman-temannya dan orang yang ia sayang. Terkadang sempat terbesit dalam benaknya. Kenapa aku begitu mencitai puisi? Bukankah puisi rangkaian ungkapan hati? Lalu, kenapa aku sampai segila ini mencintai puisi? peranyaan-pertanyaan itu kerap kali bertandang disaat ia hendak tidur, bahkan tak jarang ia sambil termenung, di kamar kos, amper kos, di halaman kampus dan parkiran. Bahkan laki-laki itu pernah di pergoki teman kelasnya termenung di bawah lampu merah.

Menurut pengakuannya, ia melakukan hal itu, agar tak ada orang yang tahu kalau dirinya ingin menjamah tubuh puisi dengan segumpalan nafsu berkobar-kobar. Bahkan teman perempuannya, pernah melihat dirinya selesai memasang resleting dan di bawahnya terdapat kerta-kertas bertuliskan puisi-puisinya.

Perawakan laki-laki-itu biasa saja, tak ada yang bisa ia tonjolkan dari rupanya. Rambutnya kribo sedang, kedua pipinya tembab, bila ia bergerak, pipinya bak jelly yang menggeliat. Menurut teman karibnya, laki-laki itu telah lama mencintai puisi, kira-kira 3 tahun yang lalu, semsih ia duduk di kelas dua SMA. Cukup lama jika di hutung mulai hari ini.

Baca juga: Cerpen Sungai Kematian

Kebiasaannya sangat mudah untuk ditebak, benar, laki-laki itu jika kuliah, ia lebih sering berada di perpustakaan kampus. Disana ia akan mencari buku kumpulan puisi entah karangan siapa saja. Bila ada dosen yang masuk keruangannya, cepat-cepat ia akan menuliskan sesuatu di cover belakang bagian dalamnya. Aku mencintai puisi, tolong sampaikan cintaku padanya? Tulisnya dengan tinta merah muda cerah.

Banyak temannya yang dibuat heran dengan sikapnya.

“Mengapa kamu senang menyediri?”tanya Kiki yang satu jurusan dengannya.

“Siapa? Aku maksudmu. Ha..ha..ha. aku tak pernah merasa sendiri,” dengan gestur tubuh rileks ia menjawab.

“iya lah, buktinya ketika kamu di parkiran, dan di taman kampus, bahkan di pepustakaan kampus, aku lebih sering melihatmu sendiri dan anehnya kau sampai tertawa sendiri, kayak orang gila gitu, maaf,” beribu tanya masih menggatung dalam tempurug kepala Kiki.

Laki-laki itu tertawa semakin jadi, membuat Kiki semakin heran ingin banyak bertanya.

“Itu sebabnya, kau tidak pernah menyendiri,” jawabnya enteng.

Kiki pergi dengan perasaan yang masih bingung, sebab ia tidak mau berlarut-larut dalam kegilaan yang ia cipta sendiri. Laki-laki itu hanya mengangguk, sambil tersenyum simpul.

“Aku begini, karena aku mencintai puisi,” ucapnya pelan. Laki-laki itu berharap Kiki bisa menyampaikan cintanya pada puisi.

Berita kegilaannya tersiar semakin luas, seantero kampus sudah mengetahui semua, termasuk dosen dan rektornya. Tapi tetap saja, kegilaannya banyak yang mengundang tanya karena tidak sesuai dengan sikapnya.

“Dia kenapa, kok bisa seperti itu.”

“Katanya dia mencintai puisi,” sergah perempuan berparas cantik.

“Siapa puisi itu?” celetuk seorang perempuan di belakagnya.

“Aku tidak tahu.”

Kerapkali cemooh menghujani kesehariannya. Laki-laki itu tak pernah mengubrisnya, ia tetap dengan prisnsip hidupnya—ingin bahagia dengan puisi. Karena ia sadar di tempat yang baru ia singgahi, mungkin tak pernah mempelajari puisi. Barangkali dari hal itu, ia sadar meski dicemooh, ia tidak merasa apa-apa. Bahkan dari hal itu, laki-laki itu ingin memperkenalkan puisi pada orang-orang sekitar.

Beberapa tahu yang lalu, di daerah yang ia singgahi adalah tempat dimana para penyair-penyair terkemuka yang puisinya tersiar ke seantero Nusantara. Bahkan di daerah itu pernah menyandang insomnia terbanyak dari daerah yang lain. Sebab para penyair di daerah itu memang tidak pernah tidur semalam suntuk demi menggarap puisi.

Akan tetapi seiring berjalannya waktu, satu-dua penyair-penyair di daerah itu banyak yang menghadap Sang Kholik. Mati. Menurut dokter yang menangani, penyair-penyair itu mati karena kurang tidur, sehingga membuat tubuh penyair itu lemas dan kurang asupan gizi, karena setiap begadang, mereka hanya meminum kopi dan kretek.

Setelah kejadian itu, pemerintah mengeluarkan keijakan dengan mengharamkan rakyatnya menulis puisi dan wajib melupakan puisi, karena ia tidak mau rakyatnya mati karena puisi yang tidak ada gunanya.

Baca juga: Cerpen Bajing Tengik

Setelah kebijakan itu ditetapkan, orang-orang di daerah itu sudah tidak menulis puisi, bahkan secara perlahan orang-orang melupakan puisi yang pernah mengangkat daerahya. Semua buku antologi, catatan harian, dan kertas-kertas yang bertuliskan puisi dibumihanguskan. Agar cucu atau anak dari mereka, kelak, tidak jatuh di lubang yang sama. Dan di saat itu pula, daerah itu menjadi hilang di panggung jagat ke-puisi-an. Sehingga pelan daerah itu tak dikenal oleh khalayak umum.

Namun setelah masa itu lama ditelan peradaban, orang-orang yang hidup di masa sekarang tak ada yang mengenal prosa. Laki-laki itu seringkali bertanya pada teman kampusya. Dan hampir dari semua teman yang ia tanyakan, satu-dua yang bisa menjawab dengan benar, dan itupun karena mereka berasal dari luar derah, sama seperti dirinya.

“Kamu tahu prosa?” tanya laki-laki itu ketika cangkruk-an di taman kampus.

“Siapa itu?” lawan bicaranya menyanggah cepat.

“Benar kamu tidak tahu prosa?’sekali lagi laki-laki itu bertanya.

“Tidak, aku benar-benar tidak tahu, yang aku tahu Rosa, penyanyi itu,” laki-laki itu tersenyum simpul, dalam banaknya ia ingin sekali mencerca dengan pertayaan yang sama, namun karena ia kasihan, ia diam saja menikmatinya dengan senyum sindir.

“Kamu mau gak bantu aku mencintai puisi?” tanya laki-laki itu memecah keheningan.

“Siapa dia, pacar kamu?”

“Iya, dia pacarku, wajahnya cantik, rupanya elok untuk dipandang. Gimana kamu mau?” bujuk laki-laki itu dengan pemanis kata.

“Iya, aku mau,” jawabnya sambil mengangguk. Laki-laki itu tersenyum bangga.

“Nanti jam 10 datangi aku ditaman ini,” ajaknya sambil menunjukkan lokasi dilayar kaca hp-nya. Lagi-lagi lawan bicaranya mengangguk mantap. Kembali laki-laki itu pasang senyum.

Waktu terus berjalan, laki-laki itu tak henti-henti membujuk teman kampusnya.

Saat malam bertandang, laki-laki itu sudah menunggu di tempat yang telah ia canangkan. Tak lama teman kampusnya yang ia ajak, satu-dua berdatangan. Dan ia juga telah menyiapkan kopi dan kreteknya, agar ketika ia menjalankan rutinitasnya tidak kaku dan lebih santai.

“Mana puisi yang akan kau tontonkan?” tanya temannya yang risih kerena tak ada wanita satupun di dekatnya.

“Tunggu dulu, nanti akan aku tunjukkan,” laki-laki itu mencoba meredam amarah yang sontak memantik dalam diri temannya.

Malam semakin gulita, desir angin begitu pelan, hawa mengajak kulit untuk segera mendekap benda-benda hangat. Kopi yang terhidang pelan mendingin, kepul kretek semakin membubung ke cakrawala, membujuk harapan dan hidayah menyelimuti tempurung kepala.

Laki-laki itu mengambil buku antologi puisi, teman kampusnya tercengang ketika melihat nama puisi yang tertera.
“Itu apa? ”sontak pertanyaan itu terlontar dari mulut teman kampusnya.

“Ini puisi,” ucapnya sambil tersenyum.

Terkadang ada baiknya kita berduka
Agar terasa betapa gembira
Pada saatnya kita bersuka
Terkadang ada baiknya kita menangis
Agar terasa betapa manis
Pada saatnya kita tertawa
Terkadang ada baiknya kita merana
Agar terasa betapa bahagia
Pada saatnya kita bahagia
Dan jika sekarang kita berpisah
Itupun ada baiknya juga
Agar terasa betapa mesra
Jika pada saatnya nanti
Kita ditakdirkan bertemu lagi

Dari semua puisi di atas, yang manakah yang paling menyentuh hatimu?

Semua temanya tercengan ketika membaca puisi yang ia tunjukkan, sambil tersenyum rekah, serekah ia berhasil mengajak teman-temannya mencintai puisi. Dengan begitu bukan hanya ia saja yang mencintai puisi di malam itu.

Mulai malam itu, semua temannya menulis puisi, banyak kertas yang tercecer di sekitar mereka. Di trotoar, di jalan, di koridor kampus dan gedung rektorat kampus.

Semua orang yang ada di kampusnya tercengang, bertanya-tanya siapa yang membuat ulah membuang remkan kertas-kertas.

Keseokan harinya, teman yang ikut begadang denganya bersikap tidak seperti biasanya. Banyak yang heran dengan fenomena itu, dan tak ada yang tahu mereka semalaman melakukan apa—karena yang tahu ia dan teman yang tidak tidur semalam suntuk.

“Kenapa dengan mereka?” tanya Kiki yang tiba-tiba ada di sampingnya.

“Mereka sama sepertiku, mencintai puisi.”

“Siapa puisi itu?” sergah Kiki.

“Dia itu semacam prosa,” jelasnya.

“Memangnya dia kenal dengan Rosa?” celetuknya kemudian.

Laki-laki itu tersenyum. Dalam hati ingin sekali ia membujuk Kiki untuk mencintai puisi, agar ia tahu kalau puisi adalah ungkapan hati yang tersirat.

 

 

 

 

 

 

Penulis: Muhtadi ZL, Santri dan Pengurus Perpustakaan PP Annuqayah daerah Lubangsa. Aktif di Komunitas Menulis.
(KPK) Komunitas Penulis Kreatif-Iksaj dan (KCN) Komunitas Cinta Nulis-Lub-Sel.

Related Posts

1 of 3,057