Politik

Catatan Kritis Din Syamsuddin, Pilpres 2019 Disebut Kurang Bermutu

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof.DR.H.Din Syamsudin, MA saat memberikan pidato dalam diskusi bertajuk Membedah Isu-Isu Strategis Pada Debat Capres/Cawapres Demi Kemajuan Bangsa, pada 26 Februari 2019 lalu di Hotel Grand Alia Cikini, Jakarta Pusat. (Foto Dok. NUSANTARANEWS.CO).
Prof. DR.H. Din Syamsudin saat pidato pada diskusi bertajuk Membedah Isu-Isu Strategis Pada Debat Capres/Cawapres Demi Kemajuan Bangsa (26/2/2019) di Hotel Grand Alia Cikini, Jakarta Pusat. (Foto Dok. NUSANTARANEWS.CO).

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof.DR.H.Din Syamsudin, MA saat berpidato dalam diskusi bertajuk Membedah Isu-Isu Strategis Pada Debat Capres/Cawapres Demi Kemajuan Bangsa, pada 26 Februari 2019 lalu di Hotel Grand Alia Cikini, Jakarta Pusat menyampaikan bahwa Pilpres 2019 kali ini dinilai kurang bermutu dan hanya mengedepankan fanatisme antar pendukung. Berikut catatan lengkap pidato Din Syamsudin hasil notulansi oleh Rachmad Sofian sebagaimana dikutip redaksi:

Baca Juga: Din Syamsuddin: Soal Lahan HGU Itu Dimensi Personal, Tak Perlu Didebatkan

Catatan yang dapat digambarkan dalam dua kali debat Capres/Cawapres jelang Pemilihan Presiden/Wakil Presiden (Pilpres) tahun 2019 nampaknya kurang bermutu, kurang bernas dan hanya ciptakan suasana kehidupan dialektika diantara pendukung fanatisme politik.

Fanatisme pendukung kurang didasari pada literasi politik, pada kecerdasan politik yang bertumpu pada informasi, pengetahuan. Banyak saya saksikan lebih karena emosi. Sebagian anak bangsa buta aksara politik, dan para pendukung capres terutama anak-anak muda yang lebih mengedepankan emosi, bahkan sebagian besar tidak memiliki pengetahuan yang dalam dan utuh mengenai calon yang akan dipilih.

Kitapun banyak terjebak fanatisme absolut dan akhirnya bermain ‘pokoe’ apabila kepentingannya terlanggar dan menyayangkan adanya pihak yang mendengungkan dan menyuarakan kata-kata perang total di dua bulan menjelang pencoblosan bulan April mendatang. Strategi perang total pertama kali disuarakan oleh Ketua Harian TKN Moeldoko. Moeldoko mengaku pihaknya sudah mengetahui center of gravity pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno untuk menerapkan strategi tersebut.

Moeldoko sendiri tak menjelaskan lebih lanjut soal perang total yang ia maksud. Dia juga tak merinci apa yang disebutnya sebagai center of gravity. Namun, berdasarkan penelusuran, center of gravity merupakan istilah dalam dunia militer yang memiliki arti titik pusat dari kekuatan lawan dalam sebuah pertempuran.

Baca Juga:  Jelang Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres 2024, Khofifah Optimis Prabowo-Gibran Menang

Terkait dengan perdebatan yang terjadi pada Debat Capres/Cawapres lalu, sepertinya kurang meletakkan visi kebangsaaan. Harusnya pemimpin yang akan tampil pada bangsa dan Negara ini harus berorientasi pada cita-cita nasional dan kebangsaan yang telah di letakkan oleh pendiri bangsa, sehingga tidak perlu ada lagi visi kebangsaan yang baru, kecuali visi strategis dalam mewujudkan visi dan cita-cita nasional kebangsaan. Kita perhatikan bahwa yang saat ini terjadi pada wilayah kebangsaan, seringkali terjebak oleh pernyataan-peryataan yang hanya bersifat normatif.

Masalah utama bangsa adalah adanya distorsi dan disorientasi kehidupan nasional bagi cita-cita bangsa, penyelewenagan dan penyimpangan. Ini realitas atas kondisi bangsa yang kita hadapi, dan ini sangat bahaya. Kita harus segera melakukan upaya-upaya atas perwujudan cita-cita nasional secara optimal. Kronologis kebangsaan yang kita hadapi saat ini membutuhkan pemimpin yang komitmen. Calon Presiden mesti perkuat komitmen tuk revitalisasi dan aktualisasi cita-cita nasional. Telah terjadi devisiasi, distorsi atas sistem politik kita yang berdampak pada penjabaran sila ke 4 dan 5 Pancasila, dimana azaz musyawarah dan mufakat yang merupakan polarisasi kekuatan dan kedaulatan pijakan politik dan system ekonomi yang berkeadilan dan bersosial yang jauh panggang dari api.

Ini tak bisa dibantah lagi dengan realitas yang dihadapi rakyat saat ini. Trisaksi Bung Karno dengan kedaulatan politik, ekonomi dan berkepribadian budaya yang menjadi pondasi kokoh kedaulatan bangsa, saat ini secara fakta kedaulatan negeri ini telah runtuh, goyah dan goyang. Trisakti Bung Karno hanya menjadi retorika politik belaka, tidak menjelma dan teraktualisasi sesuai keinginan dan kebutuhan bangsa.

Baca Juga:  Gelar Aksi, FPPJ Jawa Timur Beber Kecurangan Pilpres 2024

Indonesia menginginkan dan membutuhkan pemimpin otentik, bukan pemimpin kosmetik. Pemimpin dengan kesejatian dan kejujuran. Kita tak mungkin jujur pada rakyat jika tak jujur pada diri sendiri. Sisa waktu menuju Pilpres nanti, hendaknya kita mendorong setiap paslon Capres/Cawapres untuk sedikit bicara visi kebangsaan yang lebih otentik, berhenti pada retorika dan kosmetik politik serta paparan angka-angka yang tidak riil. Isu strategis yang dibangun dengan sisa waktu yang ada dengan literasi politik yang cerdas dan aktual melihat cita-cita nasional kita sebagai bangsa yang besar yang merdeka adil dan makmur secara kontekstual sejalan dengan geo politik, geo ekonomi yang diselaraskan kembali dengan kedaulatan Negara dan bangsa yang kini tengah rapuh.

Capres/Cawapres masih memeiliki cukup waktu secara sejati dan spontan untuk merefleksikan pemikiran, ide dan gagasannya dalam gatra politiknya bagi bangsanya. Indonesia harus menjadi pemain utama (key player) dalam perubahan dunia. Indonesia harus berdaulat secara ekonomi sesuai dengan konstitusi pasal 33 UUD 1945. Kita membuka diri terhadap marak dan suburnya kapitalisme global, inilah yang kita hadapi sekarang, sehingga menempatkan kita dalam posisi yang gamang dalam berdaulat secara kuat atas ekonomi dalam negeri. Kitapun tak cukup kuat dalam menghadapi gempuran-gempuran ekonomi global.

Belum lagi persoalan-persoalan dalam negeri dan luar negeri yang secara global yang telah meluncurkan manusia pada titik nadir kemanusiaan. Kita sebagai bangsa seolah-olah tak bisa menjadi pemain utama dalam hadapi persoalan yang sifatnya global. Hal inilah yang harus di revisi oleh calon pemimpin yang akan datang yang dapat membawa Indonesia tangguh di dalam negeri dan tangguh dimata intersional.

Baca Juga:  Mengawal Pembangunan: Musrenbangcam 2024 Kecamatan Pragaan dengan Tagline 'Pragaan Gembira'

Menyikapi ketatnya dukung mendukung yang sudah demikian kental di masyarakat, sebaiknya masyarakat sebaiknya tidak usah bersikap berlebihan dalam mendukung capres-cawapres. Hal ini karena politik bersifat sangat cair. Dia menjelaskan sikap politikus tidak abadi dan bisa berubah setiap saat. Mengutip kalimat bijak Ali Bin Abi Thalib RA yakni “Cintailah kekasihmu, cintailah paslon presiden-wakil presiden pilihanmu sedang-sedang saja karena boleh jadi suatu waktu, engkau akan membencinya. Dan bencilah, musuhilah lawan politikmu sedang-sedang saja, karena boleh jadi suatu waktu, dia akan menjadi orang yang kau cintai.”

Secara pribadi diakuinya bahwa sudah mempunyai pilihan politik di Pilpres 2019. Namun, tidak mau menyebutkan pilihan itu karena tidak ingin malah digunakan untuk membuat gaduh situasi kampanye pilpres 2019. Namun, sebagai insan manusia yang telah diberikan Allah kecerdasan, bahwa tafsir pilihan pemimpin tidak perlu dibuka secara transparan tapi bisa dilihat dengan isyarat saja kemana hendak pilihan itu berlabuh. Pilpres 2019 tidak membuat bangsa Indonesia terbelah.

Oleh karena itu, harus ada yang berdiri di tengah saat ada dua kubu yang saling bertentangan, dan saya ingin menyisakan energi dan harapan negara menggalang kekuatan tengah bagi bangsa ini, dan perlu ada yang berada pada posisi penengah tadi itu. (*)

Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 3,068